Panopticon Media: Mereka Yang Curiga Islam Adalah Terorisme -->

Panopticon Media: Mereka Yang Curiga Islam Adalah Terorisme

October 20, 2022,

T indakan yang dilakukan oleh NYPD terhadap komunitas muslim yang ada di Newyork – Amerika pada umumnya dan khususnya pada hal yang serupa namun diluar New York, telah menimbulkan suatu reaksi yang keras dari pihak otoritas Muslim disana, baik itu dikalangan perkerja, militer, doktor, para ulama sampai kepada para pelajar. 

Merasa hak kehidupan bermasyarakatnya dibatasi, karena berdasarkan masalah agama, oleh pengawasan NYPD. Komunitas muslim yang diwakili oleh Syed Hassan dan Farhana Khera dari advokat muslim mengajukan tuntutan yang dilayangkan kepada NYPD. Hal ini dilakukan sebagai bentuk keberatan dari perlakuan tidak seimbang yang dialami oleh warga muslim disana.

 

Sebagaimana yang diberitakan beberapa media online Amerika dan beberapa website komunitas muslim. Dikatakan bahwa NYPD berusaha mengintervensi kegiatan komunitas muslim dengan memata-matai segala aktivitas kehidupan bermasyarakat disana.

 

Tindakan yang dilakukan oleh NYPD, disinyalir, merupakan sebuah bentuk penegakan hukum atas sesuatu yang ilusi. Ia jauh dari kebenaran nyata. Alasan yang paling utama yang dilontarkan oleh pihak NYPD adalah untuk menanggulangi permasalahan terorisme. Lebih lanjut, NYPD mengatakan bahwa hal ini dilakukan sudah berdasarkan fakta yang ditemukan.

 

Dengan meminjam masa yang telah berlalu, dalam hal ini terkait dengan 9/11, NYPD telah melakukan suatu tindakan yang tak seharusnya dilakukan. Bolehlah dikata bagi mereka, perang melawan terorisme belum berakhir dan sebagai salah satu wujud untuk mencegah tindakan teror itu terulang kembali, mereka dengan kehendak jiwanya telah memberikan suatu perhatian khusus terhadap warga muslim yang ada disana, bahkan berlebihan.

 

Kita bisa membayangkan bagaimana kalau misalnya segala tindak-tanduk kegiatan yang kita lakukan sehari-hari terus diawasi oleh pihak keamanan ditempat anda tinggal? Meskipun banyak yang berdalih bahwa hal itu bagus untuk dilakukan akan tetapi disatu sisi hal tersebut cenderung diskriminatif. Kenapa hanya pada warga muslim saja NYPD merasa harus mengawasi kegiatan-kegiatan sehari yang dilakukan secara curiga.

 

Dimesjid diintai, dikampus diawasi, disekolah dimata-matai, ditaman diperhatikan, ketika berkumpul mengobrol dicari apa yang diobrolkan, sampai kepada aktifitas ngeblog para pelajar/mahasiswa disana diawasi. Jangan-jangan penyusup telah masuk kerumah-rumah warga muslim disana. Tentu hal itu berdasarkan persepsi mereka terhadap, sikap berlebihan dalam menanggapi, terorisme.

 

Dalam tulisan pendek ini saya hanya ingin menjelaskan sedikitnya tiga faktor yang berhubungan dengan pemasalahan diatas. Ketiga faktor ini sangat berkaitan erat satu sama lainnya, bahkan saling menegaskan. Yang pertama adalah menyinggung kembali kisah klasik pertentangan antara Islam dan barat. Yang kedua lahirnya definisi Terorisme, citra ilusi, yang erat kaitannya dengan Islam dan yang ketiga adalah bagaimana hal tersebut menjadi sebuah panopticon global bagi islam.



