Ini kali keberapa ketika saya
begitu tak ingin menuliskan suatu yang sebetulnya tak perlu untuk saya tulis. Bagaimana
tidak? Saya sedikitpun tak mau untuk membicarakan ataupun menuliskan tentang sesuatu
masalah pada satu agama yang sama terdapat suatu perpecahan yang keduanya
saling mempunyai truth claim nya sendiri. Tak jarang hal tersebutlah yang
justru sering menimbulkan konflik yang tak berkesudahan.
Disatu sisi terdapat beberapa
orang yang selalu merasa benar bahwa apa yang dilakukan oleh mereka adalah
benar-benar tak dapat disalahkan. Dengan jargon dan kata-kata pamungkasnya “kekerasan”
mereka bak Tuhan yang mengadili apa yang dilakukan oleh manusia. Saya
sengaja menempatkan jargon-jargon – atau lebih jelasnya kalimat inti - yang
sering mereka katakan. Karena menurut saya mereka tengah kebelinger diri
sendiri dengan sikap tak legowonya.
Mereka yang seperti itu selalu
meneriakan secara frontal atau berupa insuasi terhadap suatu ormas yang selalu
dicitrakan dengan penuh kekerasan, atau dengan kalimat-kalimat seperti Tuhan saja
maha adil, sejak kapan Tuhan mengajarimu menjadi tentara? Mereka mungkin lupa
bahwa semenjak tidak adanya kesusaian pandangan dari kedua belah pihak maka
terdapat pula suatu perpecahan umat yang lahir akibat perbedaan pandangan
tersebut.
Yang saya maksudkan disini adalah
kesalahan mereka adalah mengintimidasi kekerasan dengan kekerasan itu sendiri. Mereka
ingin mengakhiri konflik namun dengan melahirkan konflik yang baru. Seperti contoh
saja ketika ada salah seorang – ia mungkin tak suka dengan sikap ormas yang
dipikirnya selalu berbuat keras tanpa ada suatu setidaknya peringatan atau
diskusi – yang berbagi pemikirannya lewat media sosial; facebook, twitter dan lain-lain
mengenai tindakan kekerasan ormas terhadap ketidak setujuan seorang pembicara
asal kanada akhir-akhir ini.
Apa yang dilakukannya meski
niatnya baik namun terkadang tidak menimbulkan rasa kesamaan pendapat, bahkan saya
adalah salah seorang dari beberapa teman saya yang lainnya yang tidak setuju
dengan apa yang ia lakukan. Karena apa yang dilakukannya itu malahan
menimbulkan suatu kekerasan yang ditimbulkan dari kebencian setelah apa yang
ditulis dan dipublish.
Kekerasan tersebut bukanlah
kekerasan dengan definisi yang sebagaimana petengkaran, adu jotos, adu fisik
namun lebih bersifat lembut dan dibiaskan dengan sikap “tapi”, suatu sikap yang
tidak konsisten. Kekerasan yang saya singgung disini adalah bermula dari sikap yang dikiranya baik dengan cara mengkritik – tanpa solusi – terhadap ormas
tersebut. Bagaimana setelah orang-orang membacanya, tak pelak timbul rasa benci
dari apa yang dibacanya, dan dari benci itulah terkadang lahir sebuah konflik
yang masih tertanam didalam hati. Dan mungkin akan meledak bila tepat pada
waktunya.
Akhir-akhir ini saya mempunyai
beberapa teman, bilang saja mereka belum benar-benar bisa mencerna apa yang
diberitakan dan dituliskan oleh orang-orang yang dipandangnnya sebagai orang
pintar. Teman saya tersebut ketika melihat beberapa orang dengan pakaian mirip
dari ormas yang ditenggarai selalu berbuat keras, dengan secara spontan
mengajak saya dan beberapa teman saya yang lainnya untuk mendatanginya dan
memukulinya. Alhasil saya geleng-geleng kepala dengan sikap yang sebetulnya
tidak juga harus seperti itu. Dan hal yang demikian tidak terjadi pada satu
orang saja melainkan pada beberapa orang lainnya.
Ketika saya mencoba untuk
bertanya kepada dia, dengan alasan apa engkau lantas ingin memukulinya dan
menindaknya? Mereka menjawab dengan singkat “Mereka selalu berbuat keras dan
melakukan kekerasan”
Kebencian yang seperti ini yang
terlahir dari buah kata yang selalu digembor-gemborkan oleh mereka yang mungkin
berbeda pendapat dengan ormas tadi. Kekerasan ini meskipun tak nampak namun terasa
setelah ada hubungan kausal yang berawal dari suatu pemikiran dan menjalar pada perasaan
benci. Bukannya mereka mengajak kepada kita berbuat bijak untuk menyikapinya
malahan secara tidak disadari mereka tengah menggiring kita untuk membencinya,
dan mungkin saja bertindak keras.
Bayangkan apabila hal ini terjadi pada seluruh warga di Indonesia? Apa yang mungkin terjadi adalah sama, bahwsanya kekerasan yang ditanggapi oleh suatu sikap yang tak tepat akan menimbulkan suatu konflik yang baru dan berketerusan.
Tak pelak aura perpecahan pun
menjadi salah satu yang muncul akibat dari perbedaan tersebut. Bukannya perpecahan
itu rentan terhadap gelombang yang ingin selalu menghantam? Bukankah perpecahan
itu adalah suatu kehilangan rasa kesatuan yang kokoh? Alangkah lebih baiknya
bila kita duduk sopan, santai dan bergembira menggapai tujuan. Namun apa daya
dalam suatu harmoni kebaikan akan ada selalu setan-setan yang menghampiri.
No comments
Post a Comment