Renungan Tentang Ruh - Ibnu Sina

Ia (Ruh) turun kepadamu (hai tubuh manusia) dari tempat yang tinggi. (Bagaikan) merpati (jinak, tetapi) enggan dan menghindar. Terselubung terhadap pelupuk setiap pemandang. Padahal ia yang membuka wajah dan tanpa cadar. Ia tiba kepadamu dengan terpaksa, dan boleh jadi enggan berpisah kendati ia penuh keluhan. Enggan dan tidak senang (menyatu denganmu) tetapi begitu menyatu. Akhirnya terbiasa, bersanding dengan kebobrokan yang kumuh. Kuduga ia lupa janji-janjinya ketika ia berada di alamnya yang tinggi

Ia menangis bila mengingat janji-janji di alamnya yang luhur. Mencucurkan air mata, deras, tiada hent. iIa pun terus berkicau menangisi puing-puing. Yang telah runtuh oleh kisaran angin dari empat penjuruItu karena ia terhalangi oleh jeratan yang kuat dan dibendung. Oleh sangkar, sehingga tak lepas ke angkasa luas.

Hingga jika telah mendekat jalan menuju asalnya...Mendekat pula saat ia berpisah ke angkasa yang luas Lalu berangkat berpisah dengan semua yang ditinggal...Ditinggal remeh bersama tanah... dan tanpa
berpamit...Ketika itu... mendadak dibuka tabir, dan terlihatlah. ..Apa yang tak terjangkau mata yang disentuh kantuk Ia pun berkicau di atas puncak yang amat tinggi Begitulah ilmu, meninggikan semua yang belum tinggi(Mungkin ada yang bertanya, jika memang ruh gembira dengan kepulangannya)

Nah, mengapa ia diturunkan dari tempat yang tinggi. Menuju kedalaman yang sangat rendah dan hina?Ia diturunkan Tuhan, untuk suatu hikmah. Yang tidak terjangkau oleh cendekia yang sangat bijak! Tak pelak lagi, turunnya adalah keniscayaan. Agar menjangkau apa yang belum dijangkaunya. Guna meraih semua rahasia, rahasia kedua alam. Sobekan bajunya tak perlu dijahit. Masa menghadang perjalanannya, kendati demikian, Ia terbenam, tidak serupa ketika terbitnya. Ia seakan kilat, cemerlang di bentengnya yang tinggi. Lalu redup, menghilang bagai tak pernah berkilau.

Diatas adalah
sebuah syair syahdu yang pernah diurai oleh sang pujangga Muslim. Ia adalah seorang yang dikenal seantero dunia dan bahkan ia dijadikan sebuah panutan bagi dunia. Meski tidak banyak ia menulis syair akan tetapi bila syair yang dicipta berisi makna lautan samudera, sudah lengkaplah ia menggapai dunia.

Ialah Ibnu Sina yang menulis syair diatas. Dia lebih dikenal dunia sebagai seorang bapak dokter oleh karena kepandaiannya dalam menggabungkan sisi kemanusiaan dan sisi keruhanian. Selain seorang dokter ia juga dikenal sebagai seorang pujangga.

Barangkali kita tahu bahwa pada zaman kegemilangan Islam mencapai puncaknya maka tersematlah pula hingar bingar cendekia muslim menabuh genderang dunia. Kita pun mengenal seorang Ibnu Farabi, Fakrurodin Ar-Razi, Ibnu Thufail dan Lain-lain yang dikenal sebagai seorang hamba yang multifungsi.

Tiada sempatlah bilamana saya tuliskan panjang lebar mengenai mereka. Tanpa rasa hormat dan menaruh janji tinggi, Insya Allah suatu hari nanti saya akan menyinggungnya. Pada saat ini yang akan dibicarakan ialah hanya terpatri pada seorang Ilmuwan, pujangga, filosofi muslim yaitu Ibnu Sina dengan satu buah syairnya yang luar biasa.

Filosof dan Penyair 

Syahdan, bila kita berbicara sebuah sastra maka kita berbicara tentang rasa, pikir, reksa dan bagaimana seorang manusia melihat dunianya. Membaca setiap perkaranya sebelum masuk ia direnung hati dan direksa ditulis kata. Terdapat suatu perenungan yang berharga bila seorang hamba menghendaki sesuatu itu untuk kembali disampaikan.

