Umar bin Khattab dan Sastra Kepahlawanan


 

Ajarkan sastra kepada anak-anakmu karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani. - Umar bin Khattab-

Ketahuilah bahwa kutipan diatas lahir bukan dari seorang sastrawan besar semisal Shakespeare, Homer, Hemmingway, Khairil Anwar atau bahkan Pram. Melainkan kutipan tersebut berasal dari salah seorang pembesar agama Islam, yakni Umar bin Khatab, – Salam dan doa kupanjatkan untuknya.

 

Meskipun ia banyak dikenal sebagai seorang pejuang perang yang pemberani dan tangguh dalam menghadapi musuh namun dibalik keberaniannya itu ia adalah seorang yang menyukai hal ihwal syair khususnya dan sastra pada umumnya.

 

Ketertarikan Umar bin Khatab pada dunia sastra bukannya tanpa alasan namun memang pada saat itu beliau hidup di wilayah yang mana, pada waktu itu, syair-syair dan sastra menjadi sebuah identitas penting pada suku-suku yang ada di negeri jazirah Arab.

 

Syahdan, sebelum Islam menyebar luas dengan gemilang, negeri Arab pada waktu itu sudah banyak dikenal oleh orang-orang tentang kepiawaiannya dalam hal syair. Oleh karena itu negeri ini bukan saja dikenal sebagai sebuah negeri yang hidup mewangi, artinya Negeri ini dikenal karena mempunyai banyak cerita indah tentang suatu peradaban, akan tetapi Negeri ini juga dikenal karena kecerdikan-kecerdikan mereka dalam hal bersyair.

 

Dalam tulisan saya yang terdahulu, yakni tentang “Mu’allaqat: Yang Tersisa Pada Sejarah Ada Pada Syair” telah dikemukakan sedikit mengenai gambaran kondisi orang Arab pra Islam yang sangat menyenangi Hal Syair. Dan untuk mengetahui lebih lanjut temtang keadaan tersebut saya sarankan untuk membaca tulisan itu terlebih dahulu.

 

Karena pada kesempatan ini saya tidak akan menjelaskan dengan panjang lebar mengenai bagaimana kondisi dan peran sastra yang ada di Arab. Disini saya hanya ingin sedikit menjelaskan bagaimana peran dan fungsi sastra dalam dunia masyarakat dilihat dari tema semata.

 

Sebagaimana telah terucap diatas bahwasanya Umar bin Khatab – Semoga Allah memberi tempat yang indah kepadanya – ketika berkata “Ajarkan sastra kepada anak-anakmu karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani” pada waktu itu beliau bukannya berkata tanpa alasan. Akan tetapi beliau mewasiatkan sesuatu yang luar biasa kalau kita pandang kalimat tersebut dengan hati yang jeli bersih nan suci.

 

Pada kesempatan kali ini yang bisa saya sampaikan, sehubungan dengan alasan Umar bin Khatab, ketika mewasiatkan “mengajarkan sastra kepada anak” pada waktu itu adalah apa yang pernah dialami oleh beliau sewaktu sebelum masuk islam dan sesudah masuk Islam.

 

Umar bin Khattab Sebelum & Setelah Masuk Islam

 

Seperti banyak diketahui bahwasanya Umar bin Khatab sebelum masuk menjadi seorang muslim ia lebih terkenal sebagai seorang pembangkang ajaran Islam dan Baginda Nabi Muhammad Saw, PBUH. Pada waktu itu beliau terkenal sebagai seorang yang gagah berani dan tak gentar untuk melawan musuh termasuk keberanian niatnya untuk mebunuh Nabi Muhammad SAW sendiri.

 

Akan tetapi, sebagaimana jalan taqdir yang berbicara, ternyata sejarah berkata lain padanya. Umar bin Khatab ternyata ditaqdirkan untuk menjadi seorang sahabat Baginda Nabi dalam misinya menyebarkan agama Islam kelak.

 

Berbicara mengenai ketertarikan Umar pada Islam, usut punya usut ternyata salah satu yang membuat Umar bin Khatab tertegun hatinya untuk lebih mendalami isi dan ajaran yang dibawa oleh baginda Nabi adalah ketika beliau mendengarkan beberapa lantunan ayat Al-quran yang dikiranya adalah sebuah syair.

 

Ketika kita mendapati hal tersebut maka bukanlah hal yang tak mungkin pada waktu itu beliau telah mengenal betul apa makna dan keindahan yang ada pada sebuah Syair atau pada kata-kata yang mempunyai arti dan makna yang bagus.

 

Kondisi seperti ini jelas tidak akan bisa terlepas dari lingkungan Arab yang, telah dikatakan tadi, sudah dikenal banyak orang dalam hal dunia sastra, khususnya syair. Itulah sebabnya dengan keindahan bahasa dan alunan merdu ayat suci Al-Quran maka seketika itu pula beliau terkejut ketika mendengarkan lantunan ayat tersebut ternyata merdu didengar dan syahdu direnung.

