Responsive Ad Slot

Latest

latest

Begini Peran Muhammadiyah Dalam Perbaikan Perjalanan Haji Era Hindia Belanda

Begini Peran Muhammadiyah Dalam Perbaikan Perjalanan Haji Era Hindia Belanda
ilustrasi Haji

Kiprah organisasi Muhammadiyah dalam mencerahkan bangsa memang banyak meninggalkan jejak. Salah satu contohnya bisa kita lihat dalam usaha perbaikan perjalanan Haji di Indonesia pada zaman hindia belanda.

 

Upaya perbaikan yang dilakukan Muhammadiyah bukanlah tanpa alasan. Tapi dilatarbelakangi oleh realitas yang terjadi pada jama’ah Haji pada saat itu, yang dinilai kurang mendapatkan perhatian. 

 

Baik itu kondisi para jama’ah ketika berada di kapal atau ketika mereka tiba di tanah suci, Arab.

 

Berbagai literatur sejarah banyak menyajikan bagaimana hal tersebut terjadi. Sebagai contoh, pertama, sangat masuk akal bila mengatakan hindia belanda sengaja memberikan pelayanan buruk. 

 

Alasannya agar orang-orang Indonesia enggan melaksanakan ibadah Haji. Terlebih, meskipun secara finansial, mereka untung besar, apalagi dengan adanya hak monopoli Kongsi Tiga, tapi disatu sisi ada ketakutan lain yang dirasakan hindia belanda.

 

Pihak hindia belanda mewaspadai munculnya fanatisme Agama dan sebuah pemahaman baru yang bisa mengarahkan jama’ah Haji menjadi tercerahkan. 

 

Kedua, memang para penjajah memandang rendah orang Indonesia, karenanya pelayanan yang diberikan kepada jama’ah Haji sangat buruk. Barangkali buruknya pelayanan haji pada waktu itu adalah karena hindia belanda lebih mementingkan sisi materil ketimbang pelayanan.

 

Mengenai kesan buruk perjalanan haji pada zaman hindia belanda, bisa kita lihat pada tulisan surat kabar Pandji Islam tahun 1940. Dimana ada salah seorang tokoh organisasi Jami’yatul Washliyah di Medan, Rachman Syihab yang menjelaskan bagaimana pelayanan perjalanan Haji waktu itu.

 

Buruknya pelayanan di kapal, seperti ketidaksesuaian antara harga bayaran kapal dengan menu makanan yang diberikan. Meminjam ungkapan Syihab, makanan yang diberikan “tidak berharga sedikitpun”.  

 

Namun yang lebih membuat hati Syihab sakit adalah perlakuan orang Arab terhadap rakyat Indonesia yang sudah terlampaui batas bahkan sempat juga muncul istilah panggilan “Djawa Bagar” yang ditujukan pada jama’ah haji asal Indonesia saat itu.

 

Lantas, keadaan tersebut memicu semangat kebangsaan Syihab untuk membela harkat derajat bangsa Indonesia. Ia pun mengingatkan kembali arti penting pribahasa ini: “Tegak berkampung membela kampung, tegak berbangsa membela bangsa”.

 

Terkait Djawa Bagar. Penulis belum mendapatkan informasi lebih lanjut tentang istilah ini. Namun kalau meminjam arti dari KBBI, kata Bagar mempunyai arti gulai daging tanpa santan. Mungkin konotasi dari Djawa Bagar, kalau melihat pada konteks pada waktu itu yah mungkin, lebih kepada “Jama’ah Haji Indonesia Yang Kurang Gizi”. Wallahualam.

Berangkat dari persoalan-persoalan diatas, khususnya mengenai kondisi mengkhawatirkan yang dialami umat Islam. Maka organisasi Muhammadiyah yang bergerak, bukan hanya dalam rangka memajukan pendidikan saja, merasa terpanggil untuk mengupayakan perubahan atau bahasa sekarang mengorganisir perjalanan haji tersebut.

  

Upaya tersebut bisa dilacak pada waktu pertama kali organisasi ini didirikan, pada tahun 1912, dibawah kepemimpinan, Hoofdbestuur, K.H. Ahmad Dahlan. Organisasi Muhammadiyah telah membentuk satu lembaga bagian yang khusus berkecimpung dalam perbaikan perjalanan haji, yakni Bagian Penolong Haji. Saat itu Muhammad Sudja’ dipercaya menjadi ketua dari BPH tersebut.

 

Akan tetapi peran dari lembaga yang didirikan oleh Muhammadiyah tersebut belum benar-benar terasa atau kongkrit. Dalam usahanya itu, Haji Sudja’ dkk, dalam catatan sejarah tercatat kurang lebih 17 tahun, sebenarnya sudah melakukan beberapa usaha untuk membenahi atau mengorganisir perjalanan Haji namun selalu terbentur kegagalan.

 

Umpamanya ketika ada inisiatif, dari Regent Serang R. A. A. Djadjadiningrat, bagi jama’ah haji untuk menyewa kapal sendiri ketimbang dari penyelenggara waktu itu. Nantinya biaya yang akan digunakan berasal dari para kandidat haji yang akan berangkat. 

 

Sebagai propagandist atau promotor Inisiatif tersebut adalah 2 orang tokoh Muhammadiyah yakni Haji Agus Salim dan Haji Sudja’. Namun usaha tersebut tidak berlangsung lama dan berakhir dengan kegagalan setelah terbentur dengan kekuasaan hak monopoli “Kongsi Tiga” yang memang telah menjadi langganan bagi jama’ah haji Indonesia pada saat itu. 

 

Belajar dari pengalaman, maka pada tahun 1930, setelah kongres Muhammadiyah di MInagkabau. Haji Sudja’, R. Soetomo dan H. A. Kahar Moezakir berencana membuat sebuah organisasi, yang akan menjadi wadah perjuangan usaha mengorganisir perjalanan haji itu, diluar organisasi Muhammadiyah.

 

Salah satu usahanya yakni dengan mengumpulkan uang tiket dari kandidat calon haji yang akan berangkat. Namun usaha tersebut kembali mendapat penolakan dari Departement van Marine karena pada waktu itu tidak boleh ada penjualan tiket sebelum seseorang mengeluarkan lisensi sebesar f90.000.

 

Dari kegagalan-kegagalan tersebut, pintu perjuangan tidak pernah surut. Malah kegigihan Haji Sudja’ dalam rangka perbaikan perjalanan Haji semakin berkobar dan membara. Hal ini bisa kita lihat pada ungkapan kalimat yang ia sisipkan ketika berpidato dalam rangka perbaikan perjalanan Haji: 

 

“Apakah soekar mengadakan pelajaran yang baik itoe? Tidak, wangnya ada. Dimana? Ditangan kandidat Hadji! Tjobalah kiranja mereka membeli andeel. Mereka naik hadji, poelangnja nanti mempoenyai andeel poela”.

 

Perjuangan perbaikan perjalanan haji terus berlanjut. Torehan-torehan yang telah dilalui oleh Muhammadiyah atau Haji Sudja’ pada akhirnya berakhir dengan didirikannya N.V. Indonesische Scheepvaart dan Handel My yang pada tahun 1945 kelak menjadi N.V. Pelayaran Haji Indonesia. 

 

Haji Sudja’: The Man from Future 

 

Kiprah Haji Sudja’ dalam bidang kemanusiaan (filantropi) memang bukan kali ini dilakukan, yakni pada usaha membenahi perjalanan haji saja. 

 

Dalam organisasi Muhammadiyah, bisa dikatakan sosok Haji Sudja’ mempunyai ide-ide yang melampaui zaman. Singkatnya, Haji Sudja’ ibarat “the man from future, “ia seolah memiliki ide-ide yang tidak terpikirkan oleh orang-orang pada saat itu. Bahkan kerap kali ditertawakan!

 

Adanya sentuhan sosok Haji Sudja’ bisa kita lihat pada amal usaha Muhammadiyah seperti Rumah Sakit Muhammadiyah yang sekarang sudah berjumlah ratusan, serta MDMC yang pergerakannya makin mendunia, dimana cikal bakal pertamanya adalah Haji Sudja’ ketika membantu korban letusan gunung Kelud lewat “penolong kesengsaraan oemoemnya” (PKU) dan tentu peran Haji Sudja’ dalam sejarah perbaikan perjalanan Haji di Indonesia, yang kelak menjadi cikal bakal berdirinya Direktorat Haji di Indonesia. 

 

Hal tersebut tidak terlepas dari peran Haji Sudja’ dalam tubuh organisasi Muhammadiyah yang mempunyai andil besar dalam mencerdaskan bangsa. Semoga saja kedepan lahir Sudja’ Sudja’ lain yang mempunyai spirit kemanusiaan dan kemajuan.


- Muhammad Zaki Al Aziz, M.Hum

No comments

Post a Comment

Don't Miss
© all rights reserved
made with by templateszoo