Kritik sosial pasti akan lazim terjadi pada suatu Negara bilamana ada kesenjangan antara yang berkuasa dan yang tersisihkan. Hal tersebut terjadi karena sifat manusia dengan segala keberingasannya yang selalu ingin menguasai apa yang mereka kehendaki akan menimbulkan konflik. Ideology seperti itulah yang pada akhirnya akan memanfaatkan kekuasaan sebagai mediasi penggerak keinginan menguasai mereka yang notabennya tidak mempunyai kekuasaan.

Banyak sekali contoh yang bisa kita temukan dalam literature klasik atau sejarah-sejarah yang berhubungan langsung dengan ideologi dan kekuasaan. Saya tidak berusaha untuk menyebutkan satu persatu contoh-contoh tersebut karena tidak akan ekuivalen dengan apa yang akan dibahasa didalam esai ini.

Yang paling dekat didalam esai ini adalah bagaimana mereka -orang yang beringas- mempunyai ideologi ingin berkuasa terhadap sesuatu? Misalnya motif yang paling santer adalah motif ekonomi, yang pada akhirnya akan menimbulkan kritik sosial terhadap para orang elit didalam ruang lingkup kehendak mereka menguasai pasar.

Salah satu indikasi perubahan yang dialami manusia sejak zaman peralihan adalah prihal didalam ruang lingkup pencerahan, yaitu zaman keberangkatannya dari yang lama menuju era baru yang mempunyai masa depan yang indah, sebut saja ruang yang indah itu adalah ruang postmodernisme.

Peralihan pandangan manusia tersebut tidak terlepas dari kemampuan berpikir mereka dalam menyingkapi hal-hal yang baru. Tengoklah bagaimana mereka mengalihkan sesuatu yang sudah baku menjadi sesuatu yang baru dan maju -dengan usaha-usaha yang biasanya melampaoi masa lalu-. Itulah bagian struktur penting yang ada didalam masa pencerahan atau era postmodernisme. Subjek menjadi sebagai sesuatu yang mempunyai andil besar didalam kehidupan, dia adalah sebagai raja atas segala dunia.

Telah kita ketahui diskursus mengenai postmodernisme yang sering kita dengar baik didalam sebuah buku ataupun yang diterangkan para dosen. Namun apakah kalian telah mencapai hasil teratas dalam pemahaman apakah postmodernisme itu? Apakah era postmodernisme itu memang terlihat nyata didalam kehidupan sekitar? Ataukah diskursus tersebut hanya sebuah paradigm/wacana yang tak berkecukupan dalam era modernisme?

Namun yang menjadi hal penting dari postmodernisme adalah bahwasanya manusia dizaman ini adalah pusat dari segala-galanya, manusia adalah pusat dari bumi yang indah ini. Apapun itu yang ada didunia adalah hasil kerja manusia sebagai objek yang melakukan dan subjek yang menenggarai. Hal ini kerap sekali ditemui karena para pemikir era postmodernisme adalah orang-orang yang mempunyai pemikiran radikal dan cenderung menyerang sesuatu yang telah baku.

Manusia dengan beribu kehendaknya ingin selalu berpikiran kedepan, mereka memaknai masa depan adalah belum terealisasi, karena itu pun paradigma momento mori yang telah melekat pada era sebelumnya ditransformasi dan didekontsruksi menjadi sebuah ketiadaan yang cenderung mengada-ngada. Oleh karena itu paradigm yang ditanam mereka adalah apa yang nyata dalam hidup ini adalah sebuah keabadian yang memang benar ada (baca:carpe diem)

Seolah dalam era tersebut ia telah meraih segala keterhubungan ideologinya dengan apa yang ingin dikuasai, ia tidak serta merta menimbulkan kemaslahatan, malahan menimbulkan permasalahan baru yang menjadi hal yang terus berkelanjutan sampai sekarang.

Dengan kehendak berkuasanya, dengan kehendak mimpinya mereka telah melampoi alakadarnya, dengan keberhasilannya mengubah paradigma modernisme ke postmodernisme ternyata banyak menimbulkan kritik-kritik sosial yang berkepanjangan pula. Manusialah pusat dari segala ada, dan manusia pulalah pusat dari segala masalah yang ada. Karena yang lahir di era ini bukan hanya sebagai kehendak ingin berkuasa bagi dirinya masing-masing, namun yang lebih parah lagi mereka malahan terjerumus pada suatu keegoisan yang akut, yang kita ketahui sebagai kehendak mendominasi (Levin dalam Yusrif, p23).

