Ilustrasi |
Ishadat sekarang sudah dewasa, ia sekarang mempunyai beban yang berat sebagai seorang pemimpin baru diwilayah kekuasaan ayahandanya. Wilayahnya terletak didekat perbatasan Heca dan Ihude. Ishadat, ditempat singgahnya sering murung merenung berdoa kepada Allah agar senantiasa diberikan kemudahan dan kelancaran dalam menjalankan tugas yang dititipkan ayahandanya. Didalam ketermenungannya itu ishadat lantas tidak selalu berdiam diri dibalik gedung yang megah dan tidak serta mau untuk berdiam diri memandang kehidupan luar dibalik jendela.
Wilayah kekuasaan Ishadat adalah wilayah yang seringkali ditimpa prahara yakni Heca, selain tempatnya yang berhadapan langsung dengan 2 sungai yang menjadi pembatas alami. Hal itu menjadikannya sebagai tempat yang strategis yang sering dilalui/digunakan oleh para pedagang bahkan musuh sekalipun.
Ishadat dengan beberapa sahabat dekatnya selalu berkumpul dan bercerita selepas menunaikan shalat di mesjid Baiti. Ia selalu terbuka terhadap warga-warganya, karena ia tahu bahwa komunikasi secara langsung adalah mendekatkan diri satu sama lain, ia percaya bahwa kerajaan ini adalah bentuk dari keluarga yang besar. Adalah aku sebagai pemimpin dalam keluarga ini, tandasnya!.
Pengalaman Ishadat sebagai pemimpin masih terbilang muda, akan tetapi banyak pelajaran yang ia pelajari ketika masih tinggal bersama ayahandanya yang bertindak sebagai seorang Raja. Ishadat ingin memiliki satu kerajaan yang benar-benar terlahir dari adanya rasa persatuan dan visi yang sama. Ishadat melihat peran ayahandanya sebagai seorang pemersatu antara kerajaan dan warga-warganya, adanya harmoni dikedua belah pihak sangat mempunyai pengaruh penting didalam kerajaan, hal ini terlihat ketika suatu hari kerajaan ayahandanya diserang oleh musuh yang datang dari utara. Ishadat bercerita kepada para sahabat-sahabatnya tentang cerita tersebut:
Perbatasan utara tersebut merupakan poros yang sedikit terjangkau oleh kerajaan, karena memang letaknya jauh, tempatnya yang masih dihuni rimbunnya pohon-pohon besar. Sehingga ketika ada musuh yang datang sangatlah mungkin untuk tidak terlihat. Akan tetapi ada beberapa perkampungan yang lokasinya tidak jauh dari hutan tersebut. Namun apa yang terjadi setelahnya?. Yang terjadi adalah warga-warga disana mampu meredam dan memukul mundur perlawanan musuh.
Pada waktu itu Yahamballah berserta sahabatnya termasuk Ishadat berkunjung ke tempat warga yang mengalahkan musuh tersebut. Mereka disambut baik oleh warga setempat, dan dijamu ditempat yang sederhana. Dipertemuan ini para warga menceritakan dengan seksama apa yang telah terjadi pada waktu tersebut.
Yahamballah lantas bertanya kepada salah satu tetua disana: “Bagaimana saudaraku bisa menghajar mundur para musuh?” Tetua disana menjawab: “Kami bersatu dan mempunyai tekad kuat untuk selalu siap mengorbankan darah bahkan nyawa demi agama kami, negeri dan kedamaian ini. Dan kami selalu terinspirasi oleh baginda Raja”. Yahamballah meneteskan air matanya sebelum hendak ia pulang ia berkata: “Terima kasih saudaraku, peliharalah selalu persatuan dan tekad kita semua.
