Analisis Novel Rubuhnya Surau Kami (A.A Navis) Nilai Dibalik Sastra.

Sudah sepantasnya kita tahu bahwa sang maha agung telah mempercayai dunia kepada manusia yang dilawaskan untuk tinggal didunia. Itu menandakan bahwa ketika kita diturunkan kedunia bukan berarti kita harus melulu memikirkan urusan dunia dan mengenyampingkan urusan akhirat begitupun juga sebaliknya.

Keseimbangan yang serasi diantara cinta dunia dan akhirat akan meninggalkan suatu ukiran kenangan yang sangat berharga baik di dunia atau diakhirat. Artinya ketika kita mentasbihkan cinta kita kepada dunia, hal itu berarti bahwa kita harus meninggalkan pahala yang baik dan berguna untuk semua orang disekeliling kita, bukankah manusia diturunkan kebumi untuk menjadi seorang khalifah seperti yang termaktub dalam kitab suci Al-quran: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat : ”Sesungguhnya AKU hendak menjadikan kholifah di muka bumi” (2- Al Baqoroh : 30). Bukankah manusia dilahirkan kedunia seharusnya menjelma sebagai matahari bagi manusia yang kelam dan masih gelap bagi akhirat.

Namun cinta dunia jualah yang pada akhirnya kelak akan mati ditelan bersama bumi oleh karena itu kita perlu mengukir beribu cahaya dan pahala untuk manusia lain-nya. Hal tersebut mungkin harus dibarengi dengan rasa cinta kita terhadap akhirat yang dijanjikan tuhan berupa syurga tiada tara, dengan pahala dan cahaya yang kau ciptakan dunia itulah kelak manusia akan disinari di akhirat nanti. Pada akhirnya kita harus belajar dari filosofi air: Air tak mengalir begitu saja, dia bercabang mengendap ke tanah, lalu menghidupkan. Air yang mengalir begitu saja, takan membekas dia pernah singgah didunia.

Prakata diatas adalah sebuah pendahuluan yang akan menjadi titik temu analisis pada suatu karya sastra yang akan saya buat untuk mengguncang dunia. Kenapa mengguncang dunia? Karena karya sastra yang akan saya analisis juga ketika pertama kali dikenalkan menjadi sebuah sorotan yang dahsyat. Karya yang akan saya analisis adalah suatu karya cerpen dari seorang sastrawan termashyur Indonesia. A.A Navis, begitulah namanya dengan berjuta kebesarannya didalam dunia sastra. Karyanya adalah Rubuhnya Surau Kami.

Yang harus dicermati disini adalah bahwasanya ketika seorang mahasiswa mempunyai tugas mengemban kritik atau analisis sastra itu tidak terletak pada kekuatan kita untuk melemahkan bahkan yang lebih parah mengejek apa yang salah pada suatu karya tersebut.

Melainkan kritik terhadap suatu sastra itu haruslah bersifat membangun dan mengembangkan sastra tersebut. Pantas saja ketika Ajip Rosidi bilang bahwa dunia sastra sunda itu krisis kritik sastra! Artinya kurang lebih adalah karya-karya yang dihasilkan sastrawan sunda lebih banyak daripada kritik sastra sunda, jadi itu tidak menghidupkan dunia sastra sunda. Tandasnya!

Oleh karena itu nampaklah benar sekali bila saya menyandarkan ide sama bahwa tugas saya sebagai seorang mahasiswa yang bergerak diakademisi sebenarnya adalah menganalisis/mengkritik suatu karya untuk menghidupkan karya tersebut, sehingga karya sastra itu bisa diperhitungkan dan layak untuk dibaca diseantero dunia. Dan saya harap saya bisa membantu anda dalam mencari keutamaan dan kesenangan seperti dulu pernah dikatakan Horace, didalam karya Rubuhnya Surau Kami.

Latar Belakang

Ketika kita berbicara karya sastra, puisi dan apapun itu otak kita & mindset kita pasti akan langsung menuju pada indahnya khayalan, mimpi dan imajinasi yang sempurna seperti keberadaan mimpi dialam tidur manusia. Yah, seorang penyair/sastrawan yang lantang memproklamirkan karya-karyanya ke dunia, sebagian daripada mereka mempunyai suatu dunia yang begitu sempurna untuk ditunjukan kepada publik atau pada dunia seluruhnya. Hal-hal  tersebut bisa berupa mimpi-mimpi, keinginan, kegundahan, kegalauan, dan yang melingkup perasaan manusia terhadap dunia yang ia tinggali.

