Pada berapa bagian bumi yang diguyur hujan, pada setiap tanaman yang segar menikmatinya, aku tulis beberapa bait kata, sehingga kehadiranmu terasa seolah pengiring nada dalam setiap lirik, setiap nadanya mempunyai alunan yang sangat merdu, hingga terasa sempurna jualah suara hati ini untuk merenung.
Perihal kaca putih yang dahulu kuat sekarang seakan rapuh, semakin hari kian memudar laksana gambar di tiang besi yang hambar, dari setiap ujungnya nampaklah suatu keretakan, yang mungkin akan menyebar bila dibiarkan, yang mungkin akan pecah walau dilantarkan, Aku, kamu dan kita tidaklah mau kaca itu retak, atau mungkin terkoyak.
Tiada tangan yang saling menggenggam, seakan menyiratkan bahwa suatu saat mungkin semua akan terlepas, sehingga tidak sadarlah bahwa kita sedang menunggu waktu, waktu yang sudah tersirat dari pesan sang baginda.
Hujan pun telah berlalu, namun sisa dari basahnya menyejukan kalbu, dan berlalu pulalah nada-nada yang ku damba.
Aku berharap kaca yang telah berdiri kokoh, tak menemui retaknya, laksana hilang ruh-ruh kedaulatan, begitu pun aku berharap kaca itu tidak tertutup debu, laksana ada tapi senantiasa terabaikan, menunggu pudar melebur dengan waktu.
No comments
Post a Comment