Cerpen Perdamaian; Kisah Para Jurnalis Di Perbatasan Turki-Suriah

Selepas terbangun dihari yang masih dini dan setiap sesudah melaksanakan sembahyang yang terus berkala setiap harinya. Ishadat tak pernah terlepas diri dari tanggung jawabnya sebagai seorang jurnalis televisi yang telah berpengalaman. Maka tak usah heranlah jikalau meja kerjanya tak pernah terlihat rapih. Beberapa lembar sobekan kertas yang berserakan hingga komputer yang menyala dan menyisakan beberapa lagu di daftar lagu winampnya adalah sisa-sisa kerja Ishadat yang belum kelar. Hal itu takan pernah rampung kalau ia tak merenung dan berfikir.

Tak jauh dari tempat ia berkerja. 2 orang teman baik yang ia anggap sebagai team kerja di dunia jurnalis masih tertidur di 2 tempat berbeda namun dekat jaraknya. Mereka berdua tidur dibawah dan diatas disofa satu-satunya yang ada dikantor. Dikantor yang ia tempati tak ada kasur dan selimut seperti yang dengan mudah bisa dijumpai dirumah maka menggunakan sarung merangkap selimut seadanya dan tas sebagai bantal pun adalah suatu keadaan yang biasa saja, tak usah dieluhkan lebih lanjut!!

Ishadat tersenyum ketika menatap keduanya. Sambil mencicipi aroma teh manis hangat yang ada pada tanganya, ia berjalan disamping mereka dan kembali untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum ia selesaikan tadi malam.

Ishadat telah menjadi orang kepercayaan manager salah satu perusahan televisi terbesar di Indonesia. Maka dari itu kepercayaan yang diberikan sang manager adalah suatu modal besar baginya untuk terus bertahan dalam dunia yang ia tekuni yaitu, seorang jurnalis. Tanggung jawab yang dibumbui kerja yang keras adalah bagaimana selama ini ia menjawab kepercayaan itu.

Untuk menjadi seperti Ishadat rasanya diperlukan sesuatu kerja nyata sebagai wujud dari bagaimana kecintaan dan tanggung jawab terpadu seolah satu membuat kekuatan. Walaupun tugas yang diembankan itu adalah tak sebanding dengan kehidupan yang sekali saja. Tetapi ia akan tetap bertanggung jawab pada dirinya dan pada orang-orang. Ia menyadari dirinya sendiri telah ditempatkan seperti ini maka dari itu menjalaninya adalah suatu keharusan. “Menjadi pemimpin bagi apa yang diberikan adalah suatu yang akan dipertanyakan kelak. Tanggung jawab sepenuhnya adalah suatu pembelaan yang kelak aku ungkapkan!” begitu kata nya.

Sebelum ia benar-benar fokus untuk kembali berkeja. Terlebih dahulu ia melakukan ritual yang selalu dilakukan Ishadat dipagi hari. Yaitu mengunjungi dan mengupdate terus rumah baca mayanya sebagai seorang blogger sejati. Ia selain sebagai jurnalis yang tulisan-tulisannya sering dimuat di berbagai media, juga adalah seorang blogger senior. Ia telah mengelola blog pribadi selama 10 tahun. Baginya dunia blogging inilah tempat awal semuanya bermula. Banyak informasi dari luar dan dalam negeri yang ia dapat dari dunia blogging dan membentuk dirinya yang seperti sekarang. Maka tak heran kalau dia berkata demikian; “Blogging adalah tempat semua ini bermula sebelum masuk ke dunia kerja!!”

Berbagai tulisan yang ia muat mendapat respon yang baik dari para pengunjung. Namun dari semua itu tulisan-tulisan yang paling banyak di cari oleh pengunjung adalah tulisan yang memuat tema-tema sekitar peperangan yang terjadi di timur tengah. Perlu diketahui bahwa ishadat bersama kedua teman nya pernah mendapat tugas khusus untuk menjadi jurnalis yang di tempatkan didaerah konflik yang seakan abadi itu. Oleh karena itulah blognya banyak diisi oleh pergolakan yang terjadi ditimur tengah.

Berbagai informasi konflik ditimur tengah; Palestina dan Israel sampai yang terakhir ketika jatuhnya rezim pemerintahan khaddafi pernah mereka beritakan dan tuliskan untuk beberapa media di Indonesia. Tak salah bila mereka pernah mendapat penghargaan sebagai jurnalis yang berdedikasi penuh untuk apa yang dikerjakannya.

