Cerpen "Langka dan Pemikirannya"


Senja di ufuk bukit ihuday, langka terlihat sedang berjalan diantara pepohonan yang rindang dan gurun yang menyengat. Langka terlihat tidak tergesa-gesa, setiap langkah dan setiap menit berlalu langka terlihat menikmati apa yang dia alami saat ini. Sementara bukit najmi tidak menunjukan kebaikannnya ketika mendapati tidak ada tempat untuk langka bernaung dan berteduh dari terik matahari yang jahat. Bukit najmi senantiasa menerima dengan ikhlas dan dengan terbuka apa yang datang menimpanya. Itulah mungkin bukit najmi. Tidak terlihat jelas keberingasan dan kejahatannya, akan tetapi dengan secara perlahan tapi pasti dia menjelmamu tanpa disadari.

Beribu-ribu kilo langka berjalan dirasa seperti melangkah tanpa bergerak, dataran gurun membahana, membentang luas bak samudera yang membiru. Dengan tekad yang kuat langka meneruskan perjalanannya untuk mencapai tujuan utamannya yaitu Perkampungan ansiin. Dalam setiap perjalanannya langka tak pernah berhenti untuk
memadu kasih dengan sekitar, mencumbu setiap detik berlalu, melalui syukur dia lafadzkan keindahan.

Aku tidak sedang berjalan ditanah yang sama, tapi aku sedang bergerak ke arah yang sama ditempat berbeda, berkata sama tapi berbeda karena ruang dan waktu, lihatlat ke atas ketika kita kebingungan dan buyar akan keadaan, maka kau akan lihat perbedaan adalah hal yang selalu ada tapi tidak terlihat. Suatu hari aku pernah salah memandang lurus sesuatu, sampai suatu saat aku terbangun sendiri dengan kesalahannku, hanya dengan menerjemahkan pandangan dan seperti aku melihat sudut yang berbeda-beda. Maka disanalah letak dimana kita belajar.

Malam tiba berserta pekat dinginnya, langka merasa perlu untuk berhenti sejenak untuk beristirahat. Tibalah langka ditepat yang tepat untuk meredam lelah untuk kembali esok hari dengan bermacam misteri kehidupan. Langka sebagai seorang taat beragama selalu memunajatkan apa yang menjadi keluh kesahnya, bersujud dengan sebenar-benarnya sujud. Karena langka tahu benar hanya dengan begitu resah, keluh kesah serasa diairi dan sedikit terpadamkan dengan berdoa.

Sebelum memejamkan mata, langka membuka kembali buku yang dikasih seorang sahabat misteriusnya, yang sampai sekarang belum diketahui identitasnya tersebut. Langka tak bergeming dan yang pasti dia adalah sang penyair yang berteman diksi indah dan makna menyejukan. Sampai detik ini langka telah diberi beberapa tulisan dan puisi oleh dia, dengan berjuta kata-kata indah yang syarat akan perbandingan-perbandingan yang membelit dan makna yang tersirat dalam-dalam. Langka tersenyum dan selalu tidak serius dalam menanggapinya, buah hasil dari yang diberi sahabatnya itu cuma kata-kata indah yang membekas dan dijadikan puisi lagi oleh langka. “Terima kasih teman baik, engkau memang baik dengan kebaikanmu memberi beberapa lembar siratmu padaku, aku berpikir itu akan lebih baik bila aku bumbui semua dengan hal-hal kebaikan untuk kebaikan yang akan diberikan”

Kenapa langka begitu tidak serius dalam menanggapinya, jawabannya hanya ada pada diri langka. Langka tidak mau dan tidak ingin terjerumus pada ketidak pastian yang akan menjadikannya sebagai cengkraman halus. Langka tidak mau kejadian ketika di sungai dukwa itu terulang lagi. Dia tidak mengenal orang-orang yang dia puja dan puji dengan sebaik-baiknya.

Singkat cerita dia bertemu dengan orang-orang yang pandai merangkai kata, beberapa helau daun mereka jadikan sebagai piranti pena yang terbuat dari sari bunga penpul. Mereka duduk dibawah pohon-pohon keabadian, bersandar pada tiap batang besar, dengan gericakan air sungai dukwa mereka mencumbu alam. Langka pada awalnya merasa bergetar dan selalu memuji-muji mereka para pandai kata, akan tetapi kelak hal itu akan menjadi dilema ketika dia mendapati hal yang sangat mencengangkan yang terjadi disungai itu.

Kejadiannya bermula dari hujan besar yang membawa langka ke sungai dukwa, karena banyak pohon-pohon besar yang bisa menyair air hujan menjadi keping-keping. Langka dengan tekad bulat didada merasa ini adalah ide yang bagus untuk mengunjungi sungai dukwa. Akan tetapi keadaan berkata lain, keadaan adalah kenyataan yang tidak bisa dikedipkan dan berharap itu adalah hanya mimpi sekilas.

Tepat dimata langka, mereka sedang bercumbu dengan khamr, berpesta, beritual busuk tentang tiada arti. seolah-olah mereka dibuai kata-katanya sendiri. Mereka perbandingan jelas dari apa yang mereka tulis dengan kata-kata, kata-kata yang indah yang mereka tulis dengan berjuta makna adalah mungkin sebuah kebohongan belaka. Langka tidak percaya dengan keadaan yang terjadi, dan bila memang benar ini sebuah kenyataan, maka langka tidak ingin menjadi orang yang salah yang memuja mereka sebagai pandai kata. Langka tidak mau hidup dalam kemuakan yang tak terlihat.

Aku sedang tidak berbohong tuhan, aku berkata dari mata hati ku, aku tidak ingin sesuatu yang bathil menghinggapi setiap langkah yang kau beri, seperti saat ini, kau anugerahkan aku dengan teman misterius, tapi aku tidak ingin dia adalah seperti mereka yang ada di dukwa sana.

Langka tahu betul apa yang menjadi batasan untuk hal tersebut, perbuatan mereka telah menodai kepercayaannya, meskipun langka tahu bahwa mungkin ini tidak penting bagi para pandai kata untuk kehilangan langka, mereka pasti berpikiran “ah masih banyak orang lain yang memujaku dan memujiku”.

Langka tak mau terjerumus dalam lembab setan yang durhaka, langka selalu memantapkan hatinya dengan berdoa siang dan malam. Hal yang selalu dia ingat adalah risalah dari kitab agama yang mengatakan antara lain “Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasannya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya? Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal shaleh dan banyak meryebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezhaliman. Dan orang-orang yang zhalim itu keluar akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali” (QS. Asy Syu’ara’: 224-227). Dan hal ini pulalah yang dijadikan tiang yang kokoh yang selalu diingat langka, begitupun ketika dia muak dengan prilaku para pandai kata dukwa.

Malam sepi dibelahan bumi yang tak tersentuh, langkalah penghuni gurun najmi, sebagian bukit telah menjadi rumah bagi dia, langka berdoa sebelum memejamkan mata dan berharap besok akan lebih baik dari hari-hari yang dilewati sebelumnya. Semakin terang jalan tuhan menerangi, semakin jelaslah apa yang harus langka ikuti dan jalani. Masih banyak misteri yang akan aku lalui sebelum sampai ke perkampungan ansiin.