“Well...namanya juga Cirebon berada di perbatasan. Walaupun agak berbeda dengan Jawa dan Sunda, bahasa dan kebudayaan dari keduanya banyak banget kita serap. Bisa kita lihat, dalam masalah bahasa, bahasa kita sangat mirip dengan bahasa Jawa dialek ngapak yang biasa dipakai orang-orang Tegal, Purwokerto dan sekitarnya. Dengan sedikit perbedaan berupa kosakata-kosakata dari bahasa Sunda yang kita serap namun tidak dikenal di dialek ngapak. Atau upacara pernikahan adat Cirebon yang kalo menurut saya lebih condong mengikuti adat Sunda (CMIIW).
Itu gak bisa dihindari. Toh pendiri Cirebon, Pangeran Walangsungsang, adalah putra dari Prabu Siliwangi, yang berasal dari tatar Sunda. Dan dalam perkembangannya, Cirebon menjadi semakin ramai dengan datangnya orang-orang, baik berasal dari Sunda, Jawa, Tionghoa, jazirah Arab, maupun dari tempat-tempat lain. Kesemuanya menyatu menjadi suatu identitas sebagai orang Cirebon.” (kaskuser)
I
tulah
salah satu komentar seorang kaskuser yang merupakan native Cirebon. Dengan
diawali sebuah kutipan di atas mungkin orang akan bertanya apakah maksud dengan
hadirnya pernyataan tersebut? Ya tentu ada maksud dibalik itu, saya
menghadirkan kutipan tersebut dengan maksud untuk memancing keingintahuan
pembaca akan apa yang sebenarnya saya sajikan dalam tulisan ini. Saya mengutip
komentar tersebut untuk memulai sebuah tulisan yang ada hubungannya dengan apa
yang diungkapakan oleh seorang kaskuser yang berasal dari Cirebon tersebut.
Saya menspesifikasikan kedalam sesuatu yang berhubungan dengan “Bahasa Sebagai
Identitas”.
Saya
akan memulai dengan sekilas sejarah berdirinya Cirebon. Dalam kutipan di atas
pun telah tersentuh mengenai sejarah Cirebon. Cirebon didirikan oleh seorang
pangeran yang merupakan putra dari raja Pajajaran (tatar Sunda). Dari kalimat
itupun kita dapat menyimpulkan bahwa Cirebon merupakan titisan tatar Sunda atau
Jawa Barat. Secara antropologi-budaya dikatakan bahwa orang-orang yang berasal
dari daerah Jawa Barat dikenal dengan suku Sunda dan berbahasa Sunda (Cirebon
termasuk di dalamnya).
Seperti
yang kita ketahui dan saya sangat yakin bahwa kita tahu Cirebon itu berada di
wilayah Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan wilayah Jawa Tengah. Dapat
disimpulkan bahwa Cirebon berada di daerah perbatasan. Disebabkan oleh keadaan
itu, masyarakat Cirebon dapat diklasifikasikan sebagai masyarakat
multikultural, karena Cirebon mendapatkan, dan menyerap kebudayaan dari dua
tempat yang pada dasarnya berbeda budaya. Cirebon yang merupakan bagian dari
wilayah Jawa Barat yang berbudaya Sunda, menempati suatu wilayah yang
berbatasan dengan wilayah berbudaya Jawa. Dari kondisi tersebut masyarakat
Cirebon akhirnya mau tidak mau akan mengalami pergumulan dua kebudayaan dalam
satu wilayah.
Seperti
apa yang telah saya paparkan pada paragraf sebelumnya bahwa masyarakat yang ada
di daerah Jawa Barat akan menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa pengantar
pada saat mereka berkomunikasi. Namun tidak begitu dengan masyarakat Cirebon.
Mungkin di daerah Cirebon kita bisa menemukan sekelompok masyarakat yang tetap
erat dengan budaya Sundanya dan sekelompok masyarakat yang erat dengan budaya
Jawanya. Tapi yang akan sangat mungkin ketika kita menemui seseorang yang
“Sunda henteu, Jawa henteu”. Yang dapat diartikan bahwa seorang itu telah
menciptakan sesuatu yang baru dari hasil percampuran dua budaya itu. Saya rasa
budaya baru itu tercipta dengan sendirinya dan tentu dengan adanya pengaruh
dari budaya-budaya luar yang membiaskan budayanya pada masyarakat Cirebon.
