![]() |
Saracen - ZakiiAydia |
Sebuah Pengantar: Perkembangan Agama Islam
Sejarah tentang peradaban Islam yang gemilang, dari awal mula kemunculan dan melahirkan kebudayaan yang tak terhingga sampai dengan kemundurannya, sudah banyak ditulis oleh beberapa ilmuwan dengan pembahasan yang berbeda dilihat dari berbagai tujuannya.
Salah seorang dari ilmuwan tersebut adalah ahli sejarah, H.A.R Gibb (1933: 3) yang pernah menyatakan pandangannya terhadap Islam bahwasanya: Islam is indeed much more than a system of theology, it is complete civilization.
Apa yang dinyatakan oleh Gibb diatas menegaskan bahwasanya kehadiran Islam dibumi ini bukan sekedar untuk memenuhi kerinduan insan manusia terhadap dunia spiritual saja namun Islam juga berhasil menorehkan jejak yang sangat berharga bagi peradaban dunia.
Bila dicermati dengan seksama, apa yang dikatakan oleh Gibb itu, tentang pandangannya terhadap peradaban Islam, adalah salah satu dari sekian banyak ilmuwan yang melihat Islam berdasarkan pandangan yang objektif. Selebihnya maka terdapat pula para ahli yang menuliskan hal ihwal sejarah Islam dengan representasi yang sangat keliru.
Hal tersebut bukanlah tanpa alasan, mengingat bahwa tidak semua orang bahkan seorang ilmuwan sekaligus, ketika melihat suatu permasalahan dirinya tidak, mempunyai pendirian yang bebas dan terhindar dari rasa fanatik yang membelenggu ketika menulis sebuah sejarah.
Imbasnya adalah ketika rasa fanatik tersebut dikonfrontasi dengan fakta sejarah yang ada, maka watak dari keterangan sejarah tersebut bisa dikatakan sudah dirembesi dengan kebohongan. (Khaldun, 2011: 57) Inilah yang seharusnya menjadi acuan bagi mereka yang hendak menulis tentang sejarah Islam, khususnya, dan sejarah pada umumnya.
Representasi yang keliru tentang Islam telah banyak didegungkan oleh para ahli dengan berbagai tema dan media penyampaian yang beragam, sesuai dengan zaman dimana mereka hidup. Kalau dulu media penyampaian masih bersifat sebuah tulisan tapi sekarang representasi tersebut bisa ditemukan pada media televisi, berita atau sebuah film.
Meskipun begitu wacana yang mengemuka, paling fundamental dan sering diperdebatkan, adalah perihal bentrokan antara dua agama besar yakni agama Islam dan Kristen (Barat). Hal tersebut menjadi fundamental karena kedatangan Islam, dengan penyebaran dan doktrin-doktrinnya yang mengagumkan, disatu sisi telah menjadi suatu momok menakutkan bagi kalangan umat kristiani karena meruntuhkan sebuah keyakinan yang paling mendasar.
Bernard Lewis (1993: 13) didalam bukunya yang berjudul Islam and The West mempunyai pendapat mengagumkan mengenai alasan dari permasalahan ini, ia mengatakan bahwa:
For almost a thousand years, Europe was under constant threat. In the early centuries it was a double threat—not only of invasion and conquest, but also of conversion and assimilation. All but the easternmost provinces of the Islamic realm had been taken from Christian rulers, and the vast majority of the first Muslims west of Iran and Arabia were converts from Christianity. North Africa, Egypt, Syria, even Persian-ruled Iraq, had been Christian countries, in which Christianity was older and more deeply rooted than in most of Europe. Their loss was sorely felt and heightened the fear that a similar fate was in store for Europe.
Senada dengan Lewis, Josef W Mari (2006:243) dalam bukunya mengatakan bahwa:
“Faced with the expansion of Islam, the crises of power over Jerusalem, the proximity of a thriving Islamic civilization in parts of Spain and Italy, and the uneasy transmission of knowledge (especially in the realm of science), medieval Christians imagined and recorded Muslim identity in diverse ways.”
Lewis dan Josef Meri dengan gamblang memberikan penjelasan bahwa penyebaran Islam yang mencapai puncaknya ketika berkuasa dari Eropa ke Asia benar-benar membuat umat kristiani tertekan. Bukan hanya karena sebagian dari wilayah mereka berhasil ditaklukan oleh umat islam akan tetapi sedikit demi sedikit orang-orang yang pada mulanya memeluk agama Kristen berbondong-bondong memeluk agama Islam.
Disatu sisi, bagi umat Islam, hal diatas merupakan sinar terang dari sebuah etos perjuangan namun disisi lain, bagi umat Kristen, hal itu adalah suatu kegelapan. Siapa sangka bahwa dengan besarnya hegemoni Islam dan semakin tertekannya umat kristiani pada waktu itu menimbulkan suatu doktrin perjuangan suci yang mengatasnamakan agama.
Kehadiran Islam ditampuk peradaban tidak lebih baik dimata mereka dan semenjak saat itu berbagai prasangka seperti Islam disebarkan melalui pedang atau Islam adalah agama kekerasan yang tidak memandang hak-hak kemanusiaan banyak menghiasi literatur-literatur barat, khususnya pada abad pertengahan yang dimana abad ini bisa disebut sebagai awal mula dari lahirnya representasi keliru tentang islam secara literatur.
Munculnya representasi keliru tersebut mengindikasikan adanya sebuah upaya perlawanan balik yang dilakukan oleh Kristen, yang pada waktu itu mengganggap:
Islam was at best a heresy, more usually a false doctrine, founded by one who was variously depicted, at different stages in the evolution of European consciousness, as a heretic, an impostor, and later, in the age of the Enlightenment, an Enthusiast. (Lewis, 1993: 7)
Para penulis diabad pertengahan mulai memaknai Islam dengan representasi yang negatif dan jauh dari substansi Islam yang sebenarnya. Representasi yang paling banyak ditulis oleh para penulis tersebut adalah pemaknaan Islam dengan sebutan Saracen, Moors, Mahometan, Mahoun atau pagan.
Rachida El Dawani (2005: 5) dalam salah satu jurnalnya yang berjudul The Distorted Image of Islam, “Medieval Prejudice”, mengutarakan empat poin, umum, yang selalu direpresentasikan orang barat di abad pertengahan:
- The Islamic Religion is Falsehood and deliberate perversion of the truth,
- It’s religion of violence and sword
- It’s religion of self-indulgence,
- Muhammad is the antichrist.
Poin yang diutarakan Rachida El Dawani diatas adalah representasi umum yang selalu diutarakan terhadap Islam pada waktu dulu sampai sekarang. Dan hal tersebut kurang cocok untuk dijadikan pegangan dalam pembahasan ini karena pada sebuah karya sastra pasti mempunyai ciri dan karakter berbeda yang digambarkan oleh penulis dan menjadi sebuah pengkategorian oleh beberapa pengamat.
Oleh karena itu sudah merupakan suatu keniscayaan bahwa penelitian ini harus berangkat dari pemahaman seorang ahli, khususnya yang menfokuskan diri pada sastra abad pertengahan dan hubungannya dengan Islam. Dan seorang ilmuwan yang banyak menghabiskan waktu untuk memfokuskan dirinya terhadap karya sastra dan representasi orang barat terhadap Islam adalah Dorothee Metlitzki.
Dorothee Metlitzki (1977: 23) dalam bukunya “The Matter of Araby in Medieval England” menguraikan hasil analisis yang mengagumkan tentang tipe-tipe representasi Saracen yang muncul pada sebagian karya sastra abad pertengahan. Tipe penting yang dikatakan Dorothee itu adalah:
- The enamored princess
- The Converted Saracen
- The defeated Emir or Sultan
- The Archetypal Saracen giant
Sebagai contoh, yang ada dalam sebuah karya sastra, adalah representasi Saracen pada karya Bevis of Hampton, dimana pada cerita ini Bevis, dia berasal dari Inggris, berhasil memikat putri Josian, seorang yang beragama Islam, dari kerajaan Armenia.
Saracen itu sendiri adalah sebuah kata yang, sebenarnya, telah lahir pada abad ke tiga masehi namun para penulis yang hidup di abad pertengahan mengaplikasikan dan mengidentifikasikan kata tersebut kepada orang Arab yang melakukan penaklukan atas tanah-tanah yang dikuasainya.
No comments
Post a Comment