Disuguhi cerita tersebut, para sahabat dan warga setempat yang hadir selepas shalat isya menjadi terpukau dan takjub. Mereka tahu bahwa sebelum menjadi kuat maka harus kuatkanlah tekad dan persatuan untuk bersama didalam diri. Ishadat pun begitu, ia menginginkan kita disini mengambil pelajaran dari cerita diatas. Pada waktu itu Ishadat berpesan kepada para saudara yang hadir dalam pertemuan dimesjid Baiti bahwasanya: “Bersatu tidak akan membuat bangunan megah hancur, lihatlah bangunannya terdiri dari batu dan bata yang bersatu. Mari bersama membangun pribadi yang mempunyai tekad yang sama yakni berjuang demi agama kami, negeri dan kedamaian ini”.
Keesokan harinya, Ishadat hendak melakukan kunjungan-kunjungan rutin yang biasa dilakukannya. Dia mengitari perkampungan-perkampungan sekitar untuk memastikan bahwasanya tidak ada warga yang menderita, kelaparan dan berlebihan. Ketika sudah memastikan keadaan, Ishadat berencana untuk mengunjungi sungai yang dulu pernah ia sambangi, sambil berharap, dia berdoa kepada Allah untuk dipertemukan kembali dengan Kakeknya, Philea.
Setelah sampainya, Ishadat sudah lama berdiam diri disamping sungai namun tiada apapun yang meyambanginya. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang, karena hari telah sore dan hutan semakin pekat dengan gelap.
Dalam perjalanan Ishadat berusaha untuk tidak mengaburkan pandangannya, baik ke depan, kanan ataupun kiri. Sesampainya digerbang ia tidak mendapati apapun dengan yang ia hendaki, tapi hal itu tidak menyurutkan niat ishadat untuk senantiasa mencari kakeknya esok hari dan seterusnya.
Adzan berkumandang tapi Ishadat masih jauh dari tempat tinggalnya, lantas Ishadat menepi untuk shalat di mesjid terdekat. Ketika dimesjid banyak orang tidak mengenali Ishadat sebagai seorang pemimpin, hal itu mungkin terjadi karena pakaian yang dipakai oleh Ishadat pada waktu itu tidak jauh berbeda dengan yang dipakai oleh warga setempat.
Didalam mesjid, Ishadat selalu berdoa dengan waktu yang tidak sebentar dan selalu meneteskan air mata. Sehingga ketika beresnya, matanya terlihat merah seperti kena debu. Lalu seorang warga mendatanginya, ketika itu Ishadat terkejut dan merasa tidak percaya bahwa tepat dihadapannya adalah seorang guru yang telah lama tidak berjumpa. Lalu Ishadat menyalaminya karena orang yang ia temui seperti seorang ayah bagi dirinya.
Namanya adalah Abu Aslamabad, dia seorang pemikir ulung yang menjadi penasihat kerajaan. Aslamabad pulalah yang selalu mengajarkan kepada Ishadat makna kehidupan pada masa kecil. Aslamabad hendak bertanya kepada Ishadat perkara apa yang tengah ia renungkan.
Aslamabad: “Nak, ada apa gerangan dirimu meneteskan air mata? Abu tidak biasa melihat tetesan air matamu yang tak biasa?
Ishadat: “Tidak apa-apa ayahku, hamba hanya sedikit gundah, ketika hamba ingin berbagi kegundahan dan berbagi cerita dengan seorang kakek yang hamba cari namun beliau tak kunjung kutemui. Itu membuat hamba bersedih.
Aslamabad dengan senyumannya menjawab: “Perihal apakah yang hendak kau ingin sampaikan pada kakemu philea, nak? Mungkin Abu bisa membantu mengganti kesedihannmu untuk saat ini.
Ishadat: “Hamba sedikit ingin bertanya perihal apakah yang menjadi pilar kekuatan Ayahanda Yahamballah dalam mempersatukan orang-orang. Abu, mungkin pernah mendengar cerita warga yang berhasil memukul mundur musuhnya?
