Subaltern dan Hegemoni: Pemikiran Antonio Gramsci Dan Gayathri Spivak

Gramsci - Zakiiaydia

Rasanya dunia terasa tidak seimbang pada sebagian pihak tertentu yang merasa diabaikan dan terabaikan atau bahkan dilupakan. Mereka yang terlupakan adalah mereka yang tidak berdaya melawan kekuatan menakutkan yang berkuasa, seperti kita ketahui yang berkuasa mampu melakukan sesuatu demi melancarkan ideologi mereka. 

Meskipun seringkali yang dikehendaki mereka memunculkan ketidakseimbangan di mata rakyat yang menjadi abdinya, akan tetapi mereka sama sekali tidak memperdulikan ocehan-ocehan kecil itu. Bahkan untuk mengaburkannya mereka menjadikan kejujuran sebagai topeng kebohongan dibaliknya.

Hal yang seperti itulah yang sering saya dapati ketika mencermati pemberitaan media-media saat ini, dimana yang berkuasa sangatlah enggan bergeming dengan keadaan. Dari hal yang terkecil seperti pengaturan skor yang pernah menjadi pemberitaan di liga Italia sampai pada hal terbesar semisal pengaturan dalam sidang atau pengaturan dalam bidang hukum. 

Sebenarnya masih banyak contoh yang bisa disampaikan disini namun substansi pentingnya adalah ada yang berkuasa dan ada yang tersisih oleh kekuasaan (elit) itu, dalam bahasa lain adalah yang miskin/marjinal.

Antonio Gramsci: Subaltern


Untuk membicarakan hal diatas mungkin tidak bisa terlepas dari salah seorang pemikir revolusioner Italia Antonio Gramsci yang dalam bukunya mengenalkan istilah subaltern yang menjadi pembicaraan penting pada abadnya. Gramsci sudah merasa riskan atas pemerintahan yang ada pada saat itu (sama halnya dengan saya yang merasa ngeri melihat yang terjadi dipemrintahan tercinta ini). Pada saat fasisme merajalela yang membunuh lawan-lawan elit mereka dengan tanpa kompromi Gramsci muncul sebagai sosok pro terhadap buruh yang dirasanya tidak mendapatkan keadilan yang bersahaja dan tidak sejahtera. Namun dengan adanya Gramsci ternyata menjadi momok yang menakutkan bagi pemerintahan pada waktu itu, sehingga samalah apa yang terjadi sekarang ini (orang-orang yang bersuara benar mengalami nasib yang sama) dengan yang di alami Gramsci. Dia ternyata dianggap meracuni pikiran orang lain yang akan menimbulkan prahara, oleh karena itulah ia dipenjarakan karena beberapa alasan yang perlu dipertanyakan.

Perlakuan seperti ini mengingatkan saya pada pemikir islam ibnu Taimiyah yang santer menggelorakan dakwah islam tapi akhirnya dianggap pemberontak oleh pemerintah, alhasil beliau di penjara dan akhirnya wafat. Tapi ada kesamaan diantara Ibnu Taimiyah dan Antonio Gramsci, mereka keduanya sama-sama tidak berhenti berjuang untuk tujuan yang hendak dicapai walau berada dibalik jeruji.

Kembali lagi pada Gramsci. Dibalik jeruji itu lahirlah sebuah notes/kumpulan catatan Gramsci yang kesemuanya berbicara tentang hegemoni kekuasaan yang berkuasa dan kemalangan yang tidak berkuasa yang tak kuasa melakukan apapun. 

Hegemoni itu sendiri adalah tindakan politik yang didominasi oleh elit-elit pemerintah atas kaum marjinal yang tidak berkuasa, dengan dibingkai oleh intelektual dan moral yang ditawarkan. Artinya para elit itu memanipulasi kaum marjinal dengan sikap soft oppression yang artinya kalau dalam bahasa sunda 'dipepende bari teu dicaritakeun nanaon, terus weh memepende nitah sare jeung tonk hudang-hudang' atau dalam bahasa akademisnya Hegemoni adalah bentuk soft oppression yang membuat orang tertindas tidak sadar sedang ditindas, malah menerima penindasan tersebut sebagai hal yang wajar.

Yang santer dibicarakan oleh Gramsci pada saat itu mungkin terjadi dalam lingkup pemerintahan saja tapi dalam perkembangannya hegemoni tersebut menyebar luas pada hirarki-hirarki lain-nya. Singkatnya dimana ada hirarki, di situ kuasa hegemoni potensial untuk timbul. Teori Hegemoni menjadi alat yang berguna untuk memahami dan membedah budaya serta prilaku organisasi dalam beragam bentuk dan tingkatannya. Oleh karena itu sampai saat ini pemikiran-pemikiran Gramsci masih tetap relevan sehingga sering diperbincangkan dan menjadi referensi dalam kajian-kajian politik, budaya, dan sosial kontemporer.

Didalam pembahasan ini saya hanya terbesut oleh suara rakyat yang dari raut wajahnya terlihat muka berontak untuk mencari keadilan, artinya saya menulis ini berdasarkan suara-suara rakyat yang muncul akibat ketidak seimbangan keadilan yang mereka dapatkan. Tidak sedikit yang saya temukan perkataan seperti “Saya Cuma rakyat kecil aja toh mas, Kita engga bisa ngelakuin apa-apa wong saya orang kecil yang tidak bisa apa-apa”. Dalam berbagai kasus mungkin kita bisa dapatkan hal yang seperti itu. Saya tidak menjelaskan sedetail mengenai berita tersebut karena substansinya memang sudah ada melekat dilingkungan kita yaitu yang berkuasa (Elite) dan tidak berkuasa, marjinal (Proletar). Kalau ingin lebih jauh melihat contoh mungkin bisa kita temui di berita-berita.

