Dari semenjak kemarin pikiran
saya diselimuti suatu bongkahan besar yang menghalangi pandangan untuk
berjalan lebih jauh lagi. Bongkahan itu seolah telah menjadi suatu keniscayaan
bahwa bagaimanapun besarnya, saya harus tetap melewatinya, dengan cara apapun. Perasaan
ini sebenarnya tidak bermula pada titik kebertemuan saya dengannya kemaren,
namun hal yang seperti ini telah ada terjadi jauh sebelum bongkahan yang
benar-benar besar ini membuat saya sedikit untuk berpikir lebih mendalam.
Bagaimana saya dihadapkan pada
suatu permasalahan yang sebenarnya tidak pelik, namun menjadi pelik karena
memang konsep ini seolah suatu keniscayaan yang selalu terjadi pada zaman
sekarang. Dimana pada waktu saya mencoba untuk menyuarakan pemikiran-pemikiran
yang pada hakikatnya itu ingin mengembalikan hal yang terlalu jauh ternyata
menjadi sebuah pandangan orang bahwa saya suka mencomooh! Bila hal itu benar
demikian adanya maka saya pantas untuk menggelengkan kepala dan memutar ulang
pikiran agar bisa mengatasinya. Mengatasi suatu permasalahan yang ditimbulkan
atas rasa yang tak bersalah.
Padahal apa yang saya lakukan
adalah untuk sedikit memberitahukan bahwsanya kalau yang namanya pandangan itu
bisa membuat kita terlena tanpa sedikitpun melihat bagaimana keadaan yang sebenarnya
sedang terjadi. Selang beberapa hari kemudian saya terus berpikir untuk
menemukan sebuah solusi, tapi sampai sekarang saya belum benar2 bisa membuat
semua teratasi. Walaupun demikian saya akan tetap konsisten dengan apa yang
saya selalu tanamkan dari dalam diri.
Usaha Mengkritik Angin
Bagaimana mungkin bisa seorang
manusia mengkritik angin? Jawabannya subjudul diatas hanyalah kiasan. Pemahaman
angin dalam konteks ini adalah penempatan suatu pandangan yang mempunyai sifat
seperti angin. Ia bebas berkehendak kemanapun ia pergi, tanpa adanya suatu
tempat baginya untuk menetap. Pergerakan angin selalu membuat proses yang
berkelindan, dengan meninggalkan tempat yang satu ketempat yang lain.
Yang demikian itulah yang terjadi
ketika saya mencoba untuk mengenalkan suatu jalan - yang menurut pandangan saya bisa mencerahkan – pada beberapa
orang mengenai prihal budaya dengan segala konsepnya. Sekarang telah didapati
apa yang saya bicarakan dalam konteks ini adalah budaya.
Saya tidak akan mengurai panjang
mengenai definisi budaya dan sejarah perkembangannya sampai sekarang, namun
saya ingin melihat konteks budaya setelah tahun 1920 ketika revolusi industri,
urbanisasi dan informasi telah sedikit merubah dan menjadikan proses kehidupan
berada lebih mudah daripada sebelumnya. Ketika itu pula suatu gejala nampaknya
telah membuat manusia kehilangan suatu sisi tiang yang mapan yang banyak
didendangkan oleh pemikir-pemikir semisal Raymond William, Herbert Marcuse,
Marshall Mcluhan, Adorno, Neitsche, Levin, Foucault, Baudrillard dan masih
banyak lagi para pemikir yang tidak bisa disebutkan disini.
Perdebatan mengenai budaya
dizaman sekarang ini adalah banyak dimuati oleh wacana-wacana yang pernah
dicetuskan oleh mereka. Bagaimana ada istilah budaya popular, budaya dominan,
avantgrade, metanarasi, simulasi, simulakrum, hiperealitas, standarsisasi, the
death of the author dan lain-lain. Sekarang ini dalam dunia akademik kita,
istilah seperti ini akan selalu kita jumpai, karena bukan hanya sebuah
ketetapan akademik namun ternyata realita juga sedang mengalami masa-masa
istilah yang tadi disebutkan diatas.
Perdebatan mereka itu saya pahami
sebagai suatu proses bagaimana manusia mencari suatu kebenaran sejati atau
keberlangsungan yang mereka cari abadi dengan menggunakan yang dikritik sebagai
acuan untuk mencari kesalahannya. Jadi bagaimanapun mereka mengkritik satu
pemahaman sama lain, mereka sebenarnya sedang bermain dalam lingkaran yang
sama. Satu pemahaman mengkritik lalu terjadilah paham modernism, ketika paham
ini dinilai sudah tidak berdaya, munculah para pengkritik yang akhirnya dikenal
postmodern, dan setelah itu pula kritik baru muncul lahir dari pandangan orang
yang melihat satu sisi dari kacamata marxis.