Satu hari dihari minggu

Setelah merampungkan pekerjaannya dan sedikit berbagi pemikirannya di blog. Ia hendak ingin berpamitan kepada kedua orang temannya karena harus menemui keluarga tercinta dirumah. Ketika mendapati kedua temannya itu masih tertidur pulas ia hanya menyisipkan selembar memo yang diletakan di atas meja; “Saya pulang. Kita bertemu lagi setelah seharusnya.”

Langkah dari kaki pun semakin menjauhkan jarak dari aku pada teman yang sedang tertidur. Namun pada titik yang lain nya aku semakin mendapati diriku semakin dekat dengan keluarga tercinta. Dan itu adalah suatu keindahan yang bukanlah semata namun tak bisa dikata oleh prakata.

Di sapa hangat anak dan senyuman Istri sesampainya di rumah menjadi syurga tersendiri bagi hati dan keluarga kami. Meskipun pencapaian surga yang terindah masih berada setelah kelak tiada namun inilah bahwa Allah berkuasa atas kebahagian kami didunia. Dan kami bersyukur selalu kepadaNya.

Setelah melepas rindu yang berlabuh pada ujung yang bertepi kami bertiga merencanakan untuk mengisi akhir pekan dengan berjalan-jalan ketempat yang sejuk. Kami berencana untuk pergi ke puncak, dekat dengan kota Cianjur.

Tak biasanya hujan mengguyur lebat Jakarta. Aku harap ketika sesampainya disana hujan ini lekas mereda karena aku mempunyai kenangan lalu yang sahdu dengan hujan. Itu makanya aku sering mengidentifikasi hujan dengan kesedihan. Ketika aku berpamit untuk pergi ke gaza, langit seakan tahu bahwa hujan ini adalah suatu pengingat kelak bahwa perpisahan ini abadi untuk manusia. Selama ia lupa dan hujan mengingatkan maka ingatan abadi akan selalu menyapa seiring selama kehidupan manusia.

Setengah perjalanan telah kami lalui. Langka tengah tertidur dikursi belakang. Ia lucu seperti aku sewaktu masa kecil. Tak banyak perbedaan dari aku dan dia kecuali kepastian rasa sayang antara ayah dan anak yang senantiasa mengisi relung hati.

Lalu pandanganku beralih kepada istri yang tepat berada disamping. Melihat dirinya aku selalu bersyukur akan nikmatnya kebersamaan ini dilalui dengan bahagia. Aku tak menyangka ia yang dahulu hanyalah seorang teman saja sekarang menjadi pendamping ku sampai mati. Hal ini selalu aku alami persis lebih indah ketika aku mendapati diri terbangun melihat wajahnya tepat berada disampingku setiap harinya.

Tak lama kemudian ada panggilan telepon dari kedua teman ku; Mikal dan Abram. Kami pun memutuskan untuk menepi sejenak diwarung nasi. Sambil beristirahat dan mencicipi masakan favorit kami, masakan sunda. Bukan hanya aku adalah keturunan sunda asli tapi kebetulan juga kami belum sarapan dari tadi pagi.  

“Hallo, Ishad, sedang dimana sekarang?”.
"Aku lagi di puncak bersama keluarga”. 
“Apa kamu sudah mengetahui informasi dari kantor tentang suriah?” 
"Aku engga mengerti apa maksudnya? mengerutkan alis mata, "Aku belum mendapat info dari kantor!.” "Katanya manager ingin mengirim jurnalis lagi untuk meliput kejadian terkini di Suriah.
”Oooooh, itu toh. Nanti kamu sama Abram bisa ke rumah engga? Untuk membicarakan lebih lanjut bagaimana selanjutnya?” 
"Ok siap kalau begitu, ishad. Kita bertemu lagi setelah seharusnya! Hehe.” 
"Ah kamu ada-ada aja Kal." sambil tertawa,  "Ia sudah selamat berakhir pekan kawanku!.”

Belum jauh aku melangkah dari tempatku berpijak teleponku untuk kedua kalinya berdering kembali. Tapi sekarang yang memanggil adalah manager kantor dimana saya berkerja. 