Sebelum mencapai suatu karya, sang sastrawan harus bisa merangkum suatu ungkapan yang masih berupa mimpi-mimpi puzzle sebelum dipersatukan menjadi suatu karya yang kokoh dan bermanfaat bagi dunia dan sekitarnya, seorang sastrawan haruslah luas mencerna keadaan sekitar, dan berbicara keadaan sekitar barangkali banyak cerita ataupun kisah yang seharusnya menjadi tugas seorang sastrawan memediasi mereka yang tak bisa seperti sastrawan.

Jika Horace (Depdiknas, 2005ca:79) menganggap sastra adalah dulce et utile, menyenangkan dan berguna karena dari pernyataannya tersirat makna bahwa sastra bisa berfungsi sebagai sarana “rekreatif” dan untuk pengajaran moral kepada manusia. Mungkin hal yang seperti diatas bisa kita temui didalam karya-karyanya A.A Navis.

Bukan tidak mungkin bila saya berujar bahwa sebahagian karya-karya A.A Navis itu mempunyai pesan moral, makna sosial yang tinggi dan pelajaran yang harus kita renungkan. Dan ada baiknya apabila saya terlebih dahulu mencantumkan biodata sang penyair besar Indonesia ini: Haji Ali Akbar Navis (lahir di Kampung Jawa, Padang, Sumatra Barat, 17 November 1924 – meninggal 22 Maret 2003 pada umur 78 tahun) adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya.

Karyanya yang terkenal adalah cerita pendek Robohnya Surau Kami. Navis 'Sang Pencemooh' adalah sosok yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi, agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para koruptor. Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu resikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu.

Ia seorang seniman yang perspektif pemikirannya jauh ke depan. Karyanya Robohnya Surau Kami, juga mencerminkan perspektif pemikiran ini. Yang roboh itu bukan dalam pengertian fisik, tapi tata nilai. Hal yang terjadi saat ini di negeri ini. Ia memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan jujur pada dirinya sendiri.

Sepanjang hidupnya, ia telah melahirkan sejumlah karya monumental dalam lingkup kebudayaan dan kesenian. Ia bahkan telah menjadi guru bagi banyak sastrawan. Ia seorang sastrawan intelektual yang telah banyak menyampaikan pemikiran-pemikiran di pentas nasional dan internasional. Ia menulis berbagai hal. Walaupun karya sastralah yang paling banyak digelutinya. Karyanya sudah ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan biografi. . (Sumber Wikipedia, disadur pada tanggal 01 november 2011).

Bila kalian cermati dan mengetahui bahwa potensi besar seorang sastrawan adalah kepekaan terhadap kehidupan sosial yang dialami oleh sastrawan tersebut. Seorang sastrawan Amerika jarang koq yang memilih cerita tentang perang dipenogoro, pun sebaliknya seorang sastrawan Indonesia tidak akan memilih untuk menulis tentang keadaan yang terjadi dibelahan bumi lain. Singkatnya seorang sastrawan itu menulis apa yang ia tahu, dan yang dia tahu itu adalah jelas pemaknaannya terhadap dirinya sendiri terhadap representasi yang ia lihat.

Menurut saya sebuah karya sastra yang baik itu adalah karya sastra yang lahir dari buah pemikiran psikologis sastrawan yang peka terhadap suatu keadaan lingkungan sekitar. Sastrawan itu harus mampu menafsir mimpi berkala dari kehidupan dunia nyata sekitar. Seorang sastrawan harus menggambarkan dan menggamblangkan keadaan asli dari rakyat, hingga kehidupan pada raja-raja yang menyalahi aturan, sebagiannya mungkin seorang sastrawan itu mampu menafsir alam yang dimaknai luas atas ciptaan sang maha agung.

A.A Navis sendiri juga mempunyai pandangan bahwa karya sastra itu harus awet dan berguna sepanjang masa, jangan seperti kereta api yang hanya lewat saja. Dan ide-ide yang dikatakan begitulah yang menurut saya yang mempengaruhi banyak terhadap karya-karya sastra yang dibuat oleh A.A Navis. Salah satunya adalah cerpen Rubuhnya Surau Kami.

Dibawah saya akan memaparkan analisis maupun kritik pada cerpen Rubuhnya Surau Kami yang dibuat oleh sastrawan besar Indonesia A.A Navis.

Pembahasan

Diceritakan ada seorang kakek yang tinggal di surau tua, yah memang dia bertugas menjaga surau itu dengan baik. Kakek tersebut sangatlah rajin beribadah, taat pada perintah allah, bersembahyang setiap waktunya. Selain itu dia senantiasa berbuat baik ketika ada orang yang membutuhkan bantuan, bahkan ketika diberi upah tidak jarang dia menolaknya dengan baik.