Aslamabad: Betul nak, Abu pernah mendengar cerita itu dan sampai sekarang masih ingat betul cerita tersebut. Begini nak, dalam salah satu hadits disebutkan bahwa Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi seorang munafik adalah shalat Isya’ dan shalat Subuh. Sekiranya mereka mengetahui apa yang terkandung didalamnya, niscaya mereka akan mendatangi keduanya sekalipun dengan merangkak. Sungguh, aku ingin menyuruh melaksanakan shalat, lalu shalat itu ditegakkan, kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat bersama orang-orang. Kemudian beberapa lelaki berangkat bersamaku dengan membawa kayu yang terikat, mendatangi suatu kaum yang tidak menghadiri shalat berjamaah, sehingga aku bakar rumah mereka. (HR Al-Bukhari dan Muslim)
“Nak Ishadat, Apa yang dimaksud dengan hadits diatas adalah bagaimana bisa seseorang mampu mempertahankan sesuatu yang besar apabila keutamaan yang wajib dilakukan tidak bisa dilaksanakan dengan tekun. Dari hal terkecil yang mampu membuat mereka bersatu akan terjalin suatu kekuatan besar yang berpegang pada tekad yang kuat dan bulat. Bagaimana mungkin suatu kaum itu bersatu apabila keutamaan-keutamaan dalam agama yang mempunyai efek yang luar biasa ditinggalkan begitu saja.
“Masih ingatkah nak Ishadat bertanya kepada Abu ketika masih kecil yang lantas tidak Abu jawab?
Ishadat: “Ia abu, hamba ingat. Hamba bertanya apa yang menyebabkan suatu kerajaan Islam itu hancur?
Aslamabad: “Yah kehancurannya itu salah satunya terletak ketika didalam hati mereka sudah hilang rasa persatuan dan kebersamaan yang didasari cinta terhadap Ilahi. Sehingga untuk melakukan shalat shubuh dan Isya secara berjamaah pun mereka susah untuk melaksanakannya. Ibnu Umar pernah berkata “Ketika kami tidak melihat seseorang dalam shalat subuh atau isya’, kami langsung berprasangka buruk kepadanya.” Bagaimana menurut nak Ishadat tentang perkataan diatas?
Ishadat: “Artinya mereka adalah orang-orang yang masih mempunyai keimanan yang kurang dan kejujuran yang harus diperbaiki. Dan pantaslah mereka disebut orang-orang munafik.
Aslamabad: “Betul nak, Sehingga betullah hadits berikut ini “Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang banyak berjalan dalam kegelapan (waktu Isya’ dan Subuh) menuju masjid dengan cahaya yang sangat terang pada hari kiamat” [HR. Abu Dawud, At-Tarmidzi dan Ibnu Majah].
Ishadat: “Abu, apakah Abu yang menyampaikan perihal ini pada ayahanda Yahamballah?
Asalamabad: “Ia betul nak, Abu pernah meyampaikan perihal ini pada Baginda Raja. Baginda telah berhasil mebuat warga-warganya bersatu. Coba tengok sama Nak Ishadat ketika shalat Shubuh dan Isya maka akan didapati sama banyak dengan shalat Jum’at.
Ishadat: “Terimakasih ya Abu, kau sungguh seorang penasihat kaumnya yang belum mengetahui perihal kebaikan dan keutamaan.
Aslamabad: “Semoga Nak Ishadat mampu mengemban apa yang telah baginda raja titipkan, torehkanlah hal yang serupa dengan kerajaan ayahmu untuk membuat persatuan yang sama ditempatmu. Dalam kitab suci al-quran pun dikatakan bahwa: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ” QS 13:11. Semoga keinginan mulia nak Ishadat menjadi awal penting untuk kedepan.
Ishadat tersenyum dan menyalami tangan Abu Aslamabad sebelum mereka berdua berpisah dalam senjakala yang kian membias.
No comments
Post a Comment