“Aku hanya selalu
membiarkannya meleleh di mulutku, aku tidak pernah membiarkan seorang pun melelehkannya,
hingga saat itu seseorang melelehkannya dengan paksa”.
Namaku Gania, banyak orang bilang
aku sederhana, mempunyai aura anggun seorang perempuan klasik. Begitupun dalam
tenggang waktu hidupku selama 20 tahun ini, sejak aku tumbuh menjadi seorang
gadis remaja; aku sangat sederhana, tidak macam-macam. Dan aku pikir
kesederhanaanku berpengaruh pada seleraku terhadap sesuatu. Aku sangat suka
makan ice cream, vanilla ice cream tanpa topping apapun; sangat sederhana untuk
era dimana ice cream sudah bisa disajikan dalam berbagai macam rasa. Tapi
begitulah aku, sangat cukup dengan merasakan sensasi manis dan dingin dimulut
yang disajikan dari sekotak vanilla ice cream. Menggambarkan aku yang cenderung
menghindari sesuatu yang tidak biasa aku hadapi. Tidak ingin merasakan rasa
yang lain.
Sudah sejak aku berumur 5 tahun,
orang tuaku sering mengajakku datang ke kedai ice cream yang terkenal di
kompleks perumahan ini. Dan ketika beranjak remaja, aku punya jadwal tersendiri
untuk melahap ice cream favoritku, hampir setiap jam 5 sore aku menyempatkan
datang ke kedai ice cream langgananku ini hanya untuk melelehkan dan merasakan
manisnya vanilla ice cream di
mulutku. Hanya itu yang selalu aku pesan dan para pelayan sudah tau itu. Dan aku selalu duduk di tempat yang sama, di lantai atas, di pojok dekat jendela yang sangat besar itu agar aku bisa melihat pemandangan di luar kedai. Pemilik kedai sangat berbaik hati untuk menyediakan tempat itu setiap kali aku datang. Aku merasa begitu spesial dan nyaman di tempat itu J.
mulutku. Hanya itu yang selalu aku pesan dan para pelayan sudah tau itu. Dan aku selalu duduk di tempat yang sama, di lantai atas, di pojok dekat jendela yang sangat besar itu agar aku bisa melihat pemandangan di luar kedai. Pemilik kedai sangat berbaik hati untuk menyediakan tempat itu setiap kali aku datang. Aku merasa begitu spesial dan nyaman di tempat itu J.
Hingga suatu hari selera di lidahku berubah karena kehadiran seorang laki-laki yang
dalam beberapa waktu selalu duduk di tempat favoritku di kedai itu. Saat itu
kita berdua selalu duduk di tempat yang sama tanpa ada satu pun kata yang
keluar dari mulut masing-masing. Dan itu berlangsung cukup lama. Sebelumnya aku
tidak pernah menarik ataupun tertarik untuk mengetahui dunia laki-laki secara
intens. Karena aku pikir dengan lebih tau dan mengerti tentang duniaku sendiri
itu cukup. Tetapi laki-laki itu datang dengan sesuatu yang lain. Dia memahami
duniaku lebih dari aku.
Saat pertama kali dia bicara, aku
tidak terlalu tertarik dengan apa yang dia katakan. Tetapi hari demi hari
laki-laki itu bisa membuka batasan-batasan yang selama ini selalu aku jaga
dengan baik atau mungkin secara tidak sadar aku sendiri yang telah membuka
batasan-batasan itu. Sampai saat itu, dia menawariku ice cream yang selalu
dipesannya dan aku tergoda untuk mencoba; rum raisin chocolate ice cream. Aku
merasakan sensasi yang berbeda saat suapan pertama terasa meleleh di dalam
mulutku. Aku bisa merasakan rasa yang berbeda dari hanya manis yang biasa
menempel di lidahku. Aku lenyapkan apa yang telah menjadi sukaku; vanilla ice
cream. Aku akan mencoba rasa yang lain.
Saat itulah aku mulai percaya pada
rasa yang diberikan laki-laki itu, begitu spesial karena dialah yang pertama memberikan rasa yang
berbeda. Hingga akhirnya kami berdua berbagi berbagai kisah satu sama lain. Dan
kami pun selalu berbagi sekotak rum raisin chocolate ice cream yang selalu
menemani waktu kita berbagi kisah. Aku menikmati setiap detik yang berjalan
bersamanya dan setiap suapan rum raisin chocolate ice cream yang meleleh
menemani dalam mulutku. Seperti dalam sebuah lirik lagu, bagiku itu adalah “Sekotak
memori cinta pertama,
begitu nikmat terasa sampai ke
hati”. Begitu percayanya aku pada laki-laki penggemar
rum raisin chocolate ice cream itu.
Di siang hari yang sangat terik, dia
memintaku pergi ke sebuah tempat dengan alamat yang dia kirimkan lewat SMS. Aku
pun setuju tanpa ada rasa curiga dalam benakku. Dalam sadarku, aku tiba di
sebuah rumah yang sangat nyaman. Dan saat aku masuk, hanya ada sekotak penuh
rum raisin chocolate ice cream yang laki-laki itu sediakan untukku. Akupun
duduk dengan penuh senyum menatap sekotak penuh ice cream yang bagiku sangat
special. Lalu dia datang dengan dua gelas minuman dingin di tangannya dengan
senyuman hangat. Pengobat dahaga yang tepat di tengah terik siang hari.
Tetapi saat aku meneguk penyegar
dahaga itu, setelahnya aku merasa duniaku kabur. Aku tersadar dalam lemas. Aku
merasakan terbaring di sebuah sofa tanpa bisa melakukan apa-apa. Aku hanya bisa
melihat sesuatu yang menyakitkan, senyuman iblis terkembang saat laki-laki itu
melucuti segala apa yang menempel di tubuhku. Aku hanya bisa merasakan
laki-laki itu melumat tubuhku dengan lembut sebagaimana dia melumat ice cream.
Aku hanya bisa melihat bagaimana laki-laki itu menikmati tubuhku dengan senyum
terkembang bangga dari bibirnya. Aku adalah tumbal pengobat dahaga birahi laki-laki
itu. Aku lemah, aku hanya bisa terbaring pasrah dengan perlawanan yang sangat
dalam hatiku. Aku berteriak dalam mulutku yang membeku. Aku hanya bisa melawan
dalam diam hingga laki-laki itu selesai melahap habis kehormatan dan kesucian
dari mangsanya.
Aku terkulai lemas, menyesali telah
dengan mudah menyingkap batasan-batasan yang selama ini aku jaga dengan baik.
Menyesali telah dengan mudah tergoda untuk merasakan rasa yang lain. Aku
melihat sekotak rum raisin chocolate ice cream itu telah meleleh disetubuhi
suhu yang begitu panas. Begitupun air mataku yang meleleh karena panas amarah
yang sangat dalam hatiku.
Sejak saat itu akupun bisa merasakan
kepercayaanku terhadap rasa yang meleleh lalu menguap di udara tanpa sisa. (Gania)
Eka Ayu Wahyuni