Kisah Madrasi; Peran dan Perjuangannya di Muhammadiyah Garut Tahun 1923 - 1929


- Muhammad Zaki Al Aziz, M.Hum

Garut menjadi kota pertama di Priangan yang mendirikan organisasi Muhammadiyah di Jawa Barat. Secara resmi, dengan melihat pada ketetapan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta No. 18, Muhammadiyah cabang Garut ini sah berdiri pada tanggal 30 Maret 1923.

Ketetapan ini nampaknya hanya penegas dari keberadaan Muhammadiyah yang, secara realitas, sebenarnya sudah dikenal beberapa tahun sebelumnya.

Formasi awal pemimpin Muhammadiyah cabang Garut pada waktu itu adalah sebagai berikut; Djamhari, Wangsa Eri, Masjamah, Sastradipura, Wiriasasmita, H. Saleh dan H.M. Gazali.

Selain menjadi formatur, mereka juga dikenal sebagai para perintis atau orang yang berjasa mengenalkan dan mengembangkan Muhammadiyah di bumi Pasoendan.

Madrasi; Perjalanan Singkatnya di Muhammadiyah

Selain tokoh besar yang kita kenal lewat historiografi Muhammadiyah Jawa Barat itu. Barangkali ada juga tokoh lain yang tidak tampil dalam kronika peristiwa sejarah tadi tapi mempunyai andil yang, katakanlah, tidak kalah penting. 

Biasanya tokoh-tokoh seperti ini terungkap lewat sumber-sumber yang tidak biasa, seperti wawancara atau melalui tulisan testimoni. Seperti halnya seorang tokoh yang akan dipaparkan dalam artikel ini, yakni M Madrasi yang merupakan salah satu tokoh yang berkontribusi dalam mengembangkan keberlangsungan organisasi Muhammadiyah di Garut.

Madrasi merupakan generasi awal yang ikut berkhidmat dan berkecimpung di Muhammadiyah cabang Garut. Hal ini bisa kita lihat dalam sebuah tulisan testimoni yang ditulis oleh tim Muhammadiyah Cabang Garut. Dimana dikatakan bahwa Madrasi menjadi anggota Muhammadiyah  pada tanggal 22 April 1922.

Tidak lama setelah itu, pada tahun 1923, Madrasi dipercayai menjadi anggota bestuur Muhammadiyah, sebagai anggota komisaris, bersama dengan Kasriah, H.M. Amir, Masjamah dan Marsijan (Amirullah: 2001). 

Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1927, Madrasi bukan hanya dipercayai menjadi Komisaris saja tapi merangkap juga dengan Voorzitter Muhammadiyah bagian yayasan. Ketika ada sebuah gagasan berkemajuan dari aisyiyah untuk mebangun sebuah mushola tahun 1927, Madrasi juga dipercaya menjadi penningmeester (bendahara) dalam panitia komite pembangunan mushola Asiyiyah. 

Pada tahun 1929, bertepatan dengan tanggal 10 Dzulkaidah 1347 jam ½ 12 malam, Madrasi meninggal dunia. Meski semangat dan pikirannya masih kuat menyertai perkembangan Muhammadiyah, tapi umur memang tidak bisa dipungkiri.

Karena Madrasi bergabung dengan Muhammadiyah di usianya yang sudah senja, maka Allah cukupkan Madrasi hanya dengan beberapa tahun saja. Meskipun begitu dalam waktu yang singkat tersebut, sosok Madrasi di Muhammadiyah, seperti yang telah dikatakan diatas, tidak kalah penting juga dengan tokoh besar lainnya.

Perjuangan Madrasi di Muhammadiyah

“Moehamadijah Sjarikatkoe, Bachtera yang sangat membawa bahagia, akoe tetap ta’kan melepaskan perhoeboenganku sehingga pada adjalkoe ja’ni berpisahnja roch dan jasadkoe”.

Keputusan Madrasi untuk bergabung dengan organisasi Muhammadiyah bukan lantaran alasan ingin terlihat keren atau kekinian. Akan tetapi lebih pada mengikuti suara hati dan luas pikiran beliau. Terlebih Madrasi mempunyai latarbelakang seorang santri yang paham betul mengenai Al-quran dan pengamalannya di masyarakat.

Bisa dikatakan munculnya Muhammadiyah, seakan ia menemukan perahu untuk berlayar, mengarungi setiap nasib yang akan ia hadapi dengan perjuangannya dalam dakwah Islam. Bila kuat maka ia terus berlayar, kalau lemah tentu ia akan karam.

Madrasi tentu berada dalam keadaan berlayar dengan kuat. Kekuatan tersebut ia buktikan di medan laga dalam penyebaran Muhammadiyah. Karena memang sangat tidak mudah untuk menjadi anggota organisasi Muhammadiyah, apalagi masa-masa awal dikenalkannya Muhammadiyah pada masyarakat Garut.

Pada masa awal keberadaannya, Muhammadiyah di Garut ternyata mendapat respon yang kurang mengenakan. Hal ini agaknya berangkat dari karakter organisasi Muhammadiyah yang modern dan mempunyai jalan penyampaian dakwah berbeda dengan organisasi islam lain yang ada di Garut pada waktu itu.

Sehingga sempat pula pada waktu itu muncul fitnah-fitnah bahwa Muhammadiyah adalah oraganisasi sempalan, Islam palsu, beraliran wahabi, mempunyai faham Mu’tazilah dan lain-lain. Faktor lain yang tidak kalah penting nampaknya muncul dari kondisi masyarakat yang pada waktu itu sedang terjangkit seni-seni / budaya yang jauh dari keagamaan, khususnya dari nilai Islam.

Madrasi mengalami betul pahit dan getirnya ber-Muhammadiyah pada waktu itu. Bahkan saking frontalnya para pemaki dan pengolok Muhammadiyah, banyak dari anggota persyarikatan Muhammadiyah yang terpaksa memutuskan untuk keluar.

Namun itu tadi, Madrasi bak batu besar yang kuat dihantam badai. Ia malah memilih untuk berjalan beriringan dengan badai tersebut. Mengutip perkataan Madrasi diatas:

“Moehamadijah Sjarikatkoe, Bachtera yang sangat membawa bahagia, akoe tetap ta’kan melepaskan perhoeboenganku sehingga pada adjalkoe ja’ni berpisahnja roch dan jasadkoe”.

Adanya olokan dan hinaan tersebut justru malah membuat Madrasi semakin rajin pergi ke Surau kecil yang waktu itu dimiliki oleh Muhammadiyah (cikal bakal masjid Lio). Barangkali Madrasi tahu bahwa di surau inilah kelak menjadi titik penyebaran Muhammadiyah ke berbagai tempat.

Saking cintanya terhadap surau itu, Madrasi bahkan pernah berpesan sendiri kepada saudaranya bahwa salah satu keinginannya adalah meninggal didalam Surau ketimbang dirumah.  Selain itu dari surau ini pula peran Madrasi bisa kita lihat.

Umpamanya, kalau ada saja kerusakan pada surau maka Madrasi selalu yang terdepan dalam memperbaikinya tanpa harus menunggu perintah dari bestuur. Termasuk juga ketika ada rencana merenovasi surau ini menjadi masjid, Madrasi berperan dalam menyanggupi untuk menambah kesediaan kayu-kayu dan barang-barang lain yang kurang dari begrooting yang sudah ada. 

Sangat jelas hal tersebut merupakan salah satu wujud kecintaan Madrasi terhadap Muhammadiyah. Apalagi pada waktu itu Madrasi menjadi Voorziter yayasan yang mempunyai tanggung jawab besar terhadap amal usaha Muhammadiyah, ditambah peran Madrasi dalam pembangunan Mushola Aisyiyah.

Adapun hal lain yang tak kalah penting, Madrasi selalu memegang prinsip berdakwah dengan cara menggembirakan. Hal ini dibuktikan bilamana waktu itu Muhammadiyah cabang Garut mengadakan pengajian, baik Isra Miraj atau Maulud Nabi, Madrasi mempunyai inisiatif sendiri untuk merias atau mendekor ruangan yang akan dipakai dengan kertas, kain atau daun-daun dan itu semua Madrasi lakukan dengan menggunakan uang sendiri agar suasana pengajian begitu menggembirakan sekaligus mencerahkan.

Lambat laun, dakwah Muhammadiyah di Garut mulai menemui titik terang. Perjuangan para pendiri dan kader yang menyertai, termasuk Madrasi, dalam membesarkan Muhammadiyah mulai terbuka seiring dengan pemahaman masyarakat Garut terhadap Islam yang sudah berkembang. Keanggotaan organisasi ini pun mulai meningkat seiring dengan lahirnya ranting-ranting dibeberapa tempat. 

Kesimpulan

Madrasi adalah sebuah perumpamaan tepat dari apa yang telah diwanti-wanti Ahmad Dahlan dengan pesannya “Hidup-hidupilah Muhammadiyah”. Kesungguhannya dalam menjadi anggota Muhammadiyah ia laksanakan dengan berkerja dan mengamalkan.

Meski torehan Namanya tidak sebesar para tokoh pendiri Muhammadiyah lainnya, tapi itu hanya permasalahan siapa yang ingin menulis dan mengabadikan. Karena penulis yakin bahwa dari banyaknya kader Muhammadiyah di Indonesia, pasti ada jua yang memiliki karakter-karakter seperti yang dimiliki Madrasi.

Daftar Pustaka

Fadjri, Muh. 1968. Sejarah Singkat Muhammadiyah Cabang/Daerah Garut. Garut: Pimpinan Daerah Muhammadiyah Garut.

Amirullah, Sofwan Haris. 2001. Gerakan Muhammadiyah di Garut, 1923-1995; Studi Kasus Tentang Gerakan Pembaruan Pendidikan dan Pemurnian Keagamaan. Skripsi. Jatinangor: Fakultas Sastra Unpad

MPI, PP Muhammadiyah. 2014. 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi. Majlis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.

Pengoereoes Besar Moehammadiyah. 1932/1933. Almanak Moehammadiyah IX. Djokjakarta: Taman Poestaka