Hal yang seperti itulah yang menimbulkan kembali paham-paham yang mengkritik ulang masa pencerahan di era postmodernisme, kalaupun memang keadaannya begitu bukanlah merupakan suatu yang memalukan bagi mereka dengan pencerahannya malah menjerumuskan pada kebobrokan sosial.

Banyak contoh yang bisa saya ajukan mengenai contoh-contoh diatas, namun dengan membatasi esai ini saya hanya menfokuskan pada satu sisi, yang tidak mengesampingkan sisi yang lain-nya. Di esai yang sederhana ini saya akan mencoba mengurai setiap permasalahan yang timbul didalam karya George Bernard Shaw yang terkenal yaitu sebuah drama seorang Pygmalion. Yang akan diterangkan dan diuraikan disini adalah sebuah keadaan teks dan kontekstual cerita Pygmalion dan dari segi kebahasaan yang ada pada drama tersebut. Alasan saya memilih karya ini adalah karena Pygmalion adalah salah satu karya yang monumental yang pernah dilahirkan oleh seorang George Bernard Shaw.

George Bernard Shaw (1856-1950) lahir Dublin, 26 Juli 1856 – meninggal 2 November 1950 di Hertfordshire adalah seorang novelis, kritikus, esaias, politikus, dan orator Irlandia yang menetap di Inggris. Pada 18 Desember 1926, ia menolak hadiah uang ketika menerima Nobel Kesusasteraan dan Academy Award for Writing Adapted Screenplay (pada 1938 untuk Pygmalion).

Shaw pergi ke Wesleyan Connexional Sekolah, kemudian pindah ke sebuah sekolah swasta dekat Dalkey, dan kemudian ke Dublin's Central Model Sekolah, mengakhiri pendidikan formal di Dublin Inggris Ilmiah dan Umum Hari Sekolah. Pada usia 15 ia mulai bekerja sebagai pegawai junior. Pada tahun 1876 ia pergi ke London, bergabung dengan kakaknya dan ibu. Shaw tidak kembali ke Irlandia selama hampir tiga puluh tahun. Shaw memulai karir sastra dengan menulis kritik musik, teater, dan novel, Pada tahun 1884 bergabung dengan Shaw Fabian Society, sebuah kelompok sosialis kelas menengah dan bertugas di komite eksekutif 1885-1911.

Kecermalangan Shaw bisa kita lihat didalam pengaplikasian suatu mythology yunani kepada suatu karya sastra drama. Perkawinan ini tak pelak melahirkan suatu karya yang luar biasa dan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat pada zaman itu dan zaman sekarang. Kisah seorang Pygmalion yang bisa kita temukan didalam literature yunani yang syarat akan hikmahnya digabungkan kedalam suatu drama yang menguggah oleh seorang Shaw.

Namun yang perlu kita sadari adalah apakah ada maksud dari seorang Shaw yang hidup berabad-abad setelah kedigdayaan yunani dimasa lampau. Agaknya shaw telah menemukan suatu formulasi yang bagus untuk membuat karya drama yang baik. Tapi dengan latar belakang Shaw yang sangat sosialis, kritikus, dan politikus membuat saya semakin berpikir lebih mendalam prihal alasan mengapa Shaw menjadikan Pygmalion sebagai sandaran utama dalam dramanya.

Lagi-lagi dalam karya sastra kita temukan beberapa hal penting dan yang tidak bisa dielakan oleh siapapun itu, bahwasanya suatu karya sastra apapun itu tidak akan terlepas dari sisi pengalaman seorang pengarang dan cara berpikirnya. Karya sastra sangat cocok menjadi media yang paling pas untuk melancarkan kritik sosial, mengupas keadaan sosial pada zamannya dan sebagainya. Oleh karena itu Shaw yang notabennya sebagai seorang yang sosialis dan kritikus mampu menyimpan sebuah pembelajaran didalam drama Pygmalion.

