Ingin hidup seribu tahun lamanya atau melebihi dari batas taqdir bisa kita wujudkan hanya dengan persepsi. Persepsi yang gila dan tak masuk akal ini bermula pada saat saya melihat sebuah wajah yang telah terkotakan kedalam sebuah bingkai.
Wajah-wajah yang terkotakan itu bukan wajah yang biasa tapi luar biasa. Yang menjadikannya luar biasa adalah mereka itu tak pernah tua didalam hidupnya. Mereka adalah orang yang dipandang muda oleh manusia-manusia yang melihatnya.
Hal itu terjadi karena manusia dicipta oleh Allah Maha Mulia dengan beberapa indera, beberapa diantaranya adalah indera melihat dan merasakan. Kedua indera ini berkerja seolah berkerja sama didalam membuat persepsi/pandangan orang.
Melihat menjadi jembatan untuk memberi persepsi pada alam pikir otak manusia, namun apakah mampu sampai kepada perasaan? Jawabannya terletak pada dunia dari wajah yang terkotakan itu.
Saya pernah menulis dalam sebuah artikel bahwa gambar itu akan bermakna bilamana kita tahu. Artinya makna itu didapatkan dari realitas-realitas yang terdapat didalam wajah yang kita lihat. Kita bisa mempunyai makna berbeda jikalau realitas yang dialami manusia itu berbeda.
Sebagai contoh saya akan menganggap foto titanic itu hanya sebuah kapal yang pernah karam dilaut yang konon katanya dibermuda. Namun hal ini akan mungkin berbeda jika saya tanyakan pada orang-orang yang selamat dan mengalami kejadian langsung pada saat kapal itu karam.
Fakta-fakta yang ada pada gambar perahu itu tidak Nampak pada saya, hal inilah yang lantas membuatku menganggap kapal itu sebagai perahu yang pernah karam ke laut.
Kembali lagi kepada persoalan, bahwasanya keinginan manusia untuk bisa hidup seribu tahun itu tidaklah mungkin. Yang paling dekat dengan kemungkinan itu hanyalah sebuah keinginan gila yang bisa dipresentasikan pada bingkai-bingkai foto.
Foto dan Kebenaran bersama Akan Keabadian
Salah satu persetujuan bersama bila berbincang tentang foto adalah foto itu sebuah keabadian yang semu, yang berada hanya pada letak kita memaknai, makna itu didapat karena dilihat, melihat itulah kita tidak hanya melihat gambar itu sesuatu yang kosong (baca bahasa itu bermakna kalau kita tahu). Meskipun hanya semu, tapi terdapat sebuah kebenaran yang tidak bisa dielakan, karena kebenaran akan kebadian itu telah dijawab oleh bagaimana kita melihat foto tersebut.
Dikatakan foto – wajah dalam bingkai - itu bisa mengabadikan momen-momen tertentu pada waktu tertentu. Dan memang benarlah begitu yang saya rasakan ketika melihat foto Kurt Cobain, Nike Ardila, Jim Morrison, Jim Hendrik dan mereka-mereka yang terkenal dan meninggal pada usia muda. Kematian mereka sebelum masa tuanya menjadikan mereka terlihat selalu muda meski tiada.
Keabadian mereka tersampaikan oleh bagaimana kita melihat dan merasakan foto-foto yang masih bisa kita temukan diInternet, majalah dan lain-lain. Mereka – yang meninggal – akan selalu dikenang muda oleh orang-orang yang mengenalnya jauh dari hanya sekedar melihat. Karena kedua indera yang saya katakan tadi berkerja bersama-sama membentuk sebuah realitas yang mungkin akan menjadi sebuah konvensi bersama-sama.
Barangkali benarlah bila seorang Soe Hoek Gie selalu mengutip pernyataan dari filsuf yunani bahwa: "Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda." Bahagialah mereka yang selalu muda meski telah tiada.
Jadi ketika kita berkehendak untuk ingin hidup seribu tahun lamanya lagi, maka jalan yang paling mudah untuk dilakukkan adalah mati muda. Sebelum mati muda haruslah kamu membuat suatu bingkai-bingkai untuk wajahmu sendiri. Kelak bingkai itulah yang akan menjadikan mimpimu ada meski kau telah mati. dan biarkanlah orang lain menganggapmu tetap hidup.
Pertanyaan yang ingin saya lontarkan untuk kalian yang ingin mati muda adalah? Sudah siapkah berhadapan dengan kebenaran yang sebenar-benarnya? Pepatah pernah mengatakan bahwa hidup seribu tahun tak ada gunanya walau tak menyembah Allah, kalau muda tidak berguna apa-apa, mau dibawa kemana kau setelah mati?
No comments
Post a Comment