Hal ini berdampak kepada kita
sekarang, bagaimana kita dibuat bulat melingkar ketika ada suatu orang yang
dikatakan mengkritik budaya popular, menurutnya budaya popular itu akan
senantiasa mengalahkan budaya dominan, menurutnya budaya popular itu hanya
mengandalkan permukaannya saja dan bla bla bla. Ketika itu pula kita akan
selalu dihantui oleh kritik-kritik lainnya yang muncul dan mendera, jadi yang
ada adalah saling kritik atas pemahaman pandangan masing-masing orang tanpa
adanya suatu soulsi yang benar-benar bisa mencerahkan keduanya. Buktinya sampai
sekarang perdebatan ini masih berlanjut. Dan bukan masalah budaya saja, aspek
ini bisa kita lihat melainkan menyebar pada pandangan-pandangan lainnya semisal
agamapun bisa dipahami dalam konteks diatas.
Yang sedang terjadi di Indonesia
sekarang adalah persis sama dari gejala diatas, bagaimana Negeri bahari ini
sedang terjangkit wabah korea. Hal-hal yang berbau korea telah merasuki
generasi muda Indonesia. Yang ada dari sini saya bisa melihat suatu proses
bagaimana yang sempurna dilihat oleh orang yang mendamba. Artinya yang melihat
suatu yang sempurna akan senantiasa kalah dari yang dilihatnya. Mereka akan
senantiasa mewujudkan dan menyangkal bila ada sesuatu yang harus diwujudkan dan
disangkal.
Seorang pakar kajian budaya
membagi dua bagian bagaimana suatu proses tersebut akan melahirkan apa yang
Jenson katakan sebagai histeris dan terobsesi. Histeris biasanya dialami oleh
para wanita yang melihat sempurna apa yang mereka dambakan, kehisterisan itu
membius mereka dan hanyut pada hal-hal lain yang berada diluar kehidupannya,
tidak sampai disitu kehisterisannya itu bahkan bisa membuat mereka menangis
mengelu-ngelukan apa yang mereka dambakan.
Dan terobsesi biasanya terjadi
pada laki-laki yang melihat sempurna dan sesuai dengan apa yang mereka idamkan,
obsesinya itu terkadang mampu menanamkan rasa percaya diri bagi mereka sehingga
muncul motivasi untuk melakukan hal yang sedikitnya serupa dengan apa yang
mereka lihat sempurna. Kesuksesan SMASH mungkin menjadi suatu bukti bahwasanya
mereka adalah laki-laki yang terobsesi oleh apa yang mereka lihat cocok dan bagus.
Pada selanjutnya kebesaran media akan sedikit ikut campur dengan mengorbitkan kesuksesan-kesuksesan
Girlband.
Dari proses keduanya tersebut
saya ingin menambahkan bahwa kelak hal ini pula yang akan menjadi pegangan
mereka untuk menyangkal bilamana ada segelintir ataupun kebanyakan orang yang
akan mencibir mereka. Ideologi mereka telah tertanam pada apa yang mereka
pahami dan rasakan, seperti pada kedua proses tersebut.
Dan buktinya ketika mereka muncul
kepermukaan diranah musik Indonesia, tak sedikit orang yang mengkritik mereka,
mulai dari kualitas, penampilan dan bahkan kuantitasnya. Kritikan pun muncul
dari musisi Indonesia itu sendiri. Saya kira tidak haruslah saya menyebutkan
semua namun beberapa orang rasanya harus disebutkan disini. Hal ini guna untuk
menjaga kestabilan saya dalam merangkai kata selanjutnya. Diantara mereka yang
mengkritik itu adalah Piyu, Tangga dan Tipe-X. Sebenarnya Piyu, Tangga dan
TipeX itu hanyalah sebagian dari kebanyakan orang yang mengkritik boyband dan girlband
di Indonesia tapi masih ada kebanyakan orang yang mencibir mereka.
Sayapun salah seorang yang
sedikit kesal dengan perkembangan boyband dan girlband yang sudah sedemikian
rupa tercipta. Namun telah saya katakan tadi, bahwasanya kekesalan saya
nampaknya telah terotomatis bisa dihalangi oleh suatu keniscayaan. Ketika saya
ingin mengkritik bagaimana pada akhirnya suatu praktik budaya – yang telah
terbumbui - ini akan bermuara, telah ada dari bagian mereka yang bilang saya
adalah pencomooh saja, saya dikata oleh mereka lebih baik perbaiki diri sendiri
saja sebelum mengkritik orang lain.
Disatu sisi saya heran dan berkata “Ok aku
setuju, tapi kalau pendapatmu itu tidak lebih hanya sebuah kepalsuan, saya
tidak akan menuruti apa yang kamu mau. Karena jawaban itu adalah jawaban kosong
yang lahir dari suatu rasa yang tak terpikirkan.” Dan jawaban itu pulalah yang
akan senantiasa sama dengan maksud Raymond William, Adorno ataupun Marcuse,
baudrillard, foucalt dalam definisi istilah yang mereka ciptakan; ‘Definisi
budaya, Berdamai dengan kapitalis, manusia satu dimensi, citra, hiper, dsb.’
