Konflik Lampung Selatan; Jalan Panjang Persatuan

Konflik Lampung Selatan; Jalan Panjang Persatuan

Muhammad Zaki Al Aziz
Muhammad Zaki Al Aziz

Bentrok yang bermula – santer dalam berita – dari kasus pelecehan yang dialami oleh seorang wanita yang berasal dari kelurahan berbeda ternyata berbuntut panjang sampai kepada bentrok antar etnis yang ada di wilayah Lampung selatan. Dari bentrok tersebut korban yang tewas pun berterbaran akibat dari kebrutalan manusia yang tiada bisa menahan laju sombong ego yang sedang dipuncaknya.

Beginilah potret yang sedang mewarnai lika-liku keadaan Indonesia sekarang ini. Tawuran dan bentrokan seakan menjadi suatu hantu bergentayangan yang dimana saja, setiap saat bisa merasuki manusia-manusia lemah yang tak bisa menahan nafsunya. Meskipun pemicunya hanyalah kecil tapi dampaknya bisa menjadi luar biasa.

Coba anda ingat sedari kecil apa yang bisa memelihara nafsu kita untuk tidak berbuat hal-hal yang dilarang? Ataukah anda tidak pernah mendapatkan suatu ajaran moral yang diajarkan turun temurun? Mungkinlah kalau memang termasuk seperti itu maka pepatah lama pun bisa saya ajukan “Manusia-manusia yang terdidik Zaman”.

Kekerasan itu seperti bensin yang sangatlah mudah untuk disulut walau hanya dengan sepercik api. Ia bisa menimbulkan suatu ketakutan yang tiada taranya, ia bisa menimbulkan suatu kebrutalan yang terlihat seperti binatang yang tiada segan menerkam mangsanya. Lantas ketika ia menyebar dengan cepatnya, ia tak perduli untuk melumat setiap apapun yang dilewatinya, bahkan hukum Allah pun – membunuh – sangatlah mudah untuk dilupakan.

Barang-barang yang ada diwilayah musuh pun menjadi suatu objek dari subjek yang menandainya bertentangan. Termasuk diantaranya rumah-rumah dan mobil-mobil yang dianggap mereka sebagai suatu sasaran empuk yang harus dihancurkan, dibakar dan dimusnahkan. Alhasil banyaklah diantara mereka – yang tiada bersalah – pada akhirnya mengungsi ke tempat-tempat yang jauh dari wilayah konflik. Mestinya organisasi dunia mencanangkan HAB yaitu hak asasi benda, hahaha.

Konflik Serupa Sebelumnya. Adakah Sama?

Bentrokan antar etnis di Lampung selatan bukanlah kali pertama terjadi di Indonesia. Melainkan kejadian serupa telah ada terlebih dahulu. Seperti bentrokan antara suku dayak dan Madura yang pernah terjadi di daerah Kalimantan sana. Beberapa permasalahan yang dianggap sebagai pemicu bentrokan pun mencuat. Sebelumnya saya ingin mengingatkan sahaja bahwasanya masih mungkinlah bagi orang desa agom untuk berdamai tanpa melalui perang dengan orang desa balinuraga apabila sebab musababnya hanya sebatas perkelahian, pelecehan dan hal-hal yang sepele.

Tapi nyatanya tidak demikian. Apabila ditelusuri lebih lanjut maka terdapat faktor-faktor lain yang menjadi penyulut bentrokan. Hal itu berupa hak penduduk lokal dibandingkan dengan pendatang sampai kepada kebijakan pemerintah yang dinilai kurang adil. Tanyakanlah kepada diri anda sendiri apakah hal diatas juga terjadi di lampung sana? Jangan lah menjadi seorang yang mengkritik tanpa solusi dengan mengatakan bahwa agama islam bla bla bla bla. Yang demikian itu adalah orang yang mudah untuk diprovokasi bro!