Sang kakek suatu hari didatangi oleh seorang pemuda yang bernama Adjo Sidi. Adjo sidi diceritakan sebagai seorang pembual yang ulung, yang kerjaannya hanya ingin mengejek orang tua termasuk kakek yang tinggal disurau tersebut.

Singkat cerita kake tersebut meninggal dunia, akibat ulah Adji sidi yang telah mendatanginya, mungkin untuk sedikit mengobrol. Namun siapa yang menyangka bahwa akhir dari obrolan tersebut akan memicu kematian sang kakek yang mati bunuh diri.

Sebab kematian sang kakek yah tidak lain adalah obrolan singkat yang dilakukan diantara Adjo Sidi tempo hari sebelum sang kakek menggorok lehernya sendiri dengan pisau cukur.

Analisis/Kritik

Bila saya sedikit berbicara maka saya akan mempunyai pandangan bahwa apa yang terjadi pada kakek dan Adjo sidi ini adalah salah dan ada benarnya juga. Karena apa yang diceritakan Adjo Sidi ini adalah benar-benar masuk akal dan memang benar.

Seorang manusia itu tidak terlahir hanya untuk beribadah dengan cara berdiam diri serta tidak mengamalkan kepada orang-orang sekitar. Justru ketika manusia turun lawas ke dunia dia mengemban tugas yang tidak mudah dan bahkan akan membutuhkan perjuangan yang hebat.  Lihatlah para nabi kita yang perjuangan-perjuangannya dalam membela dan menyebarkan Islam bertindak tidak semudah menikmati dunia dengan cara hanya berdoa tanpa mengamalkan.

Disinilah menurut saya fungsi seorang sastrawan masuk dan mempengaruhi pembaca bahwasanya ada sesuatu metafora indah dibalik sebuah cerita pendek Rubuhnya Surau Kami yang harus diureuk dan dicerna dengan cermat. Bahwa terdapat pesan moral berserta nilai-nilai yang saling berkaitan satu sama lain yang harus kita tahu didalam cerpen Rubuhnya Surau Kami diantaranya adalah:
  • Nilai sosial: Terletak pada saling membantu sesama manusia sebagai makhluk sosial. Yang tercermin dalam diri si Kakek yang suka menolong tanpa pamrih.
  • Nilai Moral: Kita sebagai sesama manusia hendaknya jangan saling mengejek atau menghina orang lain tetapi harus saling menghormati. Adapun pesan moral yang sangatlah harus kita perhitungkan adalah janganlah kita hidup didunia yang pendek untuk diri sendiri, memikirkan kepentingannya sendiri tiada peduli pada orang sekitar yang mungkin masih membutuhkan pertolongan dalam hal ibadah dan ketaatan.
  • Apabila kita ingin menyampaikan kebenaran maka sampaikanlah hal tersebut dengan jalan yang baik, sehingga orang yang menerimanya akan terbuka dan lapang dada untuk menerimannya.
  • Nilai Agama: Kita harus selalu melakukan kehendak Allah, jangan melakukan hal yang dilarang oleh-Nya seperti bunuh diri, mencemooh dan berbohong. Nilai agama menjadi nilai yang harus diprioritaskan karena A.A Navis sebagai seorang yang perduli terhadap bangsa/masyarakat pastinya tahu keadaan sekitar pada zamannya. Apa yang terjadi pada Kakek mungkin pernah dialami oleh A.A navis dalam kehidupannya. Pentingnya kita untuk beribadah dan mengamalkan pada orang-orang, jangan hanya untuk diri sendiri.
  • Nilai Pendidikan: Kita tidak boleh putus asa dalam menghadapi kesulitan tetapi harus selalu berusaha dengan sekuat tenaga. Apa yang terjadi pada seorang Kakek yang mengakhiri hidupnya dengan menggorok lehernya tidaklah pantas untuk diikuti. Jangan mudah untuk putus asa, dan legowo terhadap perkataan siapapun itu.
Jadi apa yang dipesankan oleh Horace yang mengatakan bahwa karya sastra itu harus bisa mengajarkan moral kepada pembacanya bisa kita temukan didalam maha karya A.A Navis ini. Diolah dengan baik dengan menggunakan gaya bahasa sederhana namun lantang menuju isi sebenarnya membuat cerpennya A.A Navis ini layak dihargai sastra terbaik yang berkala.