Iklan

Muhammad Zaki Al Aziz
March 20, 2024, March 20, 2024 WIB
Last Updated 2024-03-20T10:15:10Z

Dari Beras Hingga Pembantaian Haji Hassan Arif di Cimareme I

La Gazzette de Hollande

Bukan Perkara Berasnya tapi harga diri

La Gazzette de Hollande terbitan Jeudi 18 Decembre 1919, menuliskan kembali peristiwa pembantaian yang pernah terjadi di Garut beberapa bulan sebelumnya. Kelak kita mengenal peristiwa berdarah tersebut dengan sebutan pembantaian Cimareme.

Tulisannya, fair enough, tidak seperti koran milik pemerintah kolonial. Biasanya surat kabar tersebut memuat narasi "pemberontakan" atau mereka, setelah kejadian itu, menciptakan fitnah bahwa Haji Hassan Arif terafiliasi dengan Sarekat Rakyat atau Sarekat Islam Afdeling B.

Namun dalam Gazzete justru sebaliknya, mereka malah mempertanyakan kebijakan pemerintahan dan juga sedikit menyudutkan Wedana lokal yang pada waktu itu malah menjadi penyulut kekerasan tersebut.

Penjajah Bangkrut, Rakyat dikeruk

Peristiwa Cimareme bermula dari sikap pemerintahan yang tidak adil. Imbas dari perang dunia I nyatanya terasa sampai Indonesia. Keadaan carut marut, bahan ekspor yang tertahan menumpuk membusuk, pabrik tak sanggup membayar upah lalu banyak pekerja diberhentikan, kelaparan dimana-mana.

Ditengah kondisi yang kacau itu, pemerintah mewajibkan kepada para petani untuk menjual Padi dengan harga yang telah ditetapkan.

Sebagaimana aturan Belanda lain, yah aturannya buah dari nafsu mereka saja. Yang pasti rakyat bumiputera tetap akan menjadi korban. Lalu kebijakan ini sampai juga ke Garut.

Di Garut, tidak semua petani keadaanya seperti Haji Hassan, yang sebenarnya bagi Hassan hal tersebut tidak terlalu menjadi masalah. Namun bagi petani yang lain tentu berbeda, adanya kebijakan tersebut sangat memberatkan.

Sempat Protes pada pemerintah lokal, dari Lurah, Bupati dan Wedana, Haji Hassan tidak menemui jalan pasti. Padahal salah satu masukan Hassan pada waktu itu adalah dengan mengurangi ketentuan jumlah beras yang harus dijual.

Tapi karena kekeuh, pemerintah lokal yang pada waktu itu berada dalam genggaman kolonial, serba salah. Kalau menuruti kemauan Hassan takutnya mungkin gapunya jatah lendir kekuasaan.

Mau tidak mau mereka terus meyakinkan Hassan, tapi kenyataannya Hassan tak bergeming. Bagi dirinya mau sampai kapan harga diri bangsa diinjak pemerintah yang penuh dengan kedok-kedok kebijakan.

Bersambung