Melampaui Ervin Goffman: Sandiwara Tingkat Dua (Dramaturgi Kehidupan)

Dunia ini panggung sandiwara. Cerita yang mudah berubah. Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani. Setiap kita dapat satu peranan. Yang harus kita mainkan. Ada peran wajar ada peran berpura pura. Mengapa kita bersandiwara. Mengapa kita bersandiwara. Peran yang kocak bikin kita terbahak bahak. Peran bercinta bikin orang mabuk kepayang. Dunia ini penuh peranan. Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan.

Lirik diatas adalah petikan dari salah satu lagu legenda yang sangat terkenal pada waktu itu. Bila kalian belum tahu lagu apakah diatas, lagu tersebut adalah lagu yang berjudul panggung sandiwara. Lagu tersebut pertama kali dinyanyikan oleh band ternama Godbless, dan Godbless seakan menjadi pengiring indah nyanyian tersebut mampu membuat lagu ini menjadi hits sampai sekarang. Selanjutnya lagu tersebut kembali dibawakan oleh dua diva rocker kenamaan tanah air Nicky Astria dan Teh Nike Ardilla.

Lagu tersebut bukan hanya memiliki kekuatan nada yang historis, artinya nada-nada yang dipakai oleh godbless persis dengan lirik-lirik yang ada didalamnya. Saya dulu paling sering membuat lagu dikunci E, karena nada E mampu merepresentasikan dan mewakili penderitaan saya. Tak ayal lagu-lagu yang saya ciptakan dulu berbau kematian. Begitu pula didalam lagu panggung sandiwara, terdapat bait-bait lirik yang begitu indah dan menurut saya berbau filosofis. Tengok saja sendiri dan renungkan apa yang terkandung dalam lirik tersebut.

Bila melihat pada judulnya saja saya sudah menerka bahwa memang hidup bagaikan sandiwara. Baik itu pewayangan, lenong, teater, dan kisah cerita kehidupan. Dalam kehidupan hiduplah setan yang sangat baik sekali mengajak manusia menjadi jahat, adapula yang baik yang selalu menjauhi setan dan ingin tetap selalu pada yang maha kuasa. Ada yang kaya dan ada juga yang miskin, ada presiden, pejabat, mentri, artis, tukang kebun, tukang sampah dan peran-peran lain-nya yang ada dikehidupan. Semua itu bak sandiwara semata kalau kita memang lupa akan peran penting diturunkannya kita ke dunia oleh yang maha kuasa.

Bila yang terlena kehidupan dia akan lalai bagaimana kehidupan setelah kematian. Bukankah kita mempercayai dan mengetahui bahwa hidup kita itu diciptakan oleh seorang yang satu. Yang kalau dilogikan akan seperti ini: Dalam teater ada yang membuat cerita, dalam cerita ada seorang pengarang, didalam sebuah kisah novel ada yang membuatnya. Namun naas bila kita merasakan bahwa ketika manusia diturunkan ke bumi, mereka menjadi seolah lupa diri dan banyak yang membelot menjadi pemeran yang tak dikehendaki. Karena memang kehidupan adalah kita sendiri yang membuat, berperan dan merasakannya.

Kita membuat cerita, kita membuat kisah, kita melahirkan sandiwara yang kita lakukan dan kita adalah kita yang hidup dalam sandiwara. Banyak yang menjadi terlena dan bersandiwara ketika seorang manusia merasa dirinya menjadi pemenang. Katakanlah Firaun, Setan, Namrud dan sebagainya. Mereka bersandiwara dengan menyalahi aturan-aturan Tuhan. Mereka bersandiwara akan kehidupan dengan berperan menjadi seorang raja yang ingkar.

Tidak hanya disitu, sekarang saja banyak orang-orang yang pandai bersandiwara dari kehidupannya. Dia bersandiwara dengan kehidupan dan kehidupan itu membuatnya menjadi bersandiwara dalam tahap kedua.

Sandiwara tingkat Dua

Sandiwara tingkat dua muncul ketika peran dalam kehidupan diperankan lagi ketika memasuki ranah kehidupan bohong. Sebut saja dunia artis dan peran sebagai kehidupan dan mediasi mereka yang sanggup bersandiwara pada tingkat dua. Didalam sinetron banyak kita temukan peran-peran yang mewarnai isi dari cerita tersebut, ada yang baik, buruk, jahat, licik bahkan gila.

