Polemik kritik sastra akademis

Ilustrasi Kritik Sastra - Zakiiaydia

Bila dilihat dari kacamata diri sendiri, kritik sastra itu diharapkan bisa melahirkan kritikan yang mengandung nilai-nilai baik buruknya, tinggi rendah mutu dari suatu karya sastra. Secara garis besar kritik sastra itu terbagi kedalam 2 kategori yaitu, kategori kritik sastra akademis dan kritik sastra umum. Sebenarnya keduanya sama-sama kritik, akan tetapi perbedaannya terletak pada metodologi-metodologi yang dipakai dari kedua krtik tersebut. Kritik sastra umum adalah kritik yang bersifat public yang bisa diapresiasikan untuk semua khalayak dan masyarakat luas. 

Biasanya kritik ini muncul didalam media-media massa berbentuk resensi, artikel dan yang lain-lain. Semua orang pun bisa menjadi seorang kritikus/para pengapresiasi kalau dilihat dari wilayah kritik sastra umum, meskipun begitu para pengkritik ini juga harus sesuai dengan koridor teori kritik sastra yang bisa membangun, tidak mencaci, dan tidak membaur kedalam hal yang jauh dari yang dikritik, dan juga bisa mengekspresikan tujuan pengarang lewat teks. 

Berbeda dengan kritik sastra akademis yang lebih bersifat kritik alamiah, dengan kata lain setiap kritikan yang dilontarkan kritikus harus disertai dengan alasan pertanggungjawaban. Artinya ia bisa diterima berdasarkan ketentuan ilmiah. Sesuai dengan kerangka teoritis dan metodologi pengungkapan nilai-nilai yang dipakai.

Namun akhir-akhir ini peran kritik sastra akademis yang diharapkan bisa memberikan angin segar terhadap kritik-kritik yang bersifat objektif, kritikus tidak dari orang yang mendalami bidangnya ataupun dari kritik sastra yang kurang ilmiah. Tenyata masih banyak dikeluhkan.

Menurut Subagio Sastrowardoyo: 

“Tidak sedikit peminat sastra yang merasa kecewa melihat perkembangan kritik sastra dewasa ini, khususnya yang berlaku dan dilakukan di lingkungan akademis. Yang diharapkannya dari kritik sastra adalah suatu kritik, yakni suatu tanggapan yang mengandung penilaian tentang baik-buruk, tinggi-rendah mutu dan berhasil-tidaknya karya sastra yang konkret dihadapi penelaah. Harapan itu tidak terkabul karena yang disibukkan para dosen dan mahasiswa perguruan tinggi adalah pemahaman berbagai teori sastra modern yang kebanyakan bersifat formalitas.”

Polemik tentang peran kritik sastra akademis bukan hanya terjadi sekarang, hal tersebut sudah ada dari sejak berkembangnya sastra Indonesia modern sekitar tahun 1920 khususnya ketika polemik kritik rawamangun versus Ganzheit. Namun hal yang seperti ini menjadi perbincangan hangat lagi bagi para sastrawan untuk mencari tepian perbincangan panjang tentang peran krtik sastra akademis.

Tidak mudah bila saya menjawab pertanyaan mengapa polemik peran kritik sastra akademis terjadi?apa penyebab itu terjadi? Dan kapan hal itu tepatnya terjadi? Saya yakin sekali bahwa untuk menemukan kepuasan atas pertanyaan tadi tidak memerlukan waktu yang singkat untuk mencari jejak awal dari polemik ini terjadi. Oleh karena itu saya hanya membatasi sedikit dari efek munculnya polemik ini dengan mengacu pada referens-referensi yang saya temukan. 

Pada awalnya saya sendiri masih kebingungan ketika salah satu dari teman saya memperkenalkan dan berbicara tentang kritik sastra akademis. Sempat berpikir bahwa yang dimaksud dia adalah kritik yang diajarkan dikampus. Dan memang hal itu benar bila dilihat secara singkat akan tetapi pengertian saya itu hanya sedikit dari banyaknya hamparan-hamparan luas yang belum terjamah oleh saya. Namun yang sedikit saya ingat dari jawaban yang diungkap adalah `selalu berkarya kit`. Betapa jauhnya saya menjawab pertanyaan tersebut. Berangkat dari sana saya mulai mencari tahu tentang kritik sastra akademis, guna mengklarifikasi dan mempertanggungjawabkan kesalahan jawaban yang saya lontarkan. 

Seiring dengan berkembangnya teori-teori yang di import dari barat baik itu teori pengetahuan, alam, bumi, seni, sastra., sedikit telah mempengaruhi pemikiran-pemikiran dalam kemajuan interpretasi kita terhadap objek yang diteliti. Khususnya dalam tulisan ini adalah teori-teori sastra yang terlahir dari pemikiran-pemikiran barat. Bila merujuk pada perkataan A.theuw dalam essainya yang berjudul membaca dan menilai sastra terbitan Penerbit Gramedia, Jakarta, tahun 1983 tertulis disana antara lain:

“Teori sastra telah berkembang pada paruh abad ke 20 ini, sehingga teori-teori lama tidak dapat diandalkan lagi untuk membaca dan memahami karya sastra. diIndonesia teori mutakhir ini jarang dikenal atau hanya sedikit diketahui orang. Akibatnya teori sastra Indonesia sering ketinggalan zaman. Karangan-karangan Teuww dalam buku ini justru memperkenalkan teori sastra Roland Barthes dan Michael rafattele (Francis), Hans Robert Jausz(Jerman barat), Juriz M. Lotman (Rusia), Jan Mukarovosky dan Volic Vodicka (Cekoslovakia), dan lain-lain.”