 

Kisah Klasik Pertentangan Dalam Dunia Fatamorgana

 

Syahdan, Persepsi orang-orang barat terhadap agama Islam tidak bisa terlepas dari sejarah panjang antara Islam dan barat kristen itu sendiri. Ziaudin Sardar menyadari hal tersebut lebih jauh, ia mengatakan bahwa kedatangan Islam itu sendiri sudah menjadi suatu masalah bagi Eropa. Begitupun John L. Esposito dalam bukunya yang mengatakan bahwa kemunculan dan perkembangan Islam adalah merupakan sebuah tantangan bagi barat Kristen.

 

Meskipun tantangan yang dimaksud mereka hanya bersifat tantangan teologis & politis namun dampak dari itu adalah warisan sejarah panjang kelam antara keduanya. Dari penghinaan Nabi oleh Paul Alvarus, perang salib, kebangkitan Islam pada masa khilafah sampai Ottoman setidaknya telah menanamkan suatu gambaran melingkar yang akan selalu hadir dimasa depan.

 

Pertentangan antara islam dan barat ini boleh dibilang masa lalu yang tertunda, ia seolah melingkar tak pernah berhenti. Masa lalu yang akan selalu ada dan meledak kalau disentuh dengan bahan yang mudah membludak.

 

Seperti contoh: Kisah yang memilukan sekaligus mengkhawatirkan adalah ketika media menyajikan kebengisan, kemarahan, situasi huru-hara, kekerasan simbolik sampai pada arah penonton yang dipadankan kepada rasa yang iba ketika terbunuhnya salah satu duta besar Amerika, pada kasus pelecehan Nabi Muhammad SAW –PBUH (Baca Innocent of Muslim).

 

Setidaknya dapat ditarik 2 kesimpulan penting yang bisa kita sematkan pada masalah ini, yakni sikap diantara mereka yang hendak melecehkan Islam dan kemarahan dengan sikap yang tak sewajarnya menjadi komoditas yang kaya bagi media. Dan yang terlihat dimedia itulah yang pada akhirnya berimbas pada pandangan orang-orang, terhadap Islam, merasa sedikit demi sedikit ragu terhadap eksistensi Islam.

 

Ada 2 konsep rasa saling bertikai namun ia berdiri ditengah sumber yang saling menerka satu sama lain. Orang non-Muslim memandang orang Muslim: juga betapa orang Muslim tidak mampu memahami bagaimana dunia memandang diri mereka. Selalu terjadinya pertentangan dikedua belah pihak bahkan dari citraannya yang salah bukan tak mungkin akan menghadirkan sesuatu yang wah.

 

Pertikaian ini seringkali ditandai dengan tindakan saling tidak tahu, saling memberi stereotif, menghina, dan konflik.

 

Media, yang secara global dikuasai oleh barat, setidaknya menjadi sebuah dunia citraan yang luar biasa. Terkadang dengan kehadirannya kita seolah melihat dunia realitas dalam kacamata fatamorgana, ketika mendapati diri lebih dalam dan dekat ia seolah hilang dengan sendirinya, memudar dan mungkin tak pernah ada.

 

Tapi sebagaimana hal biasa terjadi, bagaimana sejarah, dengan berbagai pristiwa yang telah terjadi, terkadang menjadi sebuah senjata bagi mereka yang benci terhadap satu sama lain.Perang-perang yang telah berlalu lantas dihadirkan kembali dengan bentuk yang berbeda secara berlebihan atau secara tidak seimbang dengan bukti sejarah yang ada.

 

Berbagai film-film Hollywood banyak yang melahirkan beberapa opini publik yang terlahir lewat citra tentang gambaran Islam itu adalah barbar, penuh dengan kekerasan, penuh dengan pembunuhan, penuh dengan mistis, fatwa yang mengekang, terbelakang dan lain-lain.

 

Perang melawan Saddam Husain menjadi perang semiotika yang menyebar tak terarah dari sebab media yang terlalu picik mendeskripsikan fakta yang menghadirkan suatu kesamaan visi, pada pandangan orang-orang terhadap Islam.

 

Dan lagi ketika Ayatollah Khomeini mengeluarkan fatwa mengejutkan kepada Salman Rushdie dengan ayat-ayat setannya telah menimbulkan suatu pandangan terhadap Islam yang penuh dengan fatwa-fatwa yang mengekang. Namun puncak dari segala kenikmatan mereka, atas persepsi tersebut, adalah ketika pentagon luluh lantah oleh, yang dianggap mereka, Al-Qaedayang berujung pada pandangan global terhadap Islam, yaitu terorisme.

