Andaikata: Telaah Karya Henry David Thoreau Dalam Where I Lived, and What I Lived For

Where i lived and what i lived for
Dalam perjalanan hidup kita saat ini, di sebuah masa yang orang-orang katakan sebagai modernitas. Sebuah masa dimana orang-orang di dalamnya telah terkurung dalam sebuah ketidaksadaran massal. Ketidaksadaran akan sebuah transformasi dari pembentukan diri serta pemaknaan kehidupan. Sadarkah bahwa sesungguhnya kita telah berubah? Apa yang berubah dari kita? Apa yang merubah kita? Apakah alam yang merubah kita? Ataukah kita yang merubah alam?

Mungkin pertanyaan-pertanyaan itu akan terjawab andaikata kita melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Henry David Thoreau. Menyingkir dari ramainya kehidupan industrial dan memutuskan untuk hidup dekat dengan alam. Apakah dengan begitu kita mendapatkan sebuah kesadaran yang sama seperti apa yang di dapat Thoreau? 


Hidup di sebuah tempat yang jauh dari keramaian dimana kita masih bisa menghirup udara segar yang memberikan nyawa baru. Sebuah tempat dengan hamparan ladang yang luas, menghadap ke sebuah bukit yang hijau, ditemani gemericik air jernih yang bisa memberikan ketenteraman pada jiwa kita. Sebuah tempat dimana kita masih bisa melihat biru langit dengan jelas. Sebuah tempat yang memberikan kesempatan bagi kita untuk hidup dekat dengan alam dan memahami bahwa alam yang memberikan kita hakikat dari sebuah kehidupan.



Mungkin itulah gambaran ketenangan Walden sebagai tempat yang dipilih Thoreau untuk menghindar dari hingar bingar pabrik-pabrik. Menyingkir dari keramaian untuk kembali memaknai bahwa saat itu kehidupannya kian jauh dari alam. Masa revolusi industri sedikit demi sedikit mulai mengikis keberadaan alam yang memberikan kehidupan. Saat itu orang-orang manjadi lebih sibuk untuk memperhatikan pembangunan jalan, rel kereta api, gedung-gedung, serta lebih memperhatikan perkembangan teknologi tanpa memperhatikan keadaan alam tempat dimana mereka membangun itu semua.


Apa yang terjadi pada masa Thoreau hidup, ternyata terus berlangsung hingga saat ini. Penggerusan ekosistem alam demi pembangunan industri dan teknologi yang berlindung di bawah kesejahteraan serta perkembangan jaman, merupakan sebuah omong kosong. Kehidupan modern hanya menawarkan sebuah rute penjelajahan yang menjanjikan kesatuan dunia namun pada kenyatannnya menghasilkan penghancuran diri. Seperti sebuah bom waktu yang akan meledak dengan tiba-tiba.

Thoreau yang hidup di masa lalu sudah bisa merasakan denyut dari bom waktu tersebut, Thoreau mulai menyadari bahwa orang-orang di jamannya hidup di sebuah jalan yang mulai menjauh dari alam. Revolusi industri yang menyebabkan itu semua. Hingga akhirnya Thoreau mencoba mempraktekkan untuk hidup dekat dengan alam. 


Apa yang dituliskan dalam esainya Where I Lived, and What I Lived For merupakan sebuah hasil  perenungannya selama dua tahun hidup di Walden bersatu dengan alam. Thoreau mendapatkan sebuah pencerahan mengenai titik balik kesadaran secara spiritual, personal, dan philoshopy. Sekalipun pada akhirnya dia kembali pada keramaian, tetapi paling tidak Thoreau selangkah lebih maju dari pada orang lain di sekitarnya. Thoreau telah membuka mata dan sadar atas apa yang terjadi pada alam dan hidupnya.


Andaikata orang-orang pada masa kini bisa melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan Thoreau. Andaikata orang-orang pada masa kini bisa memiliki kesadaran yang sama bahwa alam tidak hadir begitu saja tanpa tujuan. Alam tidak hanya berperan sebagai alam, namun alam pun berperan sebagai macrocosmos dimana alam bertindak sebagai hakikat hidup itu sendiri.

                
Saat kita memperlakukan alam dengan tidak baik maka alam pun akan melakukan hal yang sama pada kita. Terlalu banyak contoh yang harusnya bisa menyadarkan manusia untuk lebih menyayangi alam. Contohnya saat ini banyak dibangun gedung-gedung pencakar langit dan resikonya langit balik mencakar bumi. Orang-orang membangun gedung tinggi yang menjulang menantang langit, saat ini orang-orang itu kembali ditantang oleh langit untuk merasakan panasnya terik matahari karena lapisan ozon yang menipis akibat dari efek rumah kaca yang dibuat oleh manusia.

Global warming sudah menjadi wacana yang tidak aneh saat didengar, mereka mendengar, mereka tahu, namun masih saja belum sadar. Sedikit orang yang tahu dan paham bahwa efek dari global warming adalah semakin singkatnya hidup kita di dunia ini. Terkadang kita harus memahami bahwa seberapa lama kita akan hidup, benar-benar ditentukan oleh kita sendiri. 


