Sastra Dalam Bingkai Marxis

Kurang lebih saya sedikit telah memaparkan mengenai bagaimanakah sastra dipandang bagi kalangan yang bermadzhab Marxis, atau marx itu sendiri. Khususnya pendapat Lenin – dalam Party Organization and Party Literature - yang telah dijelaskan dipostingan terdahulu. Apa yang digagas Lenin tidak akan terlahir kalau tidak ada akibat pengembangan dari keberpijakan awalnya itu bermula, yakni yang diusung langsung oleh Marx. Namun marx juga tidaklah sendiri mengenai bagaimana ia memandang sastra itu seharusnya. Bersama doi terdekatnya yakni Engel, Marx bahu membahu mengemukakan pendapatnya tentang sastra.

Meskipun begitu upaya yang telah dikembangkan Lenin pada waktu itu tidak sejauh apa yang telah dikemukakan oleh Marx dan Engel. Pada dasarnya sastra apabila dilihat dari kalangan marxis diupayakan untuk lebih memihak kepada kaum pejuang, buruh yang teralienasi kaum borjuis. Sejalan dengan pemikiran yang digagas oleh Marx dan Engel – terlebih dalam karya Manifesto communis – yang berkaitan dengan keadaan sosial, filsafat dan sastra sebagai landasan terbentuknya keadaan.

Sejauh yang saya kenal dari beberapa pemikiran yang bermadzhab Marxisme maka saya sedikit memahami bahwasanya kebanyakan dari mereka berusaha untuk membuka tabir yang tengah terjadi didalam kehidupan sosial didalam ruang dan waktu. Kapitalisme sejak dahulu sampai sekarang menjadi basis utama bagaimana kemunculan-kemunculan pemikir bermadzhab marxis terus lahir. Bisa kita lihat pada pemikiran Antonio Gramsci, George Lukacs, Herbert Marcuse, Althuserr, Theodor Adorno, Zizek sampai kepada para pemikir india dengan subalternnya.

Sebenarnya sederhana saja bagi kalangan marxis untuk berbicara bagaimanakah seharusnya sastra itu? Sastra itu adalah bagian dari perjuangan. Sastra seharusnya menjadi mediasi penting yang bisa dipakai oleh kaum buruh untuk melawan hegemoni kaum borjuis. Sastra itu seharusnya menjadi alat perlawanan yang bisa membangkitkan suatu revolusi. Sastra itu adalah berguna untuk kehidupan manusia.

Mengingat bahwa pertentangan kelas dalam kehidupan sosial itu terasa abadi maka hal itu pula adalah basis utama apa yang ingin di habisi oleh Marxisme sepanjang masa. Maka suatu karya sastra setidaknya menampilkan suatu keadaan diantara kedua tersebut. Dan benarlah pendapat (Robbins, 1999; Hall, 2001a) yang menyatakan bahwa pada marxisme, konfliknya harus konflik kelas, atau yang dapat dikategorikan sebagai kelas sosial, yang berembrio pada konflik abadi golongan proletar vs. borjuis.

Pertentangan macam tersebut hanya menyambut suatu rasa kekecewaan yang terus mendalam. Sastra yang hakikatnya lahir dari sebab reksa manusia seharusnya mampu menjadi suatu media sindir yang ampuh. Yang barangkali bisa juga membuat suatu tonggak penting perlawanan akibat alienasi kaum kapitalis. Oleh karena itu peran sastrawan itu seharusnya lebih memihak kepada para mereka pejuang yang memperjuangkan hak-haknya. Betul dong bro kalau Wiji Thukul dahulu pernah bilang Bangkit dan ayo lawan!!! Namun pada akhirnya ia diberangus juga, puisinya maksudnya.