Menurut Hartoyo – sosiolog dari UNLA – bentrokan ini tidak terjadi secara tiba-tiba sahaja melainkan sudah ada pemicu-pemicu yang menunggu waktu untuk meledaknya. Bukan hanya karena perkelahian sahaja akan tetapi kesenjangan ekonomi diantara kedua etnis berbeda ini bisa juga menjadi pemicu bentrokan yang berkala. Lebih lanjut lagi seorang sosiolog lainya (lupa lagi) – tvone – ketika ditanya mengapa hal ini terjadi. Beliau mengatakan bahwa kemungkinan pemicu terjadinya bentrok ini adalah karena penduduk pendatang lebih dominan dari penduduk lokal dalam segi ekonomi.

Untuk bertanya mengapa bisa terjadi seperti demikian merupakan suatu jawaban yang sulit untuk diungkapkan disini secara detail. Namun ada beberapa poin yang mungkin bisa sedikit dipaparkan dalam tulisan singkat ini. Bahwasanya mungkin hal itu terjadi karena. Etos kerja yang ditanamkan penduduk pendatang biasanya lebih tinggi daya juangnya. Esensi merantau – untuk kembali – dengan berjuang untuk kehidupan yang lebih baik. Selanjutnya ketika suatu etnis berkumpul di wilayah yang bukan pribuminya maka kesadaran solidaritas sosial kesukuan nya diantara mereka akan lebih tinggi ketimbang ketika dikampung halaman.

Seorang guru besar antropolog, Prof. Irwan Abdullah dalam bukunya mengatakan bahwa ada dua hal yang bisa menjadi sangat berbahaya didalam ruang lingkup penduduk yang memuat lingkungan pendatang dan penduduk lokal. Yang pertama adalah ketika kelompok etnis dominan – yang lebih unggul dalam hal ekonomi dll – mendapatkan privelese dari berbagai agen sosial, khususnya pemerintah, dan yang kedua adalah ketika kesadaran tentang batas-batas budaya (cultural boundaries) mulai muncul. Orang-orang lampung setempat mungkin menyadari bahwa terdapat suatu keadaan dimana penduduk pendatang mempunyai tempat yang lebih dari mereka.

Bagaimanakah Seharusnya Kedepannya

Untuk mengatakan bahwa konflik diatas adalah sebab dari perbedaan budaya/etnis atau ajaran agama rasanya kurang tepat sekali untuk disebutkan sebagai pemicu awal dari konflik berdarah yang terjadi baik di lampung selatan dan di kalimantan. Nyatanya apabila ditelusuri lebih jauh akan ditemukan beberapa pemicu masalah penting bagaimana hal itu bermula.

Kalau misalnya pertemuan diantara kedua budaya yang berbeda ini ditata dan mendapat perhatian yang khusus dari pemerintah setempat mungkin akan sedikit mengurangi ketegangan-ketegangan yang biasa terjadi diantara dua etnis berbeda. Pertikaian disini bukan disebabkan oleh perbedaan budaya dua etnis itu, tetapi oleh suatu sistem sosial politik yang tidak mampu menjamin keseimbangan kekuasaan ekonomi dan politik antar etnis. – Irwan Abdullah – Oleh karena itu sudah seharusnya pemerintah pusat atau daerah memecahkan pertikaian diatas dengan jalan yang adil, tidak mementingkan satu pihak dan yang lainnya. Baik dengan meninjau ulang lingkungan dimana kedua budaya berbeda itu berada sampai kepada kehidupan penduduk diantara kedua penduduk.

Apabila terdapat suatu keadilan yang dirasakan oleh kedua penduduk yang berkonflik maka konflik berdarah mungkin tak perlu terjadi. Karena sedari dulu kita sudah hidup didalam perbedaan, perbedaan itu bukanlah suatu halangan, melainkan suatu kebersamaan yang mempunyai cita-cita yang luhur yakni merdeka.