Dalam Pygmalion terdapat indikasi yang bisa saya jadikan sebagai kritikan Shaw terhadap kehidupan sosial dizamannya, diantaranya bisa ditemukan didalam gaya bahasa Eliza dan alur cerita yang diperankan professor dan Eliza. Penguraian yang tidak baik perlu dimaklumi mengingat Pygmalion adalah karya yang lahir di abad ke 18 yang artinya sudah jauh dari sekarang, oleh karena itu saya menggunakan dan menguraikan esai ini sesuai dengan data deskriptip yang ditemui baik didalam artikel atau tulisan-tulisan yang bersangkutan.

Ada dua bagian yang ingin saya hadirkan disini, keduanya adalah salah satu hal yang berhubungan erat, keduanya seperti serangkaian bola yang berputar. Yah apalagi kalau bukan ada sebab ada akibat. Kedua bagian itu terdiri dari peran yang dilakukan oleh Eliza sebagai seorang anak yang miskin tapi berusaha untuk terlihat seperti anak kelas atas. Dan bagian kedua bisa dilihat dari gaya bahasa yang dipakai oleh Eliza sebagai seorang anak yang miskin.

Pada bagian pertama saya memakai teori standarisasi milik madzhab frankurt dan pada bagian keduanya saya memakai penguraian bahasa yang menunjukan identitas seseorang. Seperti dikatakan diatas tadi bahwa yang akan diterangkan di esai ini adalah suatu hubungan antara masalah satu dengan masalah lain-nya. Barangkali kalau diaplikasikan secara sekilas akan seperti ini. Ketika standarisasi merasuki seseorang maka orang tersebut akan berusaha mengejar apa yang dikonvensikan oleh para elit ekonomi. Disaat itu pulalah dunia masyarakat telah disusup konsep oposisi biner yang palsu.

Madzhab Frankurt Mengkritik

Cartoon


Kehendak manusia untuk mendominasi dipercaya melahirkan sesuatu kejanggalan didalam kehidupan, terbukti dengan adanya kehendak tersebut para pemikir pencerahan selanjutnya lahir dan muncul ke permukaan. Mereka bukanlah orang-orang yang berada jauh dari zamannya namun mereka yang juga hidup didalam zaman pasca modernism menentang balik pencerahan yang tengah terjadi. Meski tidak dalam semua hal namun hal ini masih berkala dan masih mudah kita temukan sekarang.

Menurut mereka pencerahan yang dikenalkan tidak lain malah membawa manusia pada lobang yang lebih dalam. Itulah yang ingin ditentang oleh para madzhab frankurt. Mereka menilai dengan kehendak mendominasi ekonomi telah merasuki pada suatu imajinasi ringan yang malah lebih rendah dari era modernism. Dalam diskursus ini yang menjadi tolak ukurnya adalah kehendak para elit ekonomi untuk mendapatkan keuntungan bagi mereka.

Tak ayal akibat dari hal diatas akhirnya melahirkan kesenjangan sosial antara kelas yang memiliki ruang lingkup elit borjuis dan kelas bawah yang berada pada konsumerisme standarisasi para elit (baca:oposisi biner). George Shaw melihat hal itu sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi, namun pada kenyataannya citranya sudah begitu. Salah satu indikasi yang bisa dijadikan runutan adalah ketika seorang Eliza yang seorang kaum miskin ingin terlihat seperti elit kelas atas. Oleh karena itu dia ingin berguru pada seorang higgins yang dipercaya sebagai seorang ahli bahasa yang mampu mengindetifikasi seseorang dari bahasanya. Ia dipercaya sebagai orang yang “pronounce one hundred thirty vowel sounds" and "place any man within six miles" of their homes” (melafazkan seratus tiga puluh tiga bunyi suara vokal dan menebak kedudukan sosial seseorang dalam jarak enam mil)

Eliza Mencari
Eliza adalah contoh korban klasik yang ingin mendobrak standarisasi kelas sosial, salah satunya ia ingin mengidentifikasinya lewat gaya bahasa. Untuk mengatasi problem ini, ia menjumpai Profesor Higgins dengan harapan beroleh sesuatu untuk bisa berbicara lebih “halus”. Ia ingin “to be a lady in a flower shop stead of sellin at the corner of Tottenham Court Road.  But they won't take me unless I can talk more genteel" (menjadi wanita di toko bunga ketimbang cuma berjualan di pinggir Tottenham Court Road. Namun, mereka tak bakalan menganggapku ada kecuali aku bisa bicara lebih halus) [h.23].