 

Begitulah kita mendapati bagaimana bila suatu karya sastra menyuguhkan kepada kita sesuatu yang menggugah hati dan mungkin menjadi penawar rindu bagi jiwa yang sepi. Terlebih apabila yang didengarnya itu adalah Al-Quran yang dimana banyak para ilmuwan yang meyakini bahwa bahasa yang ada didalam Al-Quran merupakan bahasa yang menakjubkan.

 

Banyak karya-karya sastra yang mampu menggugah hati manusia seperti karya-karya sastra bertema cinta, tragedi, dan kepahlawanan. Apa yang diwasiatkan Umar bin Khatab tentu memiliki kriteria tersendiri bila dilihat pada konteks karya sastranya. Oleh karena Umar bin Khatab adalah seorang pahlawan besar yang menyukai syair maka syair-syair yang dianjurkannya pun tak akan pernah terlepas dari syair-syair yang mempunyai pesan untuk menjadi seorang yang pemberani

 

Sastra & Kepahlawanan

 

Unsur-unsur sastra bertema kepahlawanan sebelum datangnya Islam menjadi begitu sangat penting bagi beberapa suku-suku yang ada di Arab. Ungkapan berupa syair yang bertemakan seorang ksatria (Muru’ah), baik itu yang telah tiada atau yang masih hidup, seolah menjadi sebagai suatu welstanschaung dikalangan mereka.

 

Pada tingkatan seperti ini seorang pemikir besar islam, Ismail Raja Al-Faruqi, mendefinisikan keadaan diatas sebagai poros romantisisme. Dimana pada keadaan seperti itu (romantisisme) kondisi sosial akan membentuk solideritas internal suku.

 

Hal itu terjadi karena keadaan di Arab pada waktu itu digambarkan dalam sejarah-sejarah sebagai negeri yang penduduk atau suku-sukunya selalu berperang satu sama lain. Dan sudah menjadi ketentuan umum bahwasanya akan menjadi sebuah kehormatan untuk menang melawan suku yang ditantang perang adalah impian dari beberapa suku selain untuk bertahan hidup.

 

Syair (Puisi) yang pada waktu itu muncul dari hikayat perasaan individual seseorang menjadi sebuah mediasi yang cocok untuk menggambarkan apa yang tengah terjadi di Arab. Selain itu syair-syair juga menjadi sebuah senjata simbolik yang mampu menggugah perasaan seseorang untuk mengangkat senjata dan menjadi pahlawan di medan perang.

 

Mari kita simak tulisan singkat dari Ismail Faruqi sebagai penopang dari argumen diatas bahwasanya:

 

“Perang suku merupakan aturan umum, yang mana gencatan senjata dalam perang menyebabkan periode damai yang relative singkat. Syair terus menerus mengobarkan semangat, menyerukan kematian bagi suku sebagai puncak tertinggi prestasi heroik. Ayyam Al-Arab berkembang hampir seperti kultus, dimana para pemujanya adalah orang-orang Arab yang mendengarkan dengan penuh semangaat saat pendeta – dalam kasus ini, narrator- bercerita dalam syair dan prosa yang fasih warisan anekdot tentang pahlawan perang suku demi suku. Kultus ini benar-benar menguasai imajinasi orang-orang yang ikut serta.

 

Yang bisa kita maknai (jadikan hikmah) secara baik dalam keadaan ini adalah bagaimana sebuah syair atau karya sastra mampu membuat sesorang menjadi seseorang yang merasa seakan dirinya terbang dibawa kata yang diucap. Dengan kata lain inilah yang merupakan suatu sihir syair –sebuah karya sastra- yang mempunyai pengaruh sebagai sebuah sumbu bagi calon-calon pahlawan berikutnya.

 

Hal diatas bisa menjadi sebagai sebuah penegas bahwasanya unsur-unsur kepahlawanan dalam sebuah syair/karya sastra itu sangat penting. Sebagaimana Umar dengan wasiatnya prihal mengajarkan sastra kepada anak-anak, bukan hanya mengisyaratkan bahwa kita harus berperang, membunuh lawan, melainkan sifat dan hakikat sastranya lah yang bisa menggugah rasa dan jiwa seseorang sehingga yang tadinya ia malas melawan kejahatan menjadi seorang pemberani yang tak tertandingi.

 

Sedikit teranglah sekarang bagaimana wasiat Umar bin Khatab bisa kita dapati setelah tulisan singkat diatas. Mungkin banyak dari kita yang pernah mengidolakan seseorang pahlawan yang biasa kita tonton di televisi dan secara tidak disadari hal-hal itu membuat pertumbuhan psikologis kita sedikit terpengaruhi. Begitulah hal tersebut terjadi apabila kita membaca satu karya sastra.

 

Maka benarlah bahwasanya sebuah karya sastra yang hebat itu adalah sebuah karya yang bisa menggugah perasaan orang ketika dibacanya dan kita pun mengidolakannya, mungkin.