Bila tak sampai pada sebuah roman yakni perenungan atas kesadaran jiwa seorang hamba, ditakutkan malah yang tertulis dalam kata hanya akan berlabuh pada ilusi semata. Diktum terkenal Descartes barangkali bisa menjadi sebuah jembatan atau sebuah proses yang elok untuk seorang hamba. Karena seharusnya yang ditulis oleh pujangga adalah mengenai keabadian sebuah kata yang ditemukan kembali oleh pembaca.

Bila sudah akal bertemu kata maka syair diatas adalah salah satu dari bagaimana jikalah satu buah karya sastra jatuh pada seorang filosof - meminjam kalimat yang pernah ditulis Mohammad Natsir atas karya Ibnu Thufail. Pada syair diatas kita mendapati bagaimana seorang Ibnu Sina menggambarkan seluruh yang dia reksanya pada sebuah syair.

Sastra Islam

Sejauh yang saya tahu bahwa sastra Islam itu adalah sastra yang didalamnya erat kandungannya atas hubungan penulis dan bagaimana ia menjalankan sebuah kehidupan beragamanya. Bila hal tersebut tertuang pada sastra pada umumnya atau puisi/syair pada khususnya maka bisa terlihat bahwa yang bisa kita baca adalah sebuah reksa ibadah hamba terhadap Tuhannya.

Bagaimana seorang pujangga bisa menjadi seorang pengingat bagi hamba yang lainnya dan bagaimana seorang pujangga menjadi pengisi tinta djiwa yang abadi bagi setiap pembacanya. Salah satu dari sekian banyak karya sastra yang menaruh perhatian pada hubungan manusia dan tuhannya adalah syair Ibnu Sina.

Dalam syair diatas nampak dengan jelas bahwasanya Ibnu Sina menuliskan tentang kondisi dua alam yang berbeda dalam kehidupan. Namun meskipun berbeda, secara hakikat, yang dua alam berbeda tersebut nampak berjalan berkelindan, berirama serasa pelangi dan satu sama lain saling mempengaruhi.

Kedua nya menginginkan tujuan yang berbeda. Yang pertama ia merindu akan kehadirat ilahi dan yang kedua ia cenderung merindu kehadiran duniawi. Ketika terhempas padanya satu Dzat yang menghidupkan maka sangkarlah yang ia dapati, untuk keluar darinya haruslah terlebih dahulu merintangi seluk beluk kehidupan.

Namun begitulah ketentuanNya. Bilamana sudah jadi Tuhan berfirman barangkali Keluhan ketakutan malaikat-pun bisa menjadi satu perenungan luar biasa. Bahwasanya meski ia diturunkan pada suatu kehinaan akan tetapi ia bisa melebihi suatu kelebihan yang tak biasa terjadi. Mengharumkan bumi dan meninggikan manusia adalah bagaimana seorang manusia bisa menjadikan akal, ilmu dan perasaan seolah bersatu untuk dapat mengenalNya dan ciptaannya.

Ibnu Sina Mereksa

Begitulah bila satu syair jatuh kepada sang filosof. Ia bagai misteri karena yang ada padanya adalah sebuah kesatuan dari jiwa yang merenung dan akal yang berfikir. Ia tak sebanyak yang diharap namun samudera luas padanya bisa didapat.

Syair kehidupan nyata sedang dihidangkan oleh Ibnu Sina. Ia lahir sebagai seorang pengingat bahwasanya Kehidupan di alam buana tak seabadi yang kau kira, ia tak seindah yang engkau pandang, ia tak sekemilau dari yang engkau duga. Prihal mata yang tak pernah enggan membuka romansa hubungan suci dengan pencipta, mencipta suasana dangkal yang hadir pada kedua bola mata yang tak pernah sampai melihatnya. (Muhammad Zaki Al-Aziz)

Syairnya penuh makna baik secara bagaimana ia menggambarkan Jiwa/Ruh atau bagaimana ketika ia menggambarkan tentang jasad. Hal itu adalah sebuah keniscayaan bahwasanya ia sedang berbicara atas kapasitas dirinya. Sebagai seorang ahli kejiwaan, filosofi dan sebagai seorang dokter dunia.