Kehidupan Itu Layaknya Air

Ilustrasi
Suatu hari berdirilah kerajaan Islam yang besar di selatan Turki, kerajaan tersebut sangatlah damai dan hidup dalam harmoni. Semua aktivitas keseharian dan kehidupan disana berjalan lancar karena pemimpin kerajaan tersebut seorang yang jujur dan mencintai rakyat sepenuhnya. 

Seringkali sang Raja berjalan menyusuri perkampungan hanya untuk mengetahui kondisi kehidupan rakyatnya. Bila ia dapati kemiskinan maka ia pun tak segan untuk mensejahterakan rakyatnya itu. Bila ia dapati rakyatnya yang suka berfoya-foya maka ia pun menegurnya untuk sedikit bersedekah kepada saudara-saudara yang membutuhkan.

Sang Raja yang diketahui bernama Yahamballah mempunyai seorang anak berumur 5 tahun. Ia pun sama seperti ayahnya baik, cerdas dan terlihat sangat aktraktiv. Sang Raja tahu betul bahwa kelak dia akan menjadi penerus kerajaan ini. Oleh karena itu diutuslah para cendikiawan, ilmuwan dan sastrawan pada waktu itu untuk mengajarkan ilmu-ilmu mereka kepada sang buah hati kesayangan raja Yahamballah. Sebagai bekal buat anaknya kelak ketika menjadi Raja.

Berhari-hari, berbulan-bulan dan bertahun-tahun Ishadat menimba ilmu dari para Ilmuawan/sastrawan dan cendikiawan muslim yang terkenal pada waktu itu. Sekarang dia sudah menguasai ilmu pedang, berkuda, memanah dan mempelajari filsafat dan sastra. Pada suatu hari Ishadat merasa bosan dengan keadaan didalam kerajaan, ia ingin menghirup udara segar yang ada dihutan dekat kerajaan Ayahandanya berdiri.

Pada sore hari Sang Pangeran yang dibekali panah, kuda dan pedangnya pergi untuk sekedar berjalan-jalan. Ketika hendak berada di hutan, Ishadat takjub dengan ciptaan sang pencipta yang begitu indahnya, ia melihat disekelilingnya hijau menghiasi dinding bumi, sejuk mengitari sekitar dan kemerduan nyanyian burung mengiringi kehidupan hutan ini.

Tepat didepan hutan tersebut terbentanglah sungai yang airnya jernih, disamping-samping sungai tersebut rumput yang bernari-nari disapa angin membuat pangeran takjub dan tersenyum mlihat cipta-Nya. Hendaklah dia turun dari kudanya dan menyapa air yang mengalir besih ke muara, Ishadat membasuh mukanya 3 kali.

Ketika Ishadat hendak berdiri, terkejutlah dia melihat seorang kakek dengan jubah putih dan berambut, berkumis dan berjanggut rapi putih. Dalam keterkejutannya Ishadat sedikit mengerutkan kedua alis matanya, dalam kebingungannya ia berkata pada diri sendiri. Ia berpikir bahwa kakek tersebut adalah teman-teman dari para ilmuwan dan sastrawan yang mendidik ‘saya’. Akan tetapi saya tidak pernah melihat beliau sebelumnnya.

Sang kakek pun berkata:

Kakek: “Wahai anakku, janganlah kau terkejut, aku ini seorang teman bagimu”

Ishadat: “Aku bukanlah terkejut kek, melainkan aku heran melihat kakek begitu bercahaya”, bila saya ingin tahu lebih dalam, kakek hendak mau kemana sekarang?

Kakek: “Subhanallah, aku ini sama sepertimu nak, kecintaanku pada ciptaannya seringkali membuatku ingin berpegian menghabiskan waktu untuk mensyukuri ciptaaNya.” Siapakah namamu nak?

Ishadat menjawab: “Aku Ishadat, kek” Kakek sendiri apa namanya, bolehkah aku mengetahuinya?

Kakek itu tersenyum: “Dengan senang hati dan atas restu illahi boleh, panggil saja kakek dengan sebutan Philea.”

Ishadat dan kakek itupun akhirnya berteman dan berkomunikasi dengan baik tepat disamping sungai yang membelah hutan. Ishadat merasa ada ketertarikan terhadap kakek Philea, apa yang dia rasakan ketika pertama kali melihatnya adalah benar, dia merasakan kehadiran seorang yang seperti para ilmuwan/sastrawan yang sering mendidik ketika di istana.

Begitupula sang kakek Philea, dia merasa kagum kepada anak tersebut karena kepintaran, kecerdasan dan kefasihannya dalam berbicara.

Disela-sela obrolan yang semakin hangat, Ishadat hendak ingin bertanya kepada sang kakek.
Ishadat: “Kakek, bolehkah saya bertanya?. Apa pendapat kakek terhadap air yang mengalir yang tepat dihadapan kita ini?