 

Kepahlawanan dalam sebuah karya

 

Kunci utama dari kepahlawanan, sastra kepahlawanan, adalah perlawanan yang dilakukan seseorang disatu tempat dengan perjuangan kerasnya untuk melawan orang-orang yang dianggapnya telah melanggar suatu aturan yang telah diberlakukan.

 

Adalah sama ketika kita sedang melihat tayangan-tayangan superhero asal Amerika atau Negara manapun yang sedang membasmi kejahatan dan kita terpukau oleh pahlawan pemberani yang tangguh itu.

 

Bedanya kalau waktu itu media TV dan tekhnologi belum tercipta maka perhatian utama para pengarang adalah dengan menuliskan cerita yang menggugah rasa kepahlawanannya kedalam sebuah mahakarya tulis/syair.

 

Banyak cerita-cerita kepahlawanan semacam Iliad, Odius, William Wallace, King Arthur, Hercules, Wonder Woman, Si Pitung, Robin Hood, dan Sanaya adalah buah dari bagaimana pengarang ingin menyampaikan sebuah sejarah yang mungkin bisa membuat kita menyadari sesuatu mutiara yang belum tersentuh hati.

 

Berbagai karakter pahlawan diatas memiliki perbedaan, baik itu secara keadaan sosiokultural (disesuaikan berdasarkan tempat pahlawan itu diceritakan) ataupun apa yang ditunjukan penulis pada karakter pahlawan tersebut. Sesuai dengan apa yang direksa dan lingkungan yang mereksa adalah salah satu syarat bagaimana seorang penulis mengkonstruksi pemahaman dirinya dalam suatu karya sastra.

 

Perlu diketahui bahwa satu hal yang paling mendasar dari bagaimana proses kepenulisan adalah seorang penulis itu tidaklah mungkin menulis sesuatu yang tak ia ketahui, artinya makna dari ketahui tersebut adalah apa yang ia pikirkan dan rasakan.

 

Sedangkan dalam pesannya, sebagaimana tersirat dari karakter yang ditampilkan dalam karya-karya tersebut adalah untuk menegakan keadilan dan kebenaran, membela yang benar dan malawan yang salah.

 

Keadaan sosikultural (Lingkungan) dimana karya tersebut lahir menjadi satu faktor penting pada cerita yang akan ditampilkan oleh seorang penulis kelak. Kadang seorang pahlawan muncul dalam sebuah sastra dalam situasi yang menggambarkan sebuah kerajaan yang penuh dengan korupsi, kesemena-menaan kaum borjuis dan ketidak perdulian mereka terhadap kaum miskin.

 

Bahkan ada juga tema yang muncul seperti sikap perlawanan negeri yang terjajah terhadap penjajahnya dulu. Sebagaimana Talas dalam essainya yang mengatakan bahwa:

 

Heroes first appeared in myths of various kinds, and in many cases the course of their life seems to represent daily or seasonal changes; in such cases they either symbolize the sun, or the growth and death of vegetation (Heroes and Heroism in Myth, Legend and Fiction)

 

Tema kepahlawanan dalam sebuah karya sastra adalah tema klasik yang selalu banyak kita temui hari ini. Dimanapun Negara kita singgah pastilah terdapat sebuah karya sastra –tentang kepahlawanan- yang kita dapat baik itu berupa dongeng, mitos atau legenda.

 

Menurut Jung –seorang pakar mitos- hal ini terjadi karena:

 

Heroes are constructions; they are not real. All societies have similar hero stories not because they coincidentally made them up on their own, but because heroes express a deep psychological aspect of human existence. They can be seen as a metaphor for the human search of self-knowledge. In other words, the hero shows us the path to our own consciousness through his actions.

 

Boleh dikata bahwa disini sastra menjadi sebuah alat perlawanan bagi mereka yang mempunyai kehebatan dalam merangkai kata sehingga semerbak menjadi beribu makna bagi para pembacanya. Sehingga benarlah bahwa kata-kata bisa lebih tajam dari pedang – dalam konteks perang -.

 

Seorang penulis sedikit mengubah gambaran perang dari cara mengasah pedang dan memainkannya menjadi sebuah kata yang tajamnya aduhai lebih terasah dari pedang itu sendiri. Buktinya sejarah mengatakan bahwa banyak para sastrawan/seniman yang pernah mendekam dipenjara akibat karya mereka yang dianggap terlalu radikal.

 

Pun ketika wasiat itu diturunkan beliau kepada rakyat-rakyatnya, termasuk kita sendiri, sebagai umat Islam hal ini menandakan bahwa syair atau sastra itu bukan merupakan suatu yang tidak dibolehkan. Kita tahu bahwa beliau adalah salah satu orang terdekat baginda Rosul, (PUBH) maka dari itu tidaklah mungkin jikalau beliau mewasiatkan sesuatu yang tidak dianjurkan oleh Islam.


Sumber bacaan: 


  • Umar bin Khattab, dalam Anis Mata-[ref]Pendidikan Karakter Berbasis Sastra-[/ref]
  • [ref]Faruqi. Ismail, Atlas Budaya Islam[/ref]