OVJ (Dalam Kajian Budaya)


Siapa yang tidak kenal dengan acara Overa Van Java (OVJ) sekarang ini?. Boleh dikatakan mereka yang tidak mengenal atau barangkali tidak menahu OVJ pasti jarang menonton TV sambil melepas penat, relax untuk gelak tawa yang khusus diberikan oleh para pemain OVJ. OVJ dengan segala pembaharuan komedi yang mutakhir telah membius para penonton di Indonesia dan telah menselaraskan selera orang-orang Indonesia. Sehingga tak lama dari kemunculan OVJ maka acara yang sedikit mirip dengan OVJ hadir dibeberapa stasiun TV di Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa Industri perfilman kita sedang meningkat dan publik merasa senang dengan kehadiran acara-acara tersebut.

Barangkali kita masih mengingat ketika menjamurnya acara mencari bakat penyanyi Indonesia pada dua tahun dari sekarang, setidaknya menjadi sedikit referensi bahwa hal tersebut tidak menjauhkan bahwa yang serupa akan terjadi lagi. Indonesian Idol, Academi Indonesia, Mencari baka Dangdut, dan acara-acara lain-nya yang serupa dihadirkan kehadapan publik dengan kemasan yang berbeda namun isinya sama yaitu untuk mengisi kekosongan acara.

Sontak acara-acara tersebut mampu membius orang-orang Indonesia pada waktu itu, selain acara tersebut memang benar-benar acara baru ada juga hal yang membuat acara tersebut lebih menarik perhatian, yaitu para penonton disuguhkan untuk memilih para penyanyi yang mereka idolakan, siapapun itu yang menjadi pemenang adalah orang yang paling banyak mendapatkan SMS dari penonton di Indonesia.

Sebenarnya tidak ada kolerasi yang sama antara objek dari penawaran Acara Idol dengan OVJ. Namun terdapat kesinambungan hal yang tidak terbesit dan tidak nampak yang harus kita cari tahu keberadaannya dengan menggunakan metafora-metafora tanda. Dengan begitu maka sesuatu yang tidak tampak dari kejauhan akan nampak dekat ketika kita menjadi sesuatu yang anti.

Sekilas apa yang dihadirkan dalam TV atau media komunikasi lain-nya telah menjadi sesuatu wadah yang empuk bagi para elit industri. Ditengah keberadaan nikmatnya para penonton dengan objek yang ditandai ternyata ada ruang lingkup gelap yang harus diterangi oleh cahaya terang. Yang kalau dijabarkan dan diungkap akan menjadi sesuatu yang panjang meruntuy tiada tapal batas. Setidaknya ada segelintir kajian yang mengkhususkan analisisnya untuk membuka kedok gelap dalam acara-acara diatas, salah satunya adalah dengan kajian budaya populer/Industri.

Kerinduan sejarah peralihan

Sengaja saya menyandingkan term yang bersilang saling diatas untuk menghadirkan wacana yang saling ada, keterkaitan yang rumit yang harus diterangi. Kalau diamati dengan seksama mengenai OVJ, acara tersebut adalah produk industrialisasi budaya yang dikemas melalui media massa (TV). Kata budaya dalam kajian budaya menjadi titik tolak dari definisi budaya secara umum. Dalam Kajian budaya konsep budaya dapat dipahami seiring dengan perubahan prilaku dan struktur masyarakat di eropa pada abad ke 19, yang sekarang ini hal demikian sedang terjadi di negara kita. Yaitu dengan kemajuan tekhnologi dan industri2 yang menjadi anak dari globalisasi. Untuk meruntuy sedikit permasalahan saya akan mencoba memaparkan pemahaman modernisme > postmodernisme > dekonstruksi sehingga akan nampak suatu hubungan intim untuk membaca OVJ dalam kajian budaya.

Dokumen penting dalam lahirnya kajian budaya menurut saya terletak pada apa yang namanya peralihan dari modernisme ke postmodernisme. Dalam keadaan modern manusia benar-benar ingin menguasai dunia dan dirinya sendiri karena ada kekuatan dari dalam dirinya sendiri tanpa campur tangan mitos-mitos ilahi.

Modernisme. Heidegger menjelaskan dalam karyanya tentang Neitsche dikutip oleh Levin dalam buku The Opening of Vision Nihilism and the postmodernis situation bahwa apa yang disebut dengan perioda modern dapat dijelaskan berdasarkan kenyataan bahwa manusia menjadi pusat dan ukuran semua ada. Manusia mempunyai kekuatan yang bisa memilah untuk dirinya sendiri, maka tidak salah bahwa salah seorang pemikir cemerlang Descartes berujar aku berpikir maka aku ada.