Maka seorang sastrawan setidaknya harus tahu betul bagaimana kondisi yang terjadi didalam kehidupan sosial yang tengah terjadi didalam kehidupan masyarakat. Dan syukur-syukur bisa membawa sebuah revolusi sosial yang benar-benar de facto terjadi. Jangan hanya suatu kenikmatan pribadinya saja suatu karya itu diadigungkan. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan 'realitas' tetapi lebih dari itu memberikan kepada kita "sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik" yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena idividual secara tertutup melainkan lebih merupakan sebuah 'proses yang hidup'. Sastra tidak mencerminkan realitas sebagai semacam fotografi, melainkan lebih sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Dengan demikian, sastra dapat mencerminkan realitas secara jujur dan objektif dan dapat juga mencerminkan kesan realitas subjektif (Selden, 1991:27)

Karena basis utama dari pertentangan yang selalu terjadi antara borjuis sama proletar adalah pertentangan akibat ketidak seimbangan keadaan politik dan ekonomi yang terjadi. Sangatlah untuk dianjurkan dalam suatu karya sastra itu tersirat dan tersurat “Art is like a mirror” (Abrams:1976:31) Karya sastra merupakan imitasi dari universe atau semesta, yang dalam pengertian kritik sastra Marxis sering disebut dengan istilah refleksi masyarakat (Abrams, 1981:178--179; Eagleton, 2002:61).

Tanggung Jawab Seorang Sastrawan Terhadap Sastra

Pernah suatu ketika kita sangat takjub dengan kutipan-kutipan dari sebuah karya sastra seseorang yang dahulu dan masih relevan untuk dirasa walau kehidupan sang pencipta jauh dari sekarang. Dan seharusnya begitulah peran seorang sastrawan. Ia harus mampu menjadi penerawang masa depan dan pengintip masa lalu.

Seorang sastrawan itu bertindak seakan tahu bagaimana lakon yang diceritakan dalam karyanya akan senantiasa serasi tampil abadi meskipun dirinya telah lalu menjadi masa lalu. Kepekaan melihat masa depan ini dimiliki oleh sastrawan karena kemampuannya menyingkap tirai kebenaran yang tersamar oleh bermacam-macam keinginan hidup manusia. Hanya penyampaiannya sedikit berahasia. (Masa Depan Sastra:UlummulQuran)

Sangatlah dianjurkan dalam perspektif marxis menempatkan seorang sastrawan itu sebagai seseorang yang mempunyai tanggung jawab penuh terhadap karyanya. Apa yang seharusnya dijadikan sebuah acuan karyanya adalah situasi kondisi yang benar-benar terjadi pada masyarakat. Tak satupun harus mereka biarkan membisu – dalam karyanya – meskipun yang terjadi adalah tendensi penguasa dan pertentangannya dengan kaum tertindas. Bila ada keanehan, maka lawan! Senada dengan ini pemikir Marxism, George Lukacs menganjurkan poin penting terhadap karya sastra.

·         Tugas kesenian – didalamnya sastra – adalah menampilkan kenyataan sebagai totalitas.
·         Karya sastra menyajikan yang khas dan yang universal
·     Karya sastra memiliki kekuatan membongkar kesadaran palsu dalam pola pikir sehari-hari   masyarakat (Kpop bisa tuh dianlisis pake ini) hauahahahah
·       Seseoran sastrawan mempunyai tanggung jawab dan karenanya harus terlibat dalam masalah yang sedang dihadapi masyarakatnya; seorang sastrawan, kata lukacs, hendaknya adalah seorang realis, dan seorang realis hendaknya adalah sosialis, dan sebagai seorang sosialis, sastrawan harus tahu dan terlibat dalam masalahmasalah sosial masyarakatnya.
·    Dalam setiap karya sastra, kepedulian sosial menjadi ukuran standar keindahan dan satu-satunya ukuran kebenaran  (Syaifullah)

Dengan konteks yang ditawarkan seperti itu maka manifesatasi basis kekuatan cita-cita Marx dan Engel – dengan ingin menumbangkan pertentangan kelas - akan tetap selalu berada dijalannya. Karena perjuangan – akibat konflik sosial – akan selalu menjadi sebuah pijakan seseorang untuk bertindak. Tak mengapa bila perjuangan ini lebih kepada hanya sebuah wacana yang dibukukan atau menurut para mahasiswa yang suka demo itu “Onani orasi” namun kita juga perlu menyadari bahwa tak sedikit /revolusi perjuangan kaum proletar bermula dari proses simbolik. Dan menurut Zizek itu semisal orang besar dibalik layar Bro!

Sastrawan adalah seorang revolusioner yang tahu betul bagaimana sejarah kehidupan manusia selalu dibumbui oleh tabrakan-tabrakan  dan perpecahan internal. (Trosky). Ia akan menyajikan sebuah tema  dan revolusi dari kaum proletar untuk memenuhi kehidupannya yang baru. Inilah penjelasan yang sederhana sekali dari sastra bagian dari Superstruktur. Bisa dibilang basis infrastruktur nya adalah setelah rakyat – dalam situasi ekonomi politik - tahu betul mereka sedang teralienasi kaum borjuis maka timbulah suatu revolusi.