Ketika telepon itu berdering. Aku tahu ada seseorang yang memanggil. Dan aku tahu ada orang yang mengharap sekaligus aku juga berharap. Aku tahu betul itu adalah suara panggilan alami. Bukanlah merupakan suara suruhan dari apa yang aku harapkan. Aku benar-benar tak percaya ketika apa yang diharapkan itu benar-benar aku dapatkan. Aku mendapati tugas untuk meliput konflik yang sekarang tengah terjadi di Suriah. Aku bahagia karena akan menjadi bagian dari berbagai kisah yang akan aku sampaikan.    

“Assalamualaikum Bapak Ishadat?” Tanya pak Hardika, “Bagaimana kabar bapak?” 
"Alaikumsalam, Pak Hardika.” Jawabku padanya, “Alhamdulillah semuanya baik-baik sahaja." "Bagaimana kabar bapak sendiri?” 
“Alhamdulillaaaah baik juga pak. Pak Ishadat sudah mendengar pengumuman di kantor?" Tanya pak Hardika.  
“Aduuh pak maaf sebelumnya karena tadi saya engga sempet ke kantor. Jadi kurang tahu informasi terbaru.” Sambil menggaruk kepala. 
“Ok tidak apa-apa Pak. Gini pak, kami sudah berkoordinasi dengan jajaran yang lainnya dan mempunyai kesepakatan untuk mengirim beberapa jurnalis berpengalaman ke daerah konflik yang sekarang tengah terjadi.” Ujar Pak Hardika, “Saya sendiri menginginkan bapak Ishad, Abram dan Mikal yang bertugas disana!” Pak Hardika melanjutkan, “Kalau bapak dan teman2 mau, nanti saya tunggu dirumah sekitar jam 20.00 pm, bagaimana?” 
“Ia pak, kalau begitu Isnya Allah saya akan kesana pak, guna mengkonfirmasi bisa tidaknya.” Sambil melihat istri dan anak yang sedang makan. 
“Ia Pak Ishadat, silahkan melanjutkan kembali aktifitasnya.” 
“Ia pak, terima kasih.”

Mendengar apa yang dipaparkan Pak hardika itu tak semulus mendengar manusia yang berkata dan dengan mudah didengarkan melalui telinga. Terasa berat rasanya hati ini ketika melihat senyuman kedua orang yang aku sayangi harus ditinggal kembali untuk beberapa waktu yang mungkin tak sebentar. Sambil menghampiri mereka aku berdoa berharap diberikan keputusan yang terbaik untuk masalah ini.

Semangkuk nasi dengan lauk pauknya telah disiapkan oleh sang istri tercinta. Tinggal mencicipi dan melanjutkan kembali perjalanan yang sempat tertunda beberapa menit yang lalu. 

Di taman yang hijau itu aku bercerita tentang cerita yang mirip dengan yang lalu

Ketika langka tengah bermain ditaman aku dan istriku duduk saja melihat tawa kebahagiaan yang ada pada langka. Saat seperti inilah aku rasa paling tepat untuk mengutarakan perasaan yang terpendam selama perjalanan tadi.

Istriku adalah seorang yang kuat. Ia tak lemah seperti banyak pria melihat seorang wanita. Aku sesekali beranggapan bahwa istriku lebih kuat dan tegar daripada diriku. Ia tak pernah mengeluh ketika aku dan teman-teman mendapat tugas di Gaza, di Libanon dan yang terakhir adalah di suriah. Karena ia selalu menata hatinya dengan kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa. 

Maka setelah mengetahui rencana kedua kalinya menjadi jurnalis yang meliput langsung ke daerah konflik itu, ia tak begitu kaget. Meskipun ada sedikit tetesan air mata yang menetas pada tangannya yang putih. Aku selalu memastikan bahwa air mata itu adalah kekuatan yang selalu ada padaku disaat aku jauh dan tak dekat denganmu. Ia seperti sebuah rasa yang mengikat dikala aku tak terikat dekat dengan jarak. Ia hadir bak sebagai sebuah pemandu tak terlihat yang menuntunku untuk berjanji kembali dalam pelukan.

*bersambung...
By: Muhammad Zaki Al Aziz

Hai, selamat datang di website personal saya. Perkenalkan nama saya Muhammad Zaki Al Aziz, asli dari Bandung. Dulu pernah sekolah di Darul Arqam, Sastra Inggris S1 dan Sejarah Kebudayaan Islam S2 UIN. Sekarang saya adalah seorang Guru di MBS di Bandung.

Post a Comment

Post a Comment