Tawuran; Melihat Manusia Dalam Pandangan Hobbes

46 pelajar di Indonesia meninggal dunia dalam kurun waktu 3 tahun. Sebabnya hanya karena konflik antara satu sekolah dan sekolah lainnya yang berujung tawuran. Akan tetapi batasan tawuran yang kerap terjadi sekarang nampaknya telah masuk pada tahap yang mengerikan dimana pada akhirnya nyawa manusia itu sendiri yang menjadi korban. Konflik yang terjadi pun beragam ceritanya namun yang pasti saya percaya bahwa suatu konflik kalau dipelihara dengan rasa konflik lagi malah akan tambah panjang ceritanya.

Berbagai faktor penyebab terjadinya pun banyak dilontarkan baik oleh pemerhati anak-anak, perlindungan anak dan bahkan pakar sosiolog pun akhirnya angkat bicara. Tentu saja mereka berbicara dari sudut pandang ilmu yang ditekuninya. Ada yang yakin bahwa faktor terpenting dari sering terjadinya tawuran adalah kurangnya peran orang tua dalam mendidik anak, faktor psikologis; bagaimana perkembangan anak dizaman sekarang ini, apalagi di Ibu kota, dan yang terakhir kali yang kerap kali disebutkan faktor terbesar adalah bagaimana faktor lingkungan membuat individu itu memaknai dirinya sendiri dalam kehidupan sosial.

Konflik tawuran antar pelajar kali ini sudahlah boleh kita sebut telah keterlaluan. Selain tidak mencerminkan prilaku yang terpuji, yang paling memilukan dari akibat tawuran ini adalah tak kuasanya melihat tetesan air mata keluarga yang mendapati anaknya telah meninggal. Sangat tidakwajar kalau dibandingkan dengan begitu konyolnya prilaku pelajar yang doyan tawuran sebagai penyebab terjadinya. Apa yang akan anda rasarakan apabila mengetahui seorang Ibu yang tercerai dari suaminya kini harus menahan sedih untuk kesekian kalinya karena anak satu-satunya yang menjadi kebangaaan telah direnggut nyawanya oleh sesama manusia yang seharusnya tak terjadi.

Ada apa dengan keadaan pelajar saat ini sehingga harga kehidupan manusia dibumi dipandang tak berharga lagi untuk mencipta kehidupan? Adalah pertanyaan mendasar bagi kita untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sebelum kita akan mengetahui pula bagaimana pola kehidupan pelajar memandang manusia lain selain dirinya dalam masyarakat?

Saya tidak berusaha untuk menjawab dengan detail pertanyaan diatas. Artinya saya sendiri juga mempunyai pemahaman yang mungkin berbeda dan kurang lebih sama dari apa yang di berikan oleh para ahli sebelumnya. Saya justru ingin membuat kesimpulan dari hasil pembaca yang membaca tulisan ini lalu berbagi nasihat atau komentar. Yang mungkin pada akhirnya jawaban kita – yang akan berbeda pula – bisa sedikit membantu bagaimana menanggulanginya, amin.

2 Konflik Terjadi; Konflik Mana Yang Sewajarnya

Sekarang ini saya banyak mendapati sejumlah pemberitaan dua konflik besar yang pada akhirnya berujung kekerasan. Akan tapi kedua konflik itu berlangsung ditempat yang berbeda. Yang pertama adalah konflik yang sekarang tengah hangat menjadi pemberitaan utama sejumlah media TV dunia yakni konflik Suriah. Dan konflik yang kedua – yang juga tak kalah hebohnya – adalah konflik antar pelajar yang tengah mewarnai berita lokal di Indonesia.

Kedua konflik diatas meskipun berbeda ditinjau dari beberapa aspek namun intensitas yang ditimbulkan akibat keduanya sama yaitu kematian. Meskipun kita tahu angka kematian yang timbul akibat kedua konflik diatas sangat jauh berbeda. Tak perlulah kiranya membahas lebih lanjut tentang angka-angka tersebut. Karena yang saya ingin jelaskan lebih lanjut adalah awal hitam apa yang ada dibalik semua konflik itu terjadi?

Konflik itu pada dasarnya terjadi karena ada perbedaan. Lebih jauh lagi kalau perbedaan itu diemban oleh suatu institusi masyarakat; Suku. Adat, agama bahkan individu yang mengkolektif – yang punya tujuan tersendiri -. Maka tidak heran kalau kita banyak menemukan berita konflik antar agama, suku dan lain-lain. Kedua konflik yang terjadi baik di Suriah dan antara pelajar diatas merupakan contoh dari perbedaan yang pada akhirnya akan menimbulkan suatu pertikaian.

Setelah mengetahui bahwa perbedaan adalah yang paling mendasar dari konflik itu maka muncullah pertanyaan lantas apa yang mereka perjuangkan? Saya rasa kedua konflik diatas tidak akan terjadi selama mereka tidak memperjuangkan apa yang hendak ditujunya.

Bila dalam konflik Suriah yang sering kita dengar dari para penganalisis timur tengah mengatakan bahwa yang diperjuangkan oleh suriah adalah kehidupan yang tidak mau dibawah diktator yang monarki, meskipun pada akhirnya berimbas pula pada isu ideologi dalam islam yang berbeda (baca Sunni dan Syiah). Artinya kekerasan yang terjadi korban tengah berjuang untuk hak-hak mereka yang selama ini dianggap tak seimbang. Rakyatpun bersatu untuk terus bertahan dan mempertahankan apa yang mereka inginkan dari gempuran tentara militer Suriah. Sehingga harga matipun mereka korbankan untuk menghancurkan kediktatoran Basar Al-Assad.

Akan tetapi dalam konflik kekerasan antara pelajar yang selama ini marak terjadi, saya masih samar untuk mencari tragedi dibalik semua. Apakah hanya dendam kesumat sehingga nyawa manusiapun dilumat? Apakah hanya dari iri yang akut kelak berakhir tragedi? Konflik sebesar apa yang terjadi terhadap pelajar sehingga harga kematianpun tak ada artinya bagi mereka yang lantas mereka dengan berani mengatakan saya puas pak! Apakah hal yang wajar kalau faktor-faktor seperti diatas menjadi apa yang mereka perjuangkan dalam tawuran sehingga membunuhpun menjadi biasa?

Yang ingin Diakui dan Ingin Bersaing

Masa remaja adalah masa dimana tingkat kehidupan manusia berada pada tahap yang paling menyegarkan. Meskipun ada jargon semakin tua semakin jadi namun tidak yang tua semuanya menjadi-jadi koq. Semisal dalam suatu peradaban maka kita kenal dengan beberapa tahap peradaban yang selalu diusung para penggagas teori perubahan sosial klasik; Kecil, remaja, tua dan hancur. Pada saat tahap remajalah suatu peradaban itu menghasilkan tingkat kehidupan yang dominan.

Pada masa remaja pula adalah masa dimana seseorang itu hendak mencari identitas dirinya/jati dirinya mereka berada. Seorang remaja itu cenderung merasa dirinya ingin diakui didalam kehidupan sosial. Wujud kecil dari pencarian mereka adalah dengan mengikuti suatu perkumpulan atau bahkan tongkrongan biasa, atau bahkan juga Gangster sampai kepada komunitas-komunitas sebagai pelampiasan apa yang selama ini hendak dicarinya.

Saya biasa menyebut mereka yang ingin diakui dan lantas menemukan tempatnya dengan sebutan individu yang mengkolektif. Yang perlu diwaspadai disini adalah berada pada pihak manakah rasa keinginan mereka yang menginginkan statusnya diakui itu dilampiaskan? Syukur-syukur kalau mereka berada pada tingkat kekolektifan yang berujung pada sisi positif. Namun akan berujung berbahaya banget apabila mereka salah menempatkan dirinya pada suatu kumpulan individu yang mempunyai tujuan yang tak dikehendaki oleh sebahagian orang.

Tidak semua para pelajar itu suka dengan tawuran, yang suka tawuran itu hanya sebagian. Itu artinya pelajar yang suka tawuran itu adalah mereka yang mempunyai tujuan yang sama yang tidak dikehendaki oleh pelajar yang lainnya dalam satu sekolah. Bagaimana mungkin niat awal berangkat kesekolah untuk mencari ilmu terselip dalam pemikiran mereka untuk menyimpan cerulit/martil hingga panah dalam sebuah tas?    

Senggol Maaf → Senggol bacok Bro!

Kalau dulu mungkin "Senggol punten"  kalau sekarang mungkin sebagian akan melakukan "Senggol Bacok". Tidak adanya lagi perasaan damai tanpa pedang harus dipertanyakan kembali. Kekerasan bukanlah satu-satunya jalan keluar untuk mengakhiri masalah. Banyak teladan kita yang patut dicontoh untuk urusan seperti ini.

Dicurigai hilangnya perasaan damai tanpa perang adalah suatu ketentuan kodrati manusia ala definisi Thommas Hobbes. Ia tidak semua setuju dengan pendapat Aristoteles yang menghendaki kedamaian akan dicapai dalam kehidupan sosial karena Hobbes meyakini bahwa justru dalam kedamaian itu terbesit sejarah menakutkan perang antara manusia dan manusia dan akan selalu terjadi seperti itu. Tepatnya adalah manusia bagi Thommas Hobbes adalah serigala bagi manusia lainnya.

Dalam pikiran pelajar yang senang tawuran mungkin bisa kita temukan 3 ketetapan yang menjadi dasar bagi pandangan Hobbes tentang manusia yakni; persaingan, setelah itu mempertahankannya dan menunjukan superioritasnya. Apabila individu yang terkolektifkan itu sudah masuk pada tahap seperti ini mereka selalu mempunyai ideologi bahwa baik adalah subjek keinginan dan buruk adalah subjek pengelakan. Artinya bagi mereka tawuran adalan jalan terakhir untuk mendapatkan apa yang ditujunya. Sebaliknya apabila mereka tidak melakukannya sama sekali mereka telah mengelak dan menjadi yang terelakan.

Pelajar yang seperti ini telah dirasuki racun yang mematikan bagi diri dan diri yang terkolektifkan. Dengan perasaan yang ingin diakui oleh lingkungan tempat ia tinggal maka mereka berani untuk mempertaruhkan nyawa dengan tawuran. Yang seperti ini mungkin menganggap dirinya memang tengah berada pada apa yang ia dapatkan dari hasrat yang telah menemukan pengakuannya tersebut. Ia mengganggapnya sebagai hal yang wajar karena ia telah menemukan apa yang selama ini ia cari.

Alhasil akan sangat mengerikan sekali kalau hal ini dibiarkan tanpa adanya sebuah solusi dan janganlah heran kalau tawuran ini akan menyebar pada tempat-tempat lainnya. Karena tak kerap kekerasan yang masih dalam tahap strutktural akan meledak akhirnya pada tahap kekerasan antar fisik satu sama lain.
  

Yang Harus Dicatat Kedepannya

Kedua kekerasan yang sedang terjadi seratus persen harus segela diselesaikan. Kita semua tidak ada yang mau melihat jerit manusia yang kehilangan sanak saudaranya hanya karena sifat manusia yang salah akan hidupnya. Kita semua ingin perdamaian karena perdamaian adalah keadaan semua damai tentram dan makmur. :D

Tapi kita juga harus menyadari bahwa keinginan Nabi Adam untuk hidup di surga telah dikhianati oleh iblis yang bersama-sama berjanji setelah turunnya Nabi Adam untuk senantiasa mengajak kepada kebajikan. Didunia ini akan ada selalu kebaikan dan keburukan sampai pada akhir kiamat.

Rakyat Suriah seharusnya menjadi yang dilayani oleh pemerintah tapi yang terjadi akhir-akhir ini rakyat menjadi lawan pemerintah dalam situasi keadaan seperti perang. Penyelesaiannya mau tak mau keinginan rakyat setidaknya menjadi pertimbangan bagi pak Basar Al-Assad sebagai pemimpin Suriah untuk mundur dari jabatanya. Mau apa jadinya kalau Presiden negerinya sendiri membantai rakyatnya sendiri?

Sedangkan untuk tawuran, pelajar itu adalah calon pemimpin masa depan bangsa. Mereka di didik untuk menjadi seorang figur yang mantaf dan berilmu. Pada tangan merekalah kelak tonggak penting suatu kenegaraan akan tetap berlangsung.

Oleh karena itu perlulah disadari dan catat dalam benak kita semua bahwa untuk menyelamatkan bangsa ini mau tidak mau kita harus pula menyelamatkan proses regenerasi yang berkala. Kita semua berkewajiban sama untuk menyelesaikan permasalahan tawuran antar pelajar agar tidak merembet pada sekolah-sekolah lain.

Banyak yang harus kita lakukan secara bersama-sama untuk membantu pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan ini. Karena usaha-usaha perdamaian untuk mengakhiri konflik kekerasan ini pun sudah dibuat oleh mereka yang seharusnya memang perlu untuk membuatnya.

Pesan Thomas Hobbes mungkin bisa menjadi pesan penting untuk dilakukan bahwa haruslah ada suatu kontrol yang bisa mengarahkan manusia didalam kehidupan sosial. Dan mungkin apa yang dikatakan Hobbes ini adalah hal yang paling dasar dari jawaban kenapa selalu pedang terlebih dahulu yang berkata bukannya sikap dan kata2. Dan kontrol sosial yang dimaksud adalah Agama?

Agama yang saya tahu semuanya mengajarkan kita untuk berbuat kebaikan, saling menghormati antar keluarga, teman dan sesama manusia. Tidak mengajarkan kita untuk saling memaki, mencela sampai membunuh. Karena yang seperti itu akan mendapatkan balasan yang mengerikan dari Sang pencipta kita Allah Maha Mulia. Sumber dari ketakutan yang tiada terlihat itu adalah landasan bagaimana seseorang itu berbuat dalam batas-batas yang dianjurkan dan begitulah Hobbes mewanti-wanti dalam bukunya.
By: Muhammad Zaki Al Aziz

Hai, selamat datang di website personal saya. Perkenalkan nama saya Muhammad Zaki Al Aziz, asli dari Bandung. Dulu pernah sekolah di Darul Arqam, Sastra Inggris S1 dan Sejarah Kebudayaan Islam S2 UIN. Sekarang saya adalah seorang Guru di MBS di Bandung.

Post a Comment

Post a Comment