Kekuasaan, Media, dan Angie -Everybody Knew You Are Liar-

Masih hangat kasus Angie Sondakh yang mencuat akhir-akhir ini, kita sebagai rakyat biasa semakin semerawut aja dibuatnya. Semakin bingung untuk memilah mana yang berpihak pada kebenaran dan mana yang berpihak pada keberbohongan.

Keduanya sangat sulit kita terawang bila tiada penghantar untuk mencari kebenaran yang sistematis -penghantar untuk mengurai itu secara sistematis pula-, untuk melihat semua itu kita perlu sebuah petunjuk untuk sedikit lebih terang melihat semuanya.

Belajarlah kita tentang bahasa (sosiolinguistik), wacana, psikologi, etnografi komunikasi, analisis wacana, komunikasi politik, dan apapun itu adalah untuk menganalisis suatu hal yang dirundung sebuah kekuatan yang menggelapkan -didalamnya banyak kode metafora yang berliku- terlepas dari sana kita tidak mengetahui isi hati seseorang yang berbohong. ehehe

Yang menarik disini adalah ketika ilmu-ilmu tersebut diaplikasikan pada kasus Angie. Maka kita akan menemukan sesuatu pencerahan tentang bagaimana kekuasaan lain menggunakan masalah Angie sebagai suatu senjata. Ketika masalah angie mencuat, hal tersebut bisa dijadikan sebuah senjata bagi para elit lain untuk melancarkan ideologi yang diusung, hal ini nampak terjadi ketika ada salah satu stasiun TV Indonesia yang dalam tayangannya seolah memberi kesan bahwa Angie itu sedang benar-benar berkelit/berbohong. (Bermain dengan bahasa dan pencitraan)

Kita semua pasti mengetahui bahwa narasumber yang disajikan oleh stasiun TV yang diuntungkan itu ada dipihak saudara Nazarudin (pengacaranya). Bahasa judul yang diberikan oleh pihak TV tersebut pun sangatlah frontal yaitu “Angie berkelit”, dan ada lagi yang menarik disini adalah pada saat itu pula pihak TV menyempurnakan suasana dengan lagu latar yang bernuansa bahwa angie sedang berbohong. Sepenggal liriknya mungkin seperti ini “Everybody knew you are liar” (Semua orang tahu bahwa kamu adalah pembohong/pendusta) -Scholastika-

Barangkali disini kita sudah mengira bahwa proses pemikiran Gramsci yang kedua sedang berlangsung, yah itu adalah hegemoni, sesuai dengan pernyataan (Femia, 1981) yang mengatakan jenis kedua ini adalah, pengendalian sosial dilakukan secara simbolik-internal dengan membentuk keyakinan-keyakinan atas norma-norma tertentu.

Sekarang sedang gencar-gencarnya para elit politik dari beberapa partai yang sedang mencari suara rakyat, oleh karena itu dirasalah perlu untuk menggiring rakyat dengan acara-acara tersebut -yang didalamnya terselip bahasa simbolik, bahasa dan kekuasaan, kekuasaan dan media- sebagai sebuah langkah awal untuk menggiring rakyat untuk berpartisipasi dengan mereka.

Perlu diketahui bahwa hal yang demikian tersebut sangat lumrah sekali dalam kancah politik. Satu sama lain ingin menjadi yang terdepan -bagaimanapun caranya, asalkan tidak ada kekerasan- untuk mendapatkan suara terbanyak dari aspirasi rakyat. Media Massa sebagaimana kita tahu adalah media yang paling penting sebagai moncong dari penguasa untuk menjalankan ideologinya. Oleh karena itu wajarlah bila kita akan sering menemui pemberitaan dimedia massa mengenai hal-hal yang mirip dengan masalah diatas. Karena tidak sedikit yang menguasai media massa di Indonesia adalah mereka yang sedang berpartisipasi dalam kancah politik.

Refferensi:
http://mudjiarahardjo.com/artikel/101-bahasa-media-dan-kuasa.html
http://bytwochai.wordpress.com/2010/12/24/mass-media/





*Penulis: Muhammad Zaki Al-Aziz