Semisal Contoh Dalam Karya

Bisa kita lihat kepada suatu karya monumental asal Inggris yang mungkin dahulu kala – ketika kita masih kecil – pernah mengenal sesosok pemuda yang memakai pakaian serba hijau, topi dengan bulu yang berada diatasnya dan tak lupa membawa panah. Ia Dia adalah Robin Hood, the unforgettable legend of Englad, Britain!

Kisah didalam Robin Hood bisa diidentifikasi dengan menggunakan teori Marxist oleh karena apa yang disematkan Karl Marx sedikit mempunyai kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh Robin Hood. From each according to his ability, to each according to his need or needs (Karl Marx). Ia – Robin Hood – juga mencuri harta/barang-barang yang selalu dibawa oleh pemerintah ketika begerombol dihutan-hutan dan memberikan hasilnya tersebut kepada orang yang membutuhkannya.

Lalu apa yang membuat semua itu terjadi? Kita bertanya-tanya “Pasti terdapat beberapa alasan penting kenapa Robin Hood berbuat demikian?” Adakah suatu implikasi/dampak sosial dari adanya karya tersebut? Adalah tugas dari seorang kita menerawang jauh ke masa lalu, kembali kepada sejarah yang telah lewat. Mencoba meretas kembali beberapa untaian perjalanan hidup manusia didalam ruang dan waktu. Mungkin nanti ( Lagu Peterpan hehe) kita akan menemukan suatu rantai penting yang bisa dihubungkan dengan pertanyaan yang kita kita cari diatas.

Yang paling banter dan paling semua orang tahu dari cerita Robin Hood ini adalah kondisi Ekonomi dan politik pada waktu itu yang tidak lebih memihak kepada rakyat jelata – sebagai rakyatnya – dibandingkan kepada kaum yang berada. Pertentangan – antara kelas sosial - yang demikian tersebut adalah suatu hal klasik namun abadi dalam sebuah kehidupan kehendak bersatu. Oleh karena itu ketika berbicara mengenai Marxist, sesuatu yang tak boleh dielakan adalah pertentangan kelas sosial!! Karena inilah yang selalu menjadi persoalan penting dari pandangan orang-orang yang mempunyai dasar pemikiran Marxist.

Sedangkan untuk penggunaan teori yang bisa diaplikasikan kepada analisis seperti ini adalah banyak meskipun satu sama lain mempunyai tingkat perbedaannya tersendiri. Tapi perbedaannya tersebut tak terlalu jauh-jauh amat melainkan sedikit sahaja. Ada Lenin, Trotsky, Marcuse, Lukacs, Althusser, Gramsci, Benjamin, Adorno, dan lainnya yang tidak disebutkan disini.

Akhir Kata Yang Sudah Tak Merekat

Pada dasarnya apa yang diyakini dan ingin dihilangkan Marx itu adalah suatu kondisi yang selalu ada didalam sejarah kehidupan manusia. (Saya jadi ingat juga ketika pertama kali Baginda Nabi Muhammad SAW – salamku atasmu – menyeru bahwa semua manusia dalam kehidupan itu sama). Mungkin karena sifat manusia yang serakahlah yang membuat suatu representasi dari pertentangan kelas itu.

Pertentangan kelas sosial yang meskipun sudah dikampanyekan jauh hari itu dirasa masih bisa kita temukan dalam kehidupan sekarang ini. Kalau sudah hilang mungkin tak adalah rakyat yang miskin menjadi semakin miskin sementara yang kaya semakin jaya, apalagi sekarang lagi maraknya para koruptor yang terjerat. Mungkinkah kita membutuhkan suatu pahlawan seperti Robin Hood?

Situasi yang seperti ini adalah salah satu – dari banyak - indikator penting yang bisa menjadi inspirasi bagi sastrawan yang realis dan juga sosialis untuk membuat suatu karya yang memuat gubahan penting untuk suatu perubahan. Bila ada kejanggalan, kita tak boleh diam, bila berkenan, ayo maju, dan juga lawan!! (Lawan bareng-bareng) :D