Saat kita membuat alam tidak hidup dengan nyaman, saat kita membuat alam hidup hanya untuk sekejap, maka alam akan melakukan hal yang sama kepada manusia. Berbagai bencana yang terjadi saat ini banyak menelan korban. Itu artinya bahwa kerusakan alam yang kita lakukan membuat hidup kita di dunia ini akan cepat berakhir apabila kita tidak dengan segera mematikan bom waktu yang saat ini hanya tinggal menunggu waktunya untuk meledak.


Pembabatan hutan-hutan menjadi agenda biasa bagi orang-orang rakus yang mengatasnamakan hal tersebut di atas kepentingan bersama. Sebenarnya siapa yang mereka sebut dengan bersama? Keuntungan dari apa yang mereka lakukan hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu saja yang memiliki kepentingan khusus dibalik itu. Mungkin yang mereka sebut dengan “bersama” adalah ketika kita akan bersama-sama menanggung kemarahan alam karena apa yang mereka lakukan.


Seperti yang terjadi di negara kita, ekploitasi kekayaan tambang di PT Freefort yang ada di Irian Jaya, siapa yang sebenarnya menikmati kekayaan kita itu? Ekploitasi besar-besaran terhadap hasil bumi itu sebagian besar akan dinikmati oleh mereka. Sedangkan saat ada suatu bencana maka rakyat Irian Jaya, rakyat Indonesia yang akan menanggungnya secara “bersama”. Karena mereka yang menikmati hasilnya berada nun jauh disana. Satu lagi contoh yang saat ini sedang gencar diiklankan, yaitu gerakan mendukung pembangunan Chevron sebuah industri yang bergerak di bidang pertambangan. 


Apabila pembangunan industri tersebut benar-benar digelar secara besar-besaran di Indonesia, maka rakyat Indonesia hanya tinggal menunggu bom waktu itu benar-benar meledak. Mengapa seperti itu? Karena tentu saja pembangunan industri itu akan memakan sebagain besar kehidupan alam yang masih tersisa di Indonesia.


Itu hanya contoh kecil saja dari berbagai macam kegiatan industi dan teknologi yang merusak alam. Andaikata semua orang membaca dan memahami apa yang ditulis oleh Thoreau dalam esainya ini, saya rasa secercah pengharapan akan kesadaran untuk hidup dekat dengan alam akan sedikit demi sedikit tercapai. Thoreau percaya bahwa orang-orang seharusnya tidak ditunggangi oleh hasrat material, gunakanlah berdasarkan apa yang memang benar-benar kita butuhkan, bukan berdasarkan hasrat. 


Dalam esainya Thoreau memberikan pandangan-pandangan jelas mengenai kehidupan yang ideal yang dekat dengan alam. Saling memberikan kehidupan antara manusia dengan alam. Seperti dalam film kartun The Legend of Aang, terlihat gambaran jelas bahwa manusia harus bisa hidup seimbang dengan alam. Saat salah satunya bersifat arogan, maka sebuah kehancuran yang akan menjadi hadiahnya. 


Esai yang ditulis oleh Thoreau merupakan tulisan yang bisa memberikan sebuah efek katarsis bagi mereka yang membacanya serta memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan mengenai living close to nature. Thoureau memberikan pehamanan bahwa nature merupakan sesuatu yang transenden.


Go beyond! Pahamilah apa yang ada dibalik apa yang tidak bisa kita lihat dari alam. Alam tidak akan berubah saat hanya Thoureau yang sadar akan hal itu. Alam tidak akan berubah saat hanya satu orang, dua orang, atau beberapa orang saja yang sadar akan hal itu. Butuh sebuah kesadaran massal untuk bisa menyelamatkan alam. 

            
To be awake is to be alive. Sepenggal kalimat yang hadir dalam esai Where I Lived, and What I Lived For.  Satu kalimat yang harus bisa dipahami oleh semua orang di seluruh dunia ini. Segeralah bangun dari ketidaksadaran kita bahwa hidup kita kian jauh dari alam, karena hanya pada saat kita terbangunlah kita bisa melakukan perubahan. Kita tidak pernah akan bisa melakukan perubahan hanya dengan berandai-andai. 

Saat kalian masih sulit untuk terbangun, lekaslah buka mata kita dan lihat ke sekeliling kita apa yang saat ini terjadi dengan alam kita. Saat kita membuka mata dan melihat, itu yang bisa membuat kita tergerak untuk segera bangun. Bangunlah dan lakukan perubahan! Sebuah perubahan untuk bumi agar kita bisa merasakan hidup nyaman di bumi dalam waktu yang lebih lama.


Apa yang dituliskan merupakan sebuah tindakan ideal, sebuah tindakan yang seharusnya. Andaikata kita bisa hidup dengan ideal. Andaikata kita bisa hidup dengan melakukan sesuatu yang memang seharusnya dilakukan. Andaikata kita semua sadar akan apa yang kita lakukan pada alam. Andaikata kita paham apa yang akan terjadi jika kita merusak alam. Andaikata kita semua segera bangun dan melakukan sebuah gerakan untuk menyelamatkan alam. Andaikata kita bisa dengan segera menyelamatkan hidup kita. Andaikata apa yang aku tuliskan tidak hanya andaikata.