Lingkaran Kritik Suatu Pemahaman
Kedatangan suju ke Indonesia
merupakan puncak dimana orang-orang Indonesia bisa dilihat seperti seorang
hamba yang mendamba sang pujaan. Bagaimana mereka sampai menangis tersedu hanya
karena mereka tidak melihat secara langsung sang pujaan. Tapi biarkanlah hal
itu terjadi karena kejadian tersebut mencerminkan bahwa yang tengah terjadi di
Indonesia saat ini adalah seperti itu.
Berbagai pemberitaan pun mulai
ramai, dan ketika hal yang tidak ramai namun dibungkus oleh mediasi yang terus
menerus maka hal itu niscaya akan membesar dan mudah menyebar. Pemberitaan yang
terlontarpun benar-benar beragam, kebanyakannya adalah demam korea dan wabah
korea, namun disisi lain ternyata ada juga yang memberikan informasi berbeda
dari kedua tersebut. Hal tersebut adalah krisis budaya nasional?
Pun ketika mendengar kata krisis
budaya nasional itu, kita tidak dengan mudah bisa mengidentifikasi manakah yang
benar-benar budaya nasional? Karena secara historispun penetapan budaya
nasional itupun banyak dikatakan telah menodai dan terlahir dari perdebatan
panjang. Akan tetapi saya kesampingkan dulu pembahasan seperti ini, agar saya
terfokus pada apa yang harus saya sampaikan.
Kritik melingkar sedang terjadi
tepat ketika ada suatu kritikan muncul dari seorang musisi terhadap musisi
lainnya.
Yang dimaksud melingkar disini adalah bahwasanya mereka itu sama
sekali akan berputar terus menerus dalam keadaan mengkritik dan dikritik. Karena
perkembangan dan proses barangkali tidak berpihak kepada paham ideologi yang
akan usang digantikan oleh yang benar-benar lebih fresh. Ketika Piyu, Tangga
dan Tipe X ataupun pencinta musik apapun itu mengkritik kehadiran Korean pop
maka yang sebenarnya terjadi disini adalah suatu pengulangan yang mungkin
pernah terjadi pada perkembangan-perkembangan musik sebelum mereka. Apakah
mereka bebas dari kritikan group musik sebelumnya?
Apakah kita pernah berpikir bahwa
mungkin suatu hari pasar modal akan mengetahui bahwa boyband dan girlband akan
redup, sehingga persiapan mereka dengan sigap melihat pasar yang sedang marak. Sedangkan
dalam prosesnya musik itu adalah sesuatu yang berubah apalagi tarian, musik
dari boyband/girlband sekarang pada saatnya akan mendapatkan gelar telau using bila
pada prosesnya akan ada suatu proses radikalisasi untuk merombak gaya atau
struktur dalam bernyanyi. Bila proses ini terexpose oleh media maka yang pasti
kita tunggu adalah suatu gerakan pembaharuan dalam musik boyband/girlband yang
segar dan berbeda dari yang usang/lusuh/tua. Perlu diingat lagi bahwa
kesemuanya aliran musik ini di Indonesia banyak yang diimpor dari luar negeri.
Begitulah proses melingkar akan
senantiasa beputar, bahwa tak ada satu yang benar-benar adiluhung pada zaman
sekarang. Sebab dunia sekarang sudah banyak tersebar, pelbagai hantu-hantu yang
bisa membuatmu mabuk kepayang dan terombang-ambing didalamnya.
Yang mempunyai pandangan musik
yang bagus itu harus seperti ini, harus seperti itu sebenarnya harus legowo bila pada
akhirnya mereka akan hanya menjadi sebuah komunitas yang dihantui oleh trend musik-musik
yang baru. Saya murung karena hal ini tengah terjadi kepada saya ketika saya
mempunyai pandangan Grunge adalah musik yang baik harus merelakan pada waktu
dan proses bahwasanya Grunge suatu waktu - dan tengah terjadi hari ini - hanya akan menjadi sebuah komunitas saja.
Walaupun demikian saya percaya bahwa
suatu hari yang sedang naik daun dalam dominasi musik di Indonesia sekarang ini
pada akhirnya akan sama dengan nasib-nasib yang dialami para musisi pendahulu. Mereka
mungkin bisa bertahan bahkan mungkin bisa lenyap tak berbekas, ibaratnya adalah
suatu benda lusuh yang tak terpakai lagi oleh para penjual dan pendapat keuntungan.
Jikalau sudah tahu seperti ini
maka yang akan terus melingkar dalam putaran sebenarnya tengah berada pada
suatu proses yang tak berkesudahan. Mereka tidak berputar diam pada satu titik
namun mereka berputar dengan berjalan tanpa diam pada satu tiang yang
benar-benar mantap. Kita hanya akan terus mengedepankan kata-kata "pandangan" untuk menyangkal bila ada yang mengkritik dan menyiapkan dikritik atas pandangan yang berbeda karena pandangan adalah suatu yang bias kalau kita ikut terus berjalan mengikuti putaran.
*Maha Besar Allah Maha Mulia Sang Maha Pencipta Kita
No comments
Post a Comment