Dengan senyuman sambil memegang kepala Ishadat, sang kakek menjawab: “Wahai anakku, Kakek melihat air yang mengalir ini seperti kehidupan di bumi ini, termasuk kita sebagai salah satu penghuni yang harus senantiasa menjaganya”

Ishadat bertanya lagi: “Wahai kakek, kehidupan seperti apakah yang kakek maksud itu?

Kakek menjawab lagi: “Begini nak, kehidupan yang dimaksud kakek adalah sebuah perumpamaan yang sangat sederhana sekali, kakek membuat perumpamaan bahwa hidup  itu terasa seperti air sungai yang ada didepan kita. Ia mengalir dari hilir dan berakhir di muara yang luas dan membahana. Namun kita harus juga menyadari bahwa hidup itu tidak senantiasa harus mengalir seperti air sungai, ada baiknya bila air yang mengalir tersebut menyimpang pada celah-celah tanah, lalu tanah itu menyerapnya dan menjadikannya subur akan tanaman yang menjadi rejeki bagi sesama.

Ishadat lalu memotong pembicaraan kakek: “Adakah kakek ingin melanjutkan penjelasannya?

Kakek menjawab dengan senyum: “Ia nak, ada kalanya kita hidup dalam kebahagiaan yang memudahkan kita untuk mencapai sesuatu, namun harus diingat kembali bahwasanya hidup itu tidaklah abadi. Akan ada akhir dari sebuah cerita dalam hidup ini, kelak nak Ishadat akan seperti kakek ini, yang berkumis dan berjenggot lebat, sementara kakek mungkin sudah akan tiada, tandasnya”

Oleh sebab itu perumpamaan simpanglah pada sela-sela tanah itu adalah berbuat baiklah terhadap sesama makhluk hidup di bumi ini, raihlah perbuatan baik yang masih bisa kita lakukan selama nafas masih bisa terasa oleh kita. Tidakkah nak Ishadat mengetahui air yang menyimpang itu akan menjadi kehidupan makhluk hidup lainnya?

Ishadat menjawabnya: “Saya sedikit tahu kek, bahwa air tersebut akan diserap tanah, dan menjadi subur, seperti yang kita lihat tumbuhan yang sedang berdiri tepat didepan kita kek. Lalu dari tumbuhan tersebut banyak sekali kegunaannya oleh manusia bahkan hewan.

Kakek: “Tepat sekali nak, apa yang dijelaskan nak Ishadat memang betul. Berbuat baik terhadap sesama manusia dan membantu orang-orang yang membutuhkan untuk menjadi bekal suatu hari nanti. Siapa yang tahu perbuatan baik kita kelak akan mengubah kehidupan manusia. Siapa tahu suatu hari kelak ketika kita sudah tiada di dunia karena kebaikan yang pernah kita lakukan, ada saudara kita yang selalu senantiasa mendoakan. Apakah nak Ishadat pernah melihat kehidupan luar sekitar istana?

Ishadat: “Saya belum pernah kek, namun ayahanda saya sering meluangkan waktu untuk sekedar berjalan-jalan disekitar perkampungan warga.” Saya berjanji kek, mulai dari detik ini akan memanfaatkan kehidupan ini dengan sebaik-baiknya, saya akan berbuat baik serta ingin membantu apabila ada saudara-saudara hamba yang membutuhkan pertolongan.

Kakek tersenyum kembali dan mengatakan: “hamdallah, Semoga selalu diberi kelancaran sama yang diatas.” Kakek mempunyai sebuah gulungan kertas kecil, dan kakek ingin nak Ishadat mengasihkannya kepada Raja.

Ishadat dengan gembira menyahutnya: “Baik kek, nanti saya akan sampaikan perihal surat ini kepada Raja Yahamballah.

Sambil melambaikan tangannya, kakek itu menghilang dari kerumunan pohon lebat, Ishadat menaiki kudanya dan hendak pergi kembali karena senja sebentar lagi mengahmpiri hutan itu.

Tepat ketika Ishadat membuka pintu istana, disambutlah dia oleh ayahandanya. Ishadat menceritakan semua kejadian yang ia alami ketika di hutan tadi. Sebelum akhirnya Ishadat ingat bahwa kakek Philea tadi menitipkan satu buah gulungan surat untuk Raja.
Ishadat: “Ayahanda, kakek yang tadi saya temui menitipkan sebuah surat untuk ayah.”

Ishadat memberikan dan membukakan surat itu untuk ayahandanya.

Yahamballah sambil tersenyum dan meneteskan air matanya berkata kepada anaknya: “Yahamballah membaca suratnya yang berisikan sebuah syair yang indah “Seperti air di sungai. Ia tak mengalir begitu saja. Ia bercabang mengendap ke tanah. Lalu menghidupkan. Air yang mengalir begitu saja. Takan membekas dia pernah singgah didunia. Tanpa jejak ia lewat, meski bermuara pada akhirnya.” kakek-kakek yang kau temui tadi itu adalah kakekmu yang bijaksana, nak.

Sambil memeluk. Mereka berdua mulai menceritakan lagi kisah-kisah yang belum diketahui oleh Ishadat, dan salah satunya adalah kisah bersama kakek tercintanya yaitu Philea.