Hegel lebih tegas mengatakan bahwa periode modern sekarang ini sebagai satu periode dimana manusia sebagai subyek, menentukan sendiri landasan nilai dan kriteria dalam kehidupannya didunia, tidak ada yang bisa melegimitasi manusia kecuali manusia itu sendiri dan akal budi sebagai penopangnya. Lebih jauh bila dijelaskan apa yang dibenarkan oleh akal budi adalah dengan melalui ilmu pengetahuanlah manusia modern mendapatkan kebenaran ideal yang jauh dari hal-hal mistis.

Manusia modern mampu membuka simpuls gelap dan membuka keterbukaannya kepada kebadian yang indah di masa depan, maka tak ayal Habermas menjelaskan perihal Zeitgeist modern sebagai dicirikan oleh masa kini sebagai suatu transisi yang dikonsumsi berdasarkan kesadaran akan percepatan serta harapan akan perbedaan di masa depan.

Posatmodernisme. Keadaan postmodernisme mempunyai kisahnya sendiri bila diceritakan perbingkai, bila ada bingkai yang tidak diceritakan maka hal itu seperti kita berada di garut tanpa beli dodol. Ada cerita yang kurang untuk memenuhi puzzle2 yang kosong, yang bila pas disatukan akan menjadi sebuah cerita besar tanpa ada gurun. Apa yang ada didalam kondisi postmodernis adalah kegalauan para pemikir sendiri yang masih banyak berbeda dalam definisi postmodernisme. Tapi yang pastu adalah kehadiran postmodernis tak lain untuk mengisi ketidak berdayaan modern untuk bergerak ke depan, menurutnya keadaan modernitas telah kehilangan kekuatan kritiknya.

Sementara itu didalam totalitas kehidupan sehari-hari tidak bisa dihindarkan bahwa sisa-sisa, puing-puing dari keadaan modern masih ada utuh sejalan dengan perihal postmodernisme. Hal tersebut tida bisa dipungkiri bahwa ketika para ilmuwan membombardir keadaan modern mereka itu ada dalam warisan modern. Wariasn yang cemerlang adalah tekhnologi dan industrialisasi yang semakin hari semakin menjadi tempat ideologi para pencari jalan.

Kebudayaan Massa/Industri

Ketika para penonton bersorak ria, berdendang tangan dan tertawa melihat para pemeran OVJ, apa yang terdapat disana adalah sebuah pergerakan yang sama yang dikehendaki oleh orang yang berkehendak (elit penguasa industr). Para penonton di atomisasi menjadi satu, menjadi massa yang berangkat untuk menjadi orang yang sama dan selaras dengan apa yang dikehendaki oleh para penguasa industri.

Permasalahan diatas terlahir karena peralihan dari modernisme kepada keadaan postmodernisme, tandasnya Yasraf. Terbukti lah apa yang ditegaskan oleh Yasraf oleh pemikir kenamaan German, dia adalah salah satu anggaota dari madzhab yang dengungnya masih menggema sampai sekarang. Yah siapa lagi kalau bukan Theodor Adorno, sang pemikir dan pengkritis kebudayaan postmodernisme.

Adorno adalah sosok penting dalam madzhab Frankurt, setidaknya dia menyumbang pemikiran yang cemerlang dan gemilang terhadap kritik kebudayaan. Kritik yang frontal dilontarkan oleh Adorno terletak pada kekeliruan pencerahan pada kondisi industri yang ditenggarai Adorno sebagai sarang kaum kapitalis yang membumbui terhadap semangat pencerahan. Campur tangan para kaum kapitalis tersebut karena adanya tujuan yang paling utama, yang paling sentral adalah keuntungan dari pemanfaatan kebudayaan yang lahir di zaman postmodernis.

Adorno yang selalu berseru untuk menjaga kemurnian kebudayaan modern tinggi dan yang tak jarang mengkritik secara tidak langsung terhadap postmodernis mempunyai gagasan bahwa apa yang menjadi pembicaraan bahwa aufklarung, pelepasan kondisi manusia terhadap ilusi, mitos dan halusinasi yang mengekang manusia untuk berkehendak telah hadir dan akan selalu menyertai ternyata tidak lebih malah menjerumuskan pada hal yang mungkin lebih kejam daripada itu, terlebih kata Yasraf hal itu menjadi penjara baru bagi semangat pencerahan. Akan tetapi bumi yang sepenuhnya dicerahkan memancarkan kekuasaan yang menimbulkan bencana. Program pencerahan menjadi program kekecewaan, penghancuran mitos-mitos dan penukaran pengetahuan dengan imajinasi ringan (Adorno & Horkheimer)

Namun tidaklah semua inti yang dikritik Adorno dalam kondisi pencerahan, melainkan apa yang dia yakini sebagai adanya kesalahan/penyimpangan pencerahan oleh sekelompok kaum borjuis dalam diskursus kapitalisme yaitu pencerahan melalui komoditi dan komodifikasi seluruh aspek kehidupan, termasuk kebudayaan dan seni. (Yasraf)