A. Theuww berpendapat bahwa teori-teori yang berasal dari barat banyak digunakan dalam mengkritik karya-karya sastra daripada teori-teori sastra Indonesia yang ada, bahkan diatas dikatakan bahwa teori sastra Indonesia sudah ketinggalan zaman, mungkin secara tidak langsung teori sastra Indonesia sudah jarang dipakai dalam dunia pengkritikan. Oleh karena itu dengan adanya teori-teori sastra yang berasal dari barat seakan-akan menjadi suntikan segar bagi dunia kritik sastra di Indonesia. khususnya didunia akademik yang diharapkan akan mencetak seorang kritikus yang handal dan mempunyai interpretasi bagus mengenai pemahaman karya sastra.

Sudah barang tentu bahwa kehadiran kritik sastra akademis diharapkan membawa angin baru dalam meliput perkembangan karya-karya sastra Indonesia. Semakin banyaknya karya-karya yang berkembang di Indonesia tidak sebanding dengan adanya kritikan-kritikan terhadap karya yang berkembang itu. Dunia kritik sastra akademis yang salah satunya berada ditempat-tempat kuliah dituntut untuk bisa menjadi kritikus yang bisa mengapresiasikan pendapat-pendapatnya terhadap khalayak luas, dan tentu harus berdasarkan nalar yang bagus sesuai teori-teori yang telah dikenalkan di akademik dan alasan-alasan yang bisa dipertanggungjawabkan.

Namun ada kecenderungan bahwa kritik sastra akademis akhir-akhir ini mulai meredup, bahkan ada yang mengatakan kritik sastra akademis telah mati. Hal itu menjadi sorotan tajam para sastrawan dalam pertemuan ke 3 di riau pada tanggal (31/10). Banyak yang menyorot peran kritik sastra akademis dalam dunia kritik susastra Indonesia masih jauh dari pengharapan. Tidak heran kalau misalnya dalam pertemuan itu Sastrawan dan guru besar sastra Budi Darma mengatakan, mayoritas kritik sastra akademis hanyalah artefak kering, kurang darah, kurang daging, kurang semangat hidup. Mayoritas kritik sastra akademis hanyalah ada demi kepentingan untuk ada belaka, bukanya ada untuk membawa pengaruh dan membawakan dampak.

Beberapa alasan mungkin bisa kita temukan dalam polemik ini, tanpa ada maksud menyalahkan pihak satu dan pihak yang lain-nya. bahwa peran kritik sastra akademis kurang dikenal luas didalam masyarakat, karna yang pertama kritik sastra akademik itu di tulis sebagai bahan formalitas, ketika itu di tulis sebagai formalitas, kesungguhan di dalam penulisan untuk melakukan suatu penemuan yang berguna bagi perkembangan sastra berkurang, hingga kontribusinya ikut berkurang. Ke dua kritik sastra akademik terlalu mengedepankan format, menganggap materi sebagai harga mati, hingga pengunggkapan terhadap kebulatan karya sastra itu berkurang. Ke tiga dalam penyajiannya mengggunakan bahasa baku atau ragam bahasa ilmiah, sehingga kritik sastra itu menjadi kaku, tertutup hingga sulit di terima masyarakat. Ke empat kritik sastra akademik cenderung berada di lingkarannya saja, artinya kurang terpublikasikan secara luas hingga kontribusinya menjadi kurang. (Nensi Suherman)

Tidak terlepas dari itu, permasalahan ini sebaiknya tidak boleh dibiarkan, permasalahan ini harus segera diatasi dan dibenahi umumnya bagi semua orang dan khususnya untuk orang-orang yang berada dalam institusi terkait pembelajaran sastra. Namun disisi lain perlu diperhatikan juga bahwa harus ada pertimbangan untuk ruangan publikasi-publikasi untuk kritik sastra akademis di Indonesia. Karena kritik sastra akademis ini sangat terbatas dalam ruang publikasi nya. Kritik sastra akademik akan tetap mendapat tempat di wilayah ini tanpa harus kehilangan sifat keilmiahannya. Institusi harus berperan dalam mensosialisasikan kritikan-kritikan dari pengaplikasian teori kedalam media massa semisal Koran, majalah, jurnal atau internet.

Dengan begitu hal ini bisa menjadi salah satu solusi dalam polemik ini, meskipun masih banyak kekurangan-kekurangannya. Kalau diibaratkan, ` bagai jarum pentul diluasnya lautan.` akan tetapi mungkin hal ini bisa bermanfaat bagi kalian semua yang menyimak.