Para artis dituntut untuk bisa menyesuaikan diri dengan pola-pola baku yang distandarisasi oleh si pembuat cerita. Ketika lantas ada seorang artis yang mengeluh kenapa harus menjadi pemeran yang jahat, baik ataupun licik. Banyak dari mereka yang tidak menolak untuk melakukannya. Berbagai alasan mampu dilontarkan mereka dan kebanyakan alasan yang selalu menjadi tameng adalah profesional dalam berkerja. Bahkan ada juga yang mengatakan "Yah yang namanya manusia"

Seolah mereka tidak tahu menahu apabila suatu standarisasi mengatur mereka, maka tidak sadar mereka telah memutar balikan suatu kenyataan yang benar-benar ada. Barangkali ketika saya berandai-andai menjadi seorang aktor dan kebetulan saya menjadi pemeran baik namun pada kenyataanya saya ini adalah seorang yang jahat didalam kehidupan nyata. Saya akan tetap mengambil pekerjaan itu karena standarisasi itu mirip suatu kebohongan dan karena seorang manusiapun mampu melakukan kebohongan baik pada publik dan yang parah adalah membohongi Tuhannya sendiri.

Itulah sandiwara tingkat dua, setelah bersandiwara lepas dari ketetapan manusia diturunkan kedunia, sebagian manusia mampu bersandiwara lagi dalam lingkup kekuasaan manusia. Bila mereka mampu membohongi Tuhan dalam sandiwara kehidupan, mereka juga sanggup membohongi manusia lainnya dalam kehidupan. Inilah yang sering kita temukan sekarang ini dalam dunia artis Indonesia, meski tidak menyulut kemungkinan dramaturgi juga bisa dituduhkan pada pejabat-pejabat. Seolah-olah semua dramaturgi yang membiaskan mereka pada pemudaran dunia fana.

Dramaturgi Para Artis

Manusia pada tataran sandiwara tingkat dua telah memasuki dua tahap dari konsep dramaturgi Goffman. Tahap pertama dikenal dengan fornt stage/tahap realita sosial dari sebuah simbol yang dikenalkan pada khalayak atau dalam bahasa linguistiknya itu ada pada tataran sebuah parole. Dan pada tataran yang abstraknya terletak di back stage/Kerap dari pemaknaan yang akan disimbolkan pada front stage. Lebih lengkapnya lihat pada pembagian dua konsep Goffman dibawah.

  1. Front Region (wilayah depan), adalah tempat atau peristiwa sosial yang memungkinkan individu menampilkan peran formal atau berperan layaknya seorang aktor. Wilayah ini juga disebut front stage (panggung depan) yang ditonton oleh khalayak. Panggung depan mencakup, setting, personal front (penampilan diri), expressive equipment (peralatan untuk mengekspresikan diri), kemudian terbagi lagi menjadi appearance (penampilan) dan manner (gaya).
  2. Back Region (wilayah belakang), adalah tempat untuk individu mempersiapkan perannya di wilayah depan, biasa juga disebut back stage (panggung belakang) atau kamar rias untuk mempersiapkan diri atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan. Di tempat ini dilakukan semua kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan akting atau penampilan diri yang ada pada panggung depan.


Teori dari Goffman diatas kalau dibandingkan dengan lirik Dunia Ini Panggung Sandiwara maka akan banyak ditemukan kecocokan. Seperti pada lirik yang "Setiap kita dapat satu peranan, Yang harus kita mainkan, Ada peran wajar ada peran berpura pura"

Apakah kalian pernah disuguhkan berita mengejutkan tentang seorang artis pujaan kalian? Seorang pujaan yang kalian puja/ngefans karena aktingnya sebagai seorang gadis lugu, berjilbab, sopan, ramah, murah senyum, rajin ibadah ternyata dikehidupan yang nyata dia bertolak belakang dengan front stagenya. Ternyata dibelakang layar mereka asyik, dugem, berciuman mesra, mengkonsumsi obat terlarang dan banyak lagi yang mungkin belum diketahui kehidupan nyatanya.

Hal tersebut sangatlah jelas merupakan pura-pura yang keterlaluan, karena seperti yang telah dikatakan diatas tadi. Mereka tidak hanya menyalahi aturan Tuhan akan tetapi menipu manusia lainnya juga. Front stage adakalanya menjadi ranah kehidupan yang kosong, penuh standarisasi, penuh pencitraan dan penuh kebohongan karena seorang manusia mampu membuat rencana memutar balikan karakter nya didalam tahap back stage.

Perlu untuk diketahui bahwa hidup didunia ini tidaklah abadi, apakah kalian ingin mengisinya dengan suatu hal tidak berguna? Tanyakanlah pada hati kita masing, darimana asal diri kita berada dan kembali? Bila kita telah percaya maka carilah cahaya yang mampu menerangimu sampai akhir nanti dan jangan mencari cahaya yang memudarkannmu akan dunia.