Dengan demikian benarlah dalam kemenangan manusia yang mengagungkan manusia terdapat suatu istilah metaphysic of will (kehendak akan kekuasaan) dan kehendak untuk mendominasi (Levin). Dalam diskursus kebudayaan dan seni kehendak ini muncul didalam kehendak kaum borjuis kapitalis yang ingin menguasai pasar, seringkali kebudayaan dijadikan wadah/komoditi untuk mencapai keuntungan yang mereka tuju. Menurut Adorno yang demikian itu adalah sama dengan halnya fasisme yang segalanya diatur oleh komando. Artinya segala tindak tanduk yang dilakukan oleh yang menjadi objek merupakan tafsiran apa yang elit kapitalis inginkan.

Didalam diskursus kapitalisme yang dinamakan dengan produksi dan reproduksi dijadikan komoditi yang dipasarkan untuk mencari keuntungan, nilai lebih. Apa yang ditawarkan oleh kebudayaan industri terbatas pada apa yang diidamkan oleh kaum borjuis kapitalisme, yah itu yang kita kenal dengan nilah lebih. Tak ada nilai guna yang ditawarkan kebudayaan industri.

OVJ Dalam Bendungan Kebudayaan Massa.

Yang perlu diruntuykan sepertinya sudah nampak dalam pembahasan diatas, tapi yang perlu diurai akan lebih banyak lagi pembahasan. Sepertinya saya kewalahan untuk menjelaskannya dengan seksama, karena selain sekarang malam semakin pekat ternyata mempengaruhi kerja otak yang massif dibawa kantuk. Setidaknya masih ada dalam diri rasa ingin berbagi tentang OVJ sebagai produk yang diciptakan oleh industri budaya.

Merujuk pada perkataan Adorno yang mengatakan bahwa dalam diskursus kapitalis terdapat suatu istilah yang namanya komodifikasi yang merambat kepada kebudayaan dan seni. Komodifikasi secara singkat adalah adanya konsumer yang menjadi keuntungan bagi borjuis kapitalis.

Para penontonlah yang menjadi tujuan penting adanya OVJ, karena merekalah para elit menciptakan OVJ yang menurutnya sebagai sebuah kebutuhan yang dikangeni oleh konsumer. Menurut Adorno semacam itu hanyalah realitas palsu. Seorang teman pernah menggambarkan analisisnya terhadap Indonesian Idol, bahwa apa yang distandarisasi yang menjadi penyanyi itu tergantung penonton. Secara tidak langsung mereka para elit mematikan kekuatan penyanyi yang handal namu kalah dalam poling sms.

Disisi lain apa yang menjadi sebuah tontonan panggung adalah apa yang dikehendaki oleh komando, untuk menyegarkan suasana para ahli menyiapkan screen yang lebih menarik dari acara lain-nya. Dihadirkanlah akting spontan yang selalu diperankan oleh para pemain OVJ, Lalu kenapa para produser tidak menegur mereka?. Sontak produser menyadari bahwa dengan seperti itulah nilah lebih akan selalu terjaga dan dengan demikian pengamanan nilai tukar semakin terlihat terang dengan pembaharuan akting para pemain OVJ. Konsumen adalah raja karena konsumen yang dimaknai mereka adalah yang menikmati pertunjukan OVJ dengan khidmat, pra penonton di atomisasi oleh suatu pertunjukan acara, konsumer hanya menjadi citra cermin, karena konsumer tidak pernah merancang acara TV OVJ tersebut. (Lacan, baca:Citra cermin )

Sebetulnya banyak puzzle yang tiada sempat saya ungkapkan disini, tidaklah saya tak mampu untuk menggambarkannya akan tetapi akan lahir banyak hal dari berbagi disiplin yang bisa saya jabarkan. Semisal karena kegirangan para penikmat budaya massa/populer/industri, maka orang-orang tersebut sedikit demi sedikit meninggalkan kebudayaan yang tinggi yang ditenggarai seperti kelokalan. Karena munculnya kebudayaan massa yang selalu menjadi hal yang baru, pembaharuan sebagai lawan kebudayaan tinggi.

Lebih jauh Adorno mengatakan bahwa secara sederhana dapat dikatakan bahwa budaya massa adalah budaya populer yang dihasilkan melalui tekhnikl industrial produksi massa dan dipasrkan untuk mendapatkan keuntungan kepada khalayak konsumen massa. Belum lepas dari ingatan kita ketika acara OVJ yang diadakan di bali dan yang terakhir di jogja maka berbondong-bondonglah massa yang banyak untuk menonton acara tersebut, karena kekuatan medialah pemaknaan subjek bisa dijalankan.