Itu sebabnya ketika seorang George Bernard Shaw menempatkan Pygmalion sebagai tolak ukur dalam drama ini, artinya ketika seorang Eliza yang dari kalangan miskin -diperlihatkan sebagai seorang yang- mampu mendobrak tatanan sosial yang tengah berlaku pada waktu itu. Dalam mitologi yunani legenda Pygmalion dipercaya sebagai pendobrak nilai efek. Artinya ketika dia merasa dirinya adalah seorang miskin, ia tidak merasa kemiskinannya akan membuat dia mati, akan tetapi ia menjadi lebih berani untuk ingin tampil bergabung dengan kelas sosial yang atas. Sama halnya dengan Pygmalion yang dengan pikiran positivnya mampu membuat pahatannya menjadi nyata, berkat dewa hera. Itu merupakan sebuah pelajaran bahwa pikiran positiflah yang mampu menggubah suatu pandangan yang kadang sulit untuk diwujudkan.

Dalam Pygmalion, Eliza juga berpikir bahwa semua orang seharusnya diperlakukan sama. Ia juga tidak suka melihat cara orang-orang yang berasal dari kelas sosial yang lebih tinggi memperlakukan mereka dari kelas sosial yang lebih rendah. Agar dapat bersikap netral dan menganggap semua orang sama, Eliza ingin mempelajari secara khusus bagaimana "talk more genteel" (bicara lebih lembut) [h.23). Meskipun ia tidak punya uang, ia bersikeras kepada Henry Higgins dan Colonel Pickering bahwa ia harus mengikuti pelajaran tersebut tanpa membuat kesalahan [h.23]. Ia tidak yakin diberikan perlakuan khusus hanya karena ia tidak sesiap yang lainnya dalam menerima pelajaran ini. Tapi ia percaya pelajaran ini dapat mengubah hidupnya guna menjadi orang yang lebih berbahagia.

Pada permulaan Pygmalion, Eliza hanyalah seorang gadis kelas bawah penjual bunga guna bertahan hidup. Meskipun inilah satu-satunya cara untuk survive, namun ia sadar bahwa banyak hal lebih baik yang perlu dicoba agar tak terus-terusan dianggap kelas bawah. Tatkala Henry Higgins menyuruh pembantunya, Mrs. Pearce, untuk “take all of her clothes off and burn them” (menanggalkan bajunya dan membakarnya), Eliza menyahut dengan marah, “you're no gentleman, you're not, to talk of such things.  I'm a good girl, I am” (kamu bukanlah pria sejati, sama sekali bukan dengan bicara seperti ini. Saya seorang gadis baik-baik) [h.27]. 

Bernard Shaw barangkali ingin mengubah paradigma sosial pada waktu itu, tentu saja melalui drama Pygmalion ini. Sebagai seorang kritikus sosial yang sangat sosialis, ia mungkin telah menemukan formula terbaik untuk mengubah mindset seorang manusia. Dia seakan mengingatkan kepada kita bahwa Eliza merupakan aktor utama yang bermakna Pygmalion.

Jika kita berpikir bahwa seseorang itu ramah sehingga kita bersikap ramah terhadap Orang tersebut, maka orang itupun akan menjadi ramah terhadap kita. Jika kita berpikir dan memperlakukan anak kita sebagai anak yang cerdas, akhirnya dia betul-betul menjadi cerdas. Jika kita yakin bahwa upaya kita akan berhasil, besar sekali kemungkinan upaya dapat merupakan separuh keberhasilan.
 
Itulah sekiranya hikmah yang bisa didapat dari karya George Bernard Shaw dalam Pygmalion. Sebuah karya yang bisa diserupakan menjadi sebuah pesan bahwa sebuah pikiran yang terbuka dan memungkinkan untuk dilakukan mampu mengubah tatanan sosial yang tengah berlaku pada zamannya.

Eliza menjadi figure yang harus dicermati dan direnungi. Bagaimana ia ingin mengubah identitas dirinya melalui bahasa yang dipakai. Eliza adalah bentuk dari ketidak engganan menjadi seorang yang terasingkan karena standarisasi yang dikehendaki para penguasa ekonomi.

*Anda setuju dengan artikel ini? Tinggalkan komentar yang membangun yah!! ^_^