 

Begitulah sekiranya gambaran Islam yang menghantui segenap orang-orang Barat. Islam seringkali disamakan dengan radikalisme dan terorisme. semata namun sangat intens selalu ada rantai yang memperkuat bagaimana citra itu berlanjut.

 

Kata ini, terorisme, sekarang sudah menjadi sebuah hegemoni global. Dimana pada tingkatan tertentu pandangan ini, yang berasal dari barat, cenderung menggeneralisasi semua orang muslim. Yah meskipun sebagian orang muslim akan berpendapat “ah saya tidak merasakan hal itu, itumah hanya ketakutan kamu aja kaya gitu” namun dibalik semua itu persepsi islam dibarat sudah menakutkan sedemikian rupanya.

 

Karena itulah kita mengenal orang-orang yang mengatasnamakan diri mereka dengan menyebut Islamophobia, anti-Islam dan sebagainya. Contoh kecilnya adalah tidak sedikit orang-orang/warga disana yang mendukung langkah-langkah yang dilakukan NYPD, terkait mata-mematai, untuk mengawasi setiap detailnya kegiatan yang dilakukan komunitas muslim disana.

 

Lalu pertanyaannya sekarang adalah apakah sejarah pertentangan ini merupakan sejarah kebencian yang akan selalu ada diantara kedua belah pihak? Karena kubu yang berkonfrontasi mempunyai keyakinannya tersendiri untuk menyebut diri mereka sebagai Anti, baik itu anti Amerika ataupun anti Islam. Sampai kapan hal ini berakhir? Apakah harus kita mengkaji kembali tesis dari Hutington, yang mengatakan bahwa konflik diatas adalah konflik yang akan selalu terjadi dizaman sekarang.

 

Panopticon: Hidup Ditengah Penjara

 

Berkaca pada kejadian di New York, barangkali terorisme ini sudah menjadi sesuatu hukum tak terlihat bagi komunitas muslim, dimanapun itu berada. Dengan intensitas yang tinggi dari media yang tak hentinya membuat suatu berita heboh tentang isu teroris telah melahirkan beberpa persepsi yang tak sesuai dari masyarakat.

 

Bukan tak mungkin mereka mengamini apa yang ada dimedia itu benar seluruhnya, meski tanpa menyentuh isi realita keseluruhannya. Dengan demikian bagi mereka mungkin Islam benar-benar penuh dengan kekerasan, konflik, fatwa-fatwa, larangan, atau diskriminatif.

 

Kalau sudah seperti ini barangkali terorisme, dan kecurigaan yang mendalam, ini sangat serasi bila disamakan dengan panopticon. Bagi mereka yang belum tahu, panopticon itu adalah sesuatu bangunan yang menyerupai mercusuar, tempatnya berada ditengah dari kurungan penjara yang melingkar. Pada intinya sistem ini diciptakan untuk memudahkan sipir penjara mengendalikan penjara pada satu tempat. Dan juga membuat trauma bagi para tahanan.

 

Tahanan dipenjara itu akan merasakan suatu yang berbeda dengan adanya panopticon itu. Ia merasa selalu diawasi, dia selalu diintai padahal kemungkinannya tidak, dan dia merasa bahwa dirinya tidak terlalu bebas untuk bertindak. Disatu sisi panopticon ini sangat berguna apabila ditempatkan pada proporsi yang tepat tapi akan beda halnya kalau sistem ini disematkan pada proporsi yang salah.

 

Dengan adanya makna generalisasi terorisme dan kecenderungan pertentangan melingkar antara Islam dan barat ditambah dengan media yang kurang jeli, maka tak menutup kemungkinan terdapat benih-benih kecurigaan yang akan membawa pandangan masyarakat global pada panopticon terorisme.

 

Segala macam bentuk kegiatan dan aktifitas sehari-hari komunitas muslim, khususnya yang ada di New York, menjadi seperti sebuah prilaku para tahanan yang berada dipenjara, logikanya seperti itu. Hidup dalam dunia panopticon memang hidup dalam dunia yang penuh kecurigaan.

 

Terorisme bersamaan dengan pandangan stereotif dan kecurigaan itu sendiri sudah menjadi sebuah mercusuar global yang ditegakan oleh dunia dalam media. Isu terorisme yang seharusnya tidak melebar pada tingkatan yang tak wajar tapi dalam dunia global, yang syarat dengan meme kultural yang akut, semuanya bisa menjadi kebenaran diatas kebenaran. Begitulah media yang disana tempat dimana hiperealitas berada.

 

Kesimpulan

 

Selebihnya saya, kita dan semua umat Islam berharap agar saudara-saudara kita yang ada disana diberikan suatu kesabaran dan jalan hikmah dengan adanya kejadian tersebut. Dengan sikap berani yang dilakukan oleh komunitas muslim disana yang menentang perlakuan tak seimbang diharapkan menjadi sebuah contoh bahwa permasalahan tidak seharusnya lantas diselesaikan dengan sebuah bentuk yang merugikan.

 

Karena bisa jadi kita adalah korban dari para pembuat panopticon yang tak bertanggung jawab dengan semena-mena menghadirkan sebuah citraan yang salah. Alhasil kita dengan barat yang mempunyai kisah sejarah panjang pertentangan penuh makna apabila satu sama lain mudah terprovokasi maka yang ada hanya gambaran-gambaran masa lalu yang akan terulang.

 

Media yang tak berimbang dalam menghadirkan suatu kebenaran terkadang membuat kita terpukul. Disetiap channel kita disajikan berita tentang penangkapan seorang teroris dengan buku-buku tentang jihad ataupun sebagainya, dengan begitu wacana terus berlanjut kepada ia pernah mengikut ini itulah. Selain itu sorotan terhadap perang saudara di Suriah, demo besar2an di mesir, kerusuhan Somalia dan terakhir berita dari Tuareg, MNLa dan Aqim telah menjadi suatu yang selalu dijumpai. Apakah effek dari semua itu?

 

Bagaimana terorisme bisa menjadi sebuah hal yang disematkan pada semua orang muslim sedikitnya merupakan hasil peran besar yang diberikannya. Padahal semua itu barangkali hanya seperti sebuah fatamorgana yang keberadaan nyatanya tak sedemikian yang terlihat. Yah semua itu adalah sesuatu yang melampaui realitas.


Sumber bacaan:


  • [ref]Lihat pada laman http://muslimadvocates.nationbuilder.com/nypdlawsuit untuk mengunduh data.[/ref]
  • [ref]http://articles.washingtonpost.com/2012-06-06/national/35461199_1_farhaj-hassan-muslim-advocates-farhana-khera[/ref]
  • [ref] Sardar, Ziauddin. and Malik Abbas. 1994. Islam For Begginners. (terj. Mizan) Bandung: Mizan.[/ref]
  • [ref]Esposito, John L. 1992. Ancaman Islam Mitos Atau Realitas? (terj. Mizan). Bandung: Mizan.[/ref]
  • [ref]Esposito, Op.Cit., hal 35.[/ref] Kurangnya pemahaman tentang Islam dikalangan kaum non-Muslim, dan sebagian dari kegagalan kaum Muslim menjelaskan diri mereka.[ref]Ahmed, Op.Cit., hal 107.[/ref]
  • [ref] Ahmed, Akbar S. 1992. Posmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam (terj. Mizan). Bandung: Mizan.[/ref]
  • [ref]Esposito, Op.Cit., hal 35.[/ref] Bahkan Akbar S. Ahmed mengatakan bahwa citra negatif Islam bukan merupakan kilasan imajinasi[ref]Ahmed, Op.Cit., hal 107[/ref]
  • [ref]Pada awalnya Bentham yang pertama kali memakai istilah ini sebelum Foucault memperkenalkan lebih lanjut.[/ref]

TerPopuler