Ada satu suara yang hendak ingin disampaikan kaum marjinal terhadap penguasa (elite) akan tetapi mereka merasakan bahwa nampaknya suara kaum marjinal tidak akan pernah sampai pada hati mereka (elit), suara mereka hanya didengar oleh telinga lalu dibuang begitu saja ditelinga yang lain. Oleh karena itu dalam perkembangan pemikirannya, teori Gramsci dipakai oleh Gayathri Spivak dalam karya tulisannya yang monumental yang berjudul can subaltern speak?

Inti dari pemikiran Spivak mungkin seperti ini: bahwa harus adanya satu golongan intelektual yang bisa menjembatani suara-suara kaum marjinal kepada kaum elit. Definisi elit disini adalah “kelompok-kelompok dominan, baik pribumi maupun asing”. Yang asing adalah pejabat-pejabat Inggris dan para pemilik industri, pedagang, pemilik perkebunan, tuan tanah, dan misionaris. 

Sedangkan yang dimaksud oleh marjinal adalah sebaliknya. Seorang intelektual menurut Spivak haruslah disertai ”pesimisme intelektual dan optimisme kemauan”, skeptisifisme filosofis alam memulihkan keagenan kelompok-kelompok subaltern yang disertai sebuah komitmen politis untuk menunjukkan posisi mereka yang terpinggirkan. Tanpa ada interfensi dari kaum elit yang bisa mempengaruhi kaum intelek itu, karena yang ditemukan Spivak adalah kaum intelek tersebut juga telah diracuni oleh penguasa, sebab itulah dia masih mempertanyakan apakah subaltern dapat bergeming?

Kalau yang saya rasakan sekarang ini mungkin teori hegemoni Elit dan Marjinal masih bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Adanya suara-suara rakyat yang memohon keadilan masih bisa kita dengarkan dan temukan, hal ini tak lain adalah karena mereka mencari keadilan. Inti dari permasalahan diantara elit dan marjinal adalah hilangnya ruh keadilan yang bisa mengharmonikan keduanya tersebut. Bila ada timbangan air yang tidak sama maka akan berat sebelah, tidak begitu kalau keduanya mempunyai porsi yang sama, maka timbangan tersebut akan seimbang. Akhirnya keadilan lah yang harus dicari oleh kita sekarang ini, karena teori yang dikeluarkan mereka para pemikir hegemoni masih tidak bisa mencairkan permasalahan posisi biner diantara Elit dan Marjinal.

Bagaimana keadilan harus dicari bila masih ada sekumpulan orang-orang yang berbuat semena-mena terhadap sesama. Banyak sekali hal-hal yang harus kita gali dan cari solusinya, agar kita semua bisa menciptakan suasana yang harmoni dan berseri. Siapa yang mau melihat keadaan pemerintah yang carut marut dikoyak oleh beberapa permasalahan yang mendera, dari korupsi, manipulasi sidang, illegal logging yang merajalela, yang baik dinilai buruk, yang kaya tambah kaya dan yang miskin terus tersudutkan? Siapa yang mau kita terus hidup dalam keadaan yang seperti itu? Dimanakah keadilan bermuara? Bila hal itu terjadi mungkin kita hanya menunggu waktu untuk hancur.

Oleh karena itu berlakulah adil terhadap sesama, baik yang berkuasa dan yang tidak berkuasa harus bisa selaras dalam sejahtera. Jangan ada suara bising ketidakpuasan akibat ketidak adilan, yang notabennya datang dari sikap arogan, sombong manusia. Bukanlah Allah berfirman dalam Al-quran: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pengajaran".( QS An-Nahl{16}: 90)

Dr. Hamzah Yakub membagi keadilan-keadilan menjadi dua bagian:
  • Adil yang berhubungan dengan perseorangan dan adil yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Adil perseorangan adalah tindakan memihak kepada yang mempunyai hak, bila seseorang mengambil haknya tanpa melewati batas, atau memberikan hak orang lain tanpa menguranginya itulah yang dinamakan tidak adil.
  • Adil dalam segi kemasyarakatan dan pemerintahan misalnya tindakan hakim yang menghukum orang-orang jahat atau orang-orang yang bersengketa sepanjang neraca keadilan. Jika hakim menegakan neraca keadilanya dengan lurus dikatakanlah dia hakim yang adil dan jika dia berat sebelah maka dipandanglah dia zalim. Pemerintah dipandang adil jika dia mengusahakan kemakmuran rakyat secara merata, baik di kota-kota maupun di desa-desa.
Sepertinya kita sekarang tengah merindukan hal yang demikian, bayangkan bila kita hidup dalam adil, damai, sejahtera dan harmoni. Maka tidak aka nada suara-suara fals yang bisa membuat nada kehidupan menjadi tidak selaras. Benarkan lah hal tersebut bila kita ingin bernari dan bernyanyi dalam kehidupan, dengan begitu kita bisa bernyanyi dengan gitar yang tidak fals.

 * Berbagai sumber.
Gambar diunduh di http://serendip.brynmawr.edu/exchange/courses/femstudies/f08/archive/19