Dan hal itu sangat terlihat dari
bahasa yang mereka gunakan sebagai alat berkomunikasi. Bahasa adalah identitas.
Seperti yang telah saya pelajari dalam mata kuliah Cross Cultural Understanding
bahwa identity (identitas) merupakan salah satu dari dimensi kebudayaan. Salah
satu unsur kebudayaan adalah bahasa, karena bahasa dan budaya saling
berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Artinya, dengan bahasa yang digunakan
oleh masyarakat, kita dapat mempelajari kebudayaan mereka. Bahasa adalah
jembatan yang sering kali di anggap sebagai ciri penting bagi jati diri
sekelompok orang berdasarkan etnik.
Begitu pula halnya untuk mengenali identitas masyarakat
Cirebon dapat dikenali melalui bahasa yang mereka gunakan untuk berkomunikasai
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Bahasa Sunda merupakan bahasa resmi yang
seharusnya digunakan oleh para native Cirebon, tapi tidak begitu nyatanya. Saya
mendapati suatu yang unik dari Cirebon atau dalam tulisan ini yang saya
maksudkan adalah masyarakat Cirebon.
Disebabkan oleh keadaan geografis yang
menempatkan masyarakat Cirebon di antara dua kebudayaan, masyarakat Cirebon
telah mengalami cross cultural yang menyebabkan budaya serta bahasa yang mereka
gunakan sebagai alat berkomunikasi pun mengalami perluasan. Dalam kutipan yang
saya hadirkan, seorang kaskuser yang merupakan native Cirebon menyatakan bahwa
dalam masalah berbahasa; masyarakat Cirebon hampir berdialek seperti orang Jawa
dengan sebagian penggunaan kosakata bahasa Sunda. Dari hal itu memang terlihat
ada celah ketidakjelasan masyarakat Cirebon dalam hal berbahasa, karena proses
mereka berbahasa yang tidak menggunakan bahasa Sunda, tidak pula menggunakan
bahasa Jawa. Tapi justru itu yang menjadikan masyarakat Cirebon unik.
Menciptakan sesuatu yang baru dari hasil percampuran dua bahasa yang masuk ke
dalam wilayah masyarakat Cirebon.
Mungkin bagi masyarakat Cirebon sendiri ketidakjelasan
mereka dalam berbahasa itu bukanlah suatu hal yang menjadi masalah, karena
mereka telah terbiasa dengan itu. Bahkan mungkin itu telah menjadi budaya dan
identitas mereka, sekalipun mungkin mereka tidak menyadari proses
peng-identitasan mereka melalui bahasa yang berbeda itu. Namun bagi kebanyakan
para ahli yang mengkaji proses berbahasa masyarakat Cirebon, itu akan
menimbulkan pertanyaan mengenai identitas yang dimunculkan oleh masyarakat
Cirebon.
Apabila kembali pada “Bahasa adalah identitas”, maka ketidakjelasan
masyarakat Cirebon dalam berbahasa akan berimplikasi pada ketidakjelasan pula
pada identitas budaya masyarakat Cirebon. Namun kita tidak bisa melihat itu
hanya dari satu sisi yang memandang bahwa budaya di Cirebon tidak memiliki
suatu kejelasan karena percampuran budaya yang amat kompleks di daerah Cirebon.
Bahasa yang mereka gunakan, mungkin bisa dikatakan “teu kaditu teu kadieu”,
tapi itu merupakan hasil percampuran antara dua bahasa yang masuk dan digunakan
di daerah Cirebon yang merupakan daerah perbatasan Sunda dan Jawa. Saya rasa
proses pembentukan bahasa yang terkesan “bahasa baru” itu terjadi secara
alamiah. Dapat dikatakan bahwa dari pembiasan budaya itu tercipta sesuatu hal
yang baru dan unik sekalipun mungkin masih dalam pandangan yang buram mengenai
hal itu.
Saya memiliki teman kosan yang kebetulan berasal dari
Cirebon, saya sempat bertanya “Pit, kamu orang Sunda atau orang Jawa?” dan dia
menjawab “Saya orang Cirebon”. Terkesan seperti menciptakan satu etnik baru,
tapi memang begitulah adanya seperti yang ditulis oleh Harsojo (2004: 308) yang
menyatakan bahwa :
“Pada daerah-daerah percampuran, di mana digunakan bahasa Sunda dan bahasa Jawa, ada kecenderungan pada beberapa keluarga yang menggunakan bahasa Sunda untuk tidak menyebutnya orang Sunda, akan tetapi menyebut dirinya misalnya orang Cirebon….”
Dari situ dapat dipahami bahwa masyarakat Cirebon
mengidentitaskan diri mereka sebagai orang Cirebon bukan dengan identitas orang
Sunda ataupun orang Jawa. Mungkin karena mereka memiliki hal yang berbeda dalam
berbahasa, maka mereka mengidentitaskan diri mereka di luar dua budaya
tersebut. Tidak heran apabila masyarakat Cirebon mengidentitaskan diri mereka
bukan Sunda dan bukan pula Jawa, karena kebudayaan mereka pun berbeda dari
budaya Sunda dan Jawa; budaya Cirebon telah mengalami percampuran antara
keduanya.
Posisi kebudayaan orang-orang perbatasan akan berbeda dengan
masyarakat yang berada pada wilayah kebudayaannya sendiri dan dapat
mengidentitaskan budaya mereka dengan jelas. Pada tulisan ini lebih fokus pada
daerah Cirebon yang berada pada wilayah perbatasan Sunda dan Jawa, masyarakat
Cirebon telah mengalami pertukaran dan percampuran antara budaya Sunda dan
budaya Jawa. Umumnya daerah-daerah perbatasan akan mendapatkan pembiasan budaya
dari berbagai sisi yang berbeda, juga akan lebih cenderung menghasilkan budaya
baru yang merupakan hasil perpaduan dari budaya-budaya tersebut. Seperti yang
terlihat dari proses berbahasa masyarakat Cirebon yang mengalami perluasan dari
perpaduan bahasa Sunda dan bahasa Jawa.
Dari semua apa yang saya paparkan di atas, bahwa proses
pertukaran budaya tanpa disadari bisa menimbulkan budaya baru yang bahkan
budaya tersebut bisa menjadi identitas baru bagi wilayah itu sendiri. Seperti
halnya yang terjadi di daerah Cirebon, suatu wilayah yang seharusnya berbahasa
Sunda untuk menunjukkan identitas mereka; tapi karena berada di daerah
perbatasan bahasanya menjadi “tidak jelas” karena mengalami peleburan antara
bahasa Sunda dan Jawa. Dari ketidakjelasan itu munculah identitas yang
menyatakan bahwa masyarakat di daerah Cirebon menyebut mereka itu adalah orang
Cirebon bukan orang Sunda, padahal mereka berada di wilayah Jawa Barat. Tidak
pula mengidentitaskan diri mereka sebagai orang Jawa.
Satu hal yang ternyata memang unik untuk dikaji lebih jauh
dalam mengenal jati diri seseorang ataupun masyarakat adalah melalui bahasa
yang mereka gunakan. Karena memang benar “Bahasa adalah identitas”. Lewat identitas
mereka, kita akan lebih jauh bisa mengenal budaya mereka.
Ketika para ahli mempertanyakan kejelasan dari identitas
masyarakat Cirebon yang menganggap kebudayaan Cirebon hanya pembiasan budaya
dari daerah lain, saya berfikir mengenai sesuatu yang saya rasa itu adalah
identitas dari masyarakat Cirebon. Ketidakjelasan penggunaan bahasa di kalangan
masyarakat Cirebon yang menggunakan bahasa “Sunda henteu, Jawa henteu” itu
justru telah memunculkan identitas tersendiri sebagai masyarakat perbatasan
yang banyak menerima cipratan-cipratan budaya luar dan dapat menciptakan
sesuatu yang baru secara alamiah. Proses mereka berbahasa menunjukkan identitas
mereka sebagai masyarakat yang terkena dampak dari multikulturalisme di daerah
perbatasan.
Dalam suatu ketidakjelasan apabila disingkap dan dibukakan
celah, maka akan terlihat sesuatu yang berbeda dan membuat itu menjadi suatu
yang bisa terlihat lebih jelas. Ketidakjelasan masyarakat Cirebon dalam
menggunakan bahasa daerah mereka, justru itulah yang memunculkan identitas unik
dan berbeda dari daerah Cirebon.
REFERENCE
- (http://manusi4biasa.wordpress.com/2010/05/18/%E2%80%9Dhibriditas%E2%80%9D-budaya-cirebon-sebuah-identitas/)
- Hofstede, Gert Jan. 2002. Exploring Culture Exercises,Stories, and Synthetic Cultures. USA: Intercultural Press, Inc.
- Kaskuser Indonesia
- Koentjaraningrat. 2004. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
- Leni, Syafyahya. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Refika Aditama.
- Nasikum. 1995. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
- Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
- Santoso, Kurno Budi. 1990. Probematika Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
wow...gak nyangka ternyata apa yang pernah saya posting bertahun-tahun yang lalu ada juga yang membaca dan malah menjabarkannya dengan lebih tajam lagi :D
ReplyDeletesalam kenal dan sukses selalu :-bd
kurang_waras@kaskus
Sebagai orang cirebon asli, ada yg perlu saya tambahkan penjelasan diatas :
ReplyDelete1. Cirebon tidak didirikan oleh walangsungsang, melainkan jauh sebelum walangsungsang Cirebon sudah ada. Walangsungsang berguru agama islam ke cirebon kepada Sayid Syeikh Maulana Datul Kahfi, kemudian menetap dan diangkat menjadi kuwu menggantikan ki gedeng alang-alang.
2. Cirebon sebelumnya bernama Caruban yg dalam bahasa jawa artinya campuran. Lalu Caruban oleh sunan gunung jati diganti menjadi Cerbon. Cirebon bukan campuran jawa dan sunda saja, tetapi lebih kompleks dari itu. Bahkan sesuai dengan corak keraton kasepuhan yg merupakan campuran antara jawa, arab, china dan eropa. Pada keraton kasepuhan cirebon tidak sedikitpun ada anarsir sundanya. Sejak dulu cirebon lebih terbuka terhadap pendatang sehingga proses asimilasi dan akulturasi budaya tak terhindarkan.
3. Sesuai dengan kajian dari balai bahasa bandung tahun 2002-2007, bahwa bahasa cirebon digolongkan ke dalam sub/bagian dari bahasa jawa. Begitu jg beberapa kajian lainya. Dalam situs ethnilogue pun masih mengidentifikasikan cirebon sebagai bahasa jawa. Namun demikian, budaya dan tata kehidupan sosial cirebon tidak bisa dikatakan sama, ada perbedaan-perbedaan antara keduanya. Sentuhan gaya arab yg diberikan oleh sunan gunung jati, menjadikan cirebon berbeda dg jawa pada umumnya yg masih kuat dg kejawennya. Sehingga masyarakat cirebon lebih suka disebut wong cerbon. Bukan jawa, bukan sunda, bukan melayu, batak atau lainnya. Cirebon telah menciptakan sosio kultural sendiri. Atas dasar itu, sensus BPS membuat kolom sendiri, yaitu kolom suku cerbon.
4. Pada dasarnya sesuai fakta dilapangan terutama dikampung-kampung orang cerbon lebih suka disebut wong jawa. Dikampung-kampung seperti dikampung saya, bahasa kromo masih sering dipakai terutama oleh tiang sepuh (orang tua). Saya pun jika berbicara dg orang tegal, banyumas, pekalongan, jogja, solo, semarang, surabaya tidak ada masalah alias nyambung-nyambung saja. Saya sendiri sama sekali tidak bisa bahasa sunda padahal kampung saya berbatasan dg majalengka yg katanya sunda. Mereka orang majalengka yg berbatasan dg cirebon justru malah mengikuti bahasa kami. Walaupun sy klo ditanya menyebut wong cerbon, tetapi masih aja disebut wong jawa. Memang logat saya (logat cerbon), mirip sekali dg orang tegal dan banyumas.