Jangan Biarkan Ibu Pertiwi Menangis (Leviathan Yang Ditolak)

Busuk, cacad, keji atau apakah itu yang sejenis dengan kata-kata diatas, terlontar dengan perasaan yang kesal dan resah melihat situasi yang semakin hari semakin amblas oleh semua oknum yang berkelumit dengan kebobrokan. Seakan itu telah menjadi sarapan pagi sambil menikmat roti dan susu, aku katakan itu sudah menjadi tontonan, toh kita tidak bisa melawan mereka-kan!

Baru kemarin sinar sang surya menampakan
Dipelataran reruntuhan peperangan
Disisa puing perjuangan keras para pahlawan
Menjunjung satu tujuan kebebasan dan kemerdekaan

Suara lantang terdengar menyeringai
Merosok ke pelosok nusantara
Bergetar seluruh relung jiwa
Mendengar suara pergerakan baru

Naas, semua seakan sirna
Digerogoti para iblis
Bukan dari mereka tapi dari kita
Seperti Pepatah Bung karno sang peramal ulung

Selamat datang kehancuran
Kau datang terlalu cepat untuk negeri ini
Kau tak mau pergi seolah-olah disini surga
Selamat para iblis, inilah rumahmu dengan segudang kebablasan

Tidakkah kita ingat akan kejinya para penjajah yang tak segan memborbardir rakyat jelata? Mereka seperti monster yang haus akan kekayaan, mereka menerjang apa yang ada dan menjadi penghambat bagi mereka. Mereka menjadi penguasa yang tak berkemanusiaan, berubah menjadi pemangsa yang haus akan darah manusia. Seperti itulah yang ditulis Thomas Hobbes dalam sebuah bukunya `Leviathan`. Manusia menjadi pemangsa bagi manusia lainnya, manakala penjajah datang dengan jubah besinya, meluluh lantahkan jubah kayu. Ibu pertiwi dipukul mundur beberapa tahun lamanya. Kita belum merdeka dan masih mencari dan kebingungan dengan yang namanya kebebasan.

Hal yang sedemikian rupa diatas nampaknya masih bisa kita temukan akhir-akhir ini, banyak serigala haus darah yang menjadi pemangsa dinegri ini, menjadi lupa akan janji bahkan terlihat melupakan janji-janji mereka. Mereka haus akan kepentingannya masing-masing, mereka seperti berkelana dengan jiwa dan keinginannya masing-masing. Bila ada sesuatu yang menghalanginya mereka tak segan untuk melumat dan meludahinya, bahkan mereka tak segan untuk membinasakannya.

Ibu pertiwi menangis, meneteskan air mata bisu, menenggadah seakan lemah menghadapinya. melihat keadaan yang seburuk-buruknya, ibu pertiwi masih bersabar dan rindu terhadap relung cahaya kemenangan.

Sekarang ini, hal yang paling sering terjadi adalah rasa ketidak puasan atas apa yang telah dijanjikan para elit-elit, tidak hanya didalam lingkup kenegaraan, tetapi yang demikian telah merasuk kedalam nadi-nadi yang lain-nya. seperti contoh kekesalan para mahasiswa atas ketidak puasan yang diterima. hal itu menunjukan bahwa memang serigala haus darahpun bisa kita temui didekat dimana kita berada. yah memang begitulah manusia dan kehidupan, selalu ada perselisihan, begitu juga yang disebut dalam Leviathan. Selalu ada pertengkaran-pertengkaran didalam kehidupan sosial.

Manusia memang mempunyai persamaan dalam kesanggupan, tetapi ini berlaku pula sesamanya, yang hanya bisa selesai bila ada kekuasaan pada satu pihak dalam menghadapi yang lain. Tetapi di balik pertentangan itu manusia mempunyai keinginan untuk hidup damai dan rukun. Ini menyebabkan ia tunduk pada kekuasaan yang diakui bersama.

Mengerikan sekali dengan pernyataan diatas, Momok yang sangat menakutkan ketika kekuasaan menjadi tameng kemenangan. Mereka yang menang akan mempertahankan apa yang mereka inginkan dengan tameng kekuasaan. Apakah mereka tidak merasakan kesedihan ibu pertiwi yang menagis setiap hari, yang mendamba relung cahaya kemenangan?

Dalam Leviathan mungkin diberikan suatu solusi untuk membuat semua itu menjadi seimbang dan mungkin damai, yaitu dengan `kontrak sosial` (perjanjian bersama, perjanjian masyarakat, kontrak sosial). Dimana orang-orang menumpukan segala yang dimilikinya (kekuasaan, kekuatan sepenuhnya) untuk diberikan kepada suatu majlis tertentu yang bisa mengayomi dan membawa kepada keadilan. Dan mereka yang mengayominya bisa kita sebut sebagai Commonwealth atau Civitas dalam Leviathan. Mereka yang menerima dan menjadi tumpuan adalah pihak dimana yang mewakili mereka yang telah berjanji (kontrak sosial). Sekarang pertanyaannya, apakah hal tersebut ada di negara kita? ataukah masih banyak dari kita yang bersembunyi dibalik janji tersebut?

Bila kita melihat yang terjadi sekarang ini, barangkali aku bisa katakan yah memang ada di negara kita, akan tetapi tidak sedikit juga yang melanggarnya. Sebagai contoh saja, semua orang di Indonesia mempunyai kewajiban membayar pajak pada suatu instansi tertentu, yah mungkin untuk kepentingan negara atau apa aja. akan tetapi pemandangan yang jelas sekali terlihat sekarang ini adalah dengan `kasus mafia pajak` yang melibatkan aktor keren `Si fulus`. Dilema bagi semua orang dinegeri ini. Kesimpulannya mereka yang berkuasa tetap meluaskan invasinya dan yang tidak berkuasa akan menjadi mangsa mereka yang berkuasa.

Mungkin masih banyak hal serupa yang terjadi dinegeri ini, seperti yang dikatakan tadi, serigala haus darahpun telah menjalar kedalam nadi-nadi setiap aktivitas. Sudah pasti akan terjadi demonstrasi yang menyuarakan kekesalan dan ketidak puasan atas apa yang terjadi dinegeri ini. aku, kami dan kita akan selalu menjadi obat bagi ibu pertiwi yang sedang menangis merindu relung cahaya kemenangan.