Salam Alaykum, semoga Allah Senantiasa memberikan semua hikmah dan limpahannya bagi kita semua, amin.

Sebelumnya, saya ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua saudara2 yang telah mengunjungi blog personal ini. Kedatangan saudara-saudara adalah merupakan sebuah motivasi tersendiri bagi saya untuk lebih meningkatkan apa yang hendak diberikan.

Sebuah pribahasa dahulu menyebutkan bahwa tak kenal maka tak sayang. Kurang lebih pribahasa tersebut menandakan bahwa apalah arti jikalau kita tidak mengenal satu sama lain. Oleh karena itu, dengan rasa syukur, izinkanlah saya untuk memperkenalkan diri lewat blog ini.

Nama lengkap saya adalah Muhammad Zaki Al-Aziz 1, saya lahir dan tinggal di Bandung. Pada waktu itu saya sempat nyantri di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah – Garut selama 6 tahun. Dari waktu yang tidak sebentar itu saya banyak mendapat hal; buruk ataupun baik. Namun yang paling berbekas dibenak pikiran setelah saya pergi meninggalkan pesantren DA ialah saya banyak mendapat saudara-saudara yang tiada terhingga baiknya. Bagi saya mereka hadir sebagai pelipur lara ketika saya merasa jauh dengan kedua orang tua.

Selain mendapat banyak saudara, pada waktu itu juga saya pertama kali dipertemukan dengan seorang pujangga, yang kelak, akan menjadi sebuah inspirasi awal bagaimana saya menyukai sebuah puisi. Dia adalah Kahlil Gibran. Saya diperkenalkan Gibran oleh salah seorang sahabat terdekat yang selalu saya kenang dengan sebutan Skhatzey.

Membaca puisi Gibran adalah sebuah pintu menuju bagaimana rasa sedih ini bisa tercurahkan melalui kata. Artinya kesedihan atau apapun itu yang bisa membuat hati ini merenung, mendapat tempat yang layak pada kata-kata yang tertulis. Bagiku mengenal Gibran adalah suatu gerbang menuju dunia puitis, romantis sekaligus sedikit tragis. Saya mulai menulis tentang puisi-puisi yang beraromakan kematian, malaikat dan apapun itu dalam bingkai surga…

Dalam waktu yang beriringan, diruang dan waktu yang berbeda, saya mendapatkah sebuah pemberian terindah yang diberikan oleh Bapak saya, yaitu sebuah Gitar. Pertemuan saya dengan Gitar kurang lebih tidak jauh berbeda dengan pengalaman bertemu dengan dan mengenal Gibran. Yang berbeda, mungkin, hanya pada bagaimana saya membuat jejak-jejak itu berbeda, tapi keduanya saling mengisi satu sama lain.

Gitar dan puisi pada waktu itu telah menjadi sahabat saya di Pesantren. Saya jadi teringat ketika pertama kali menulis puisi. Pada waktu itu saya meratapi jalan panjang Cilawu – Sukadana, yang tereksa jelas pada pikiran saya tentu adalah jalan panjang menuju rumah, sebuah perumpamaan pertemuan rindu dan waktu yang tak merdu.

Sementara gitar, bagi saya, ia telah menjadi sebuah tempat yang layak bagi sebagian puisi-puisi yang aku ciptakan. Dalam tengah malam, ketika saudara-saudara saya sedang tertidur lelap, saya mencuri-curi kesempatan untuk sesekali memetik sebuah gitar dan mencari sebuah nada yang pas bagi lirik yang tercipta.

Singkat waktu, semua itu telah berlalu, saya kembali lagi ke kota asal saya, Bandung. Dengan beberapa mimpi dihati dan sebuah harapan yang kerap benar-benar dikejar, saya sudah siap menghadapi dunia luar. Pada waktu itu saya hijrah dulu untuk segenap waktu ke Kediri selama beberapa bulan untuk belajar bahasa asing.

Kecintaan saya pada dunia puisi membuat saya tertarik untuk masuk pada salah satu jurusan kuliah yang bergulat disekitar puisi, esai dan lain-lain yaitu sastra Inggris. Tapi saya sadari dengan seksama, pada awal-awal perkuliahan saya berjalan ditapak yang tak berjejak. Semua yang kudapat hanya kosong yang ada, dan itu adalah kesalahan saya.

Dengan kegundahan dan kegamangan saya waktu itu, ternyata Allah memberi suatu jalan yang indah dan mungkin yang paling saya ingat sepanjang waktu. Diakhir-akhir semester, saya mencoba memperbaiki apa yang seharusnya tidak semestinya. Pada waktu itu, pertama kalinya saya membuka bacaan-bacaan buku tentang Filsafat, sebagai seorang mahasiswa sastra saya menyadari bahwa saya lebih sering membaca buku tentang filsafat.

Ada beberapa orang yang saya ingin berikan sebuah rasa terima kasih yang mendalam karena telah memperkenalkanku pada dunia ini. Yang pertama adalah bapak saya sendiri. karenaNya, sebagai seorang gurunya Mahasiswa, saya banyak menguntit koleksi buku-bukunya. Yang paling ingat sampai sekarang adalah buku karangannya Titus, Smith dan Nolan, yakni buku Filsafat. Dan banyak lagi, termasuk buku-buku tentang Agama sampai dunia-dunia Post.

Yang kedua saya ingin sampaikan terima kasih kepada empunya blognya Rumah Filsafat, Reza A.A Wattimena. Blog personalnya yang berisikan pembahasan filsafat dengan contoh-contoh yang baru, sedikitnya telah membuat saya tercerahkan, suatu yang sangat cocok dengan apa yang Kang Reza misikan dalam blognya yang Cartesian, Kantian, Hegelian. Dan yang ketiga saya ingin berterima kasih kepada blognya Pak Mudjia Rahardjo. Dengan membaca tulisan-tulisannya saya sedikitnya telah memahami pelbagai kajian tentang linguistik, meskipun tidak semua.

Apa yang ada dalam filsafat adalah sedikitnya berada pada dunia sastra. Baik itu orang-orangnya ataupun pembahasan mengenai apanya. Seperti tentang Leviathannya Hobbes dan lain-lain.

Suatu waktu saya menemukan sebuah buku lusuh, sobek dan terlihat agak sudah selayaknya disimpan, yang berjudul Hiperealitas Dalam Kebudayaan, Karya Yasraf Amir Filiang. Lagi-lagi saya menemukan sebuah gerbang baru dalam sebuah kajian. Dengan membaca buku ini saya memasuki ruang-ruang baru. Ruang yang meninggalkan berbagai pengertian-pengertian lama tentang definisi-definisi.

Ditambah pada waktu itu saya tengah mempertajam pengetahuan saya tentang dunia konspirasi dalam bingkai media baca:kapitalisme, imperialism dll. Saya mulai mengenal jargon-jargon tentang hegemoni, dekonstruksi, sampai poskolonial dan postmodern. Saya mulai tertarik untuk lebih dekat kepada kajian tersebut, yang ada, juga, dalam ranah kajian budaya dan media. Oleh karenanya; puisi, musik, sastra, filsafat, dan kajian budaya meda, saya banyak mendapatkan pencerahan. Diatas semua itu saya selalu berada dalam